Sejumlah pohon kopi (Coffea s) tampak tumbang. Beberapa batang hanya tersisa bagian pangkal dan terlihat bekas baru ditebang. Sebagian lain masih tersambung kulit yang sudah terkelupas. Daunnya sebagian besar menyentuh tanah. Beberapa batang itu sebagian berbunga dan berbuah.
Dua orang tampak menyusuri lahan ke berbagai arah. Di dekat mereka, tampak satu pohon durian (Durio zibethinus Murr) bernasib seperti pohon kopi di sekitarnya.
“Kopine Pak (*). Ditebangi. Dhuu, nèserra ya’a. Abuâ la. Pèttolèkor bhungka. Dhurin Sèttong (Kopinya Pak*. Ditebang. Duh, kasian ini. Dua puluh tujuh batang. Batang durian satu),” keterangan dari suara dalam video pertama
Video kedua menunjukkan visual sebuah gubuk yang nyaris roboh. Terdapat bekas pembakaran di berbagai sudut.
“Ya’a se di’ Pak (*). Èyabi’ lajhu. È Ampel. Kèrèma ka grup bhâi (Ini yang punya Pak (*). Habis sudah. Di Ampel. Mau dikirim ke grup saja),” riuh suara dalam video tersebut.
Visual dan audio itu terekam dalam video yang diposting di akun instagram @rukunpakel, Selasa 30 Januari 2024 tersebut.
Keterangan dalam postingan itu itu menjelaskan, pembakaran menyasar mushola, dapur umum, dan satu gubuk. Beberapa pohon durian dan kopi yang telah tumbuh besar juga ditebang.
“Tidak diketahui siapa yang melakukan. Yang jelas, kami Warga Pakel (……) sudah berpuluh tahun alami percobaan kriminalisasi (…..),” begitu sempalan keterangan akun itu.
Indoklik coba konfirmasi tentang postingan itu. Melalui pesan pribadi, admin akun instagram @rukunpakel membenarkan peristiwa itu.
Dia bilang, tanaman kopi dan durian yang ditebang kisaran memasuki usia tanam tiga tahun. “Kopinya hampir panen. Kurang lebih ada 27 pohon yang ditebang,” katanya, Senin 30 Januari 2024.

Dia menjelaskan, belum bisa pastikan siapa pelakunya karena belum ada bukti kuat dan perusakan itu diperkirakan dilakukan di malam hari. Kerusakan itu ditemukan saat warga setempat melintas di sekitar lahan tersebut.
“Yang menemukan pertama bukan pemilik lahan. Warga Pakel yang lain, sekitar habis subuh ketika beliau berencana ngambil rumput untuk pakan kambing. Itu yang pertama dilihat mushola dan dapur di posko,”
Karena curiga, warga tersebut mengecek lebih jauh ke area lahan. Baru di temukan lagi jagung roboh dan pohon di tebang. Melihat itu, Surti mengabarkan ke warga yang lain.
Peristiwa perusakan itu terjadi di salah satu titik di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.
“Kalau mushola itu berada di kawasan posko perjuangan warga. Milik bersama. Sementara gubuk dan tanaman yang dirusak itu milik perorangan,” jelasnya.
Hal serupa, jelas admin itu, sebenarnya sering terjadi. Terutama di awal perjuangan warga kerap terjadi.
“Pernah, suatu kejadian, pelakunya kepergok oleh warga. Saat itu, tanaman warga ditebang juga. Kejadian serupa kembali terjadi setelah sekian lama sudah tak ada perusakan,” terangnya.
Dia bilang, lahan dan tanamannya dirusak itu milik salah satu warga. Posisinya berada di lahan perjuangan Pakel.
“Kurang lebih pemilik gubuk membuatnya 2 tahunan dari bentuk gubuk kecil hingga direnovasi. Untuk musholla tepatnya di buat pada 12 September 2022. Di lokasi posko perjuangan warga. Dulu pembuatan mushola hasil dari sumbangan warga dan bantuan dari orang orang,” terangnya.
Dia membeberkan, intimidasi seperti perusakan tanaman sering terjadi di tahun 2020 sampai 2021. Banyak kejadian yang membuat warga harus berulang menanam kembali. Sebab tanaman seperti pisang jagung dan lain lain ditebang.
Usman Halimi, Staf Advokasi dan Penguatan Komunitas Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menyayangkan peristiwa itu.
“Infonya benar. Kejadian diduga sudah direncanakan. Karena pukul 12.00 malam tadi warga masih berjaga di posko,” kata Usman, Selasa 30 Januari 2024.
Dia bilang, perusakan tanaman warga bukan kali ini saja. Ini kejadian berulang yang mengakibatkan petani mengalami kerugian finansial.
Dia menilai, pembakaran terhadap mushola dan pondok petani juga salah satu upaya yang disengaja oleh orang yang tidak bertanggung jawab dalam menyulut konflik dan keresahan di kalangan petani Desa Pakel.
“Apalagi mushola sebagai simbol dan tempat aktivitas (ibadah) keagamaan,” katanya.

Samsul Muarif, Kordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Komite Daerah Jember mengaku prihatin dengan peristiwa itu.
“Yang jelas saya sangat prihatin dengan situasi ini. Setahu saya upaya perusakan ini tidak terjadi hanya satu kali ini saja. Semenjak warga melakukan reclaiming, upaya perusakan itu kerap dilancarkan,” katanya, Selasa 30 Januari 2024.
Arif bilang, peristiwa ini pun mengingatkannya pada perusakan yang sebelumnya, yang pernah dilaporkan oleh warga ke pihak kepolisian. Namun pihak kepolisian menolak laporan itu dengan alasan lahan tersebut masih sengketa atau konflik.
“Kita tahu, alih-alih direspon, justru sebaliknya, warga pakel (anggota organisasi RTSP) yang disebut Trio Pakel hari ini masih ditahan,” katanya.
Dia menilai, dari rentetan-rentetan itu, cara “berhukum” di Indonesia hari ini benar-benar tidak mengedepankan asas equality before the law atau semua orang punya kedudukan yang sama di mata hukum.
“Negara pun tidak berfungsi sebagai pelindung warganya, atau yang menjadi pertanyaan curiga adalah, apakah negara mencoba meliyankan masyarakat pakel sebagai warga negara?” tandas Arif.
Kejadian seperti ini, jelas Arif, seharusnya bisa berhenti ketika negara secara tegas memberikan legitimasi penguasaan dan kepemilikan atas tanah terhadap rakyat (dalam kasus ini pakel).
Sehingga, tegasnya, rakyat tidak perlu membayar ongkos mahal dari konflik yang berlarut-larut ini. Menurutnya, negara ini merdeka untuk mensejahterakan dan membahagiakan segenap rakyatnya, bukan menjadi kepanjangan tangan kapitalisme.
Petani Pakel, katanya, adalah bagian dari penolong negeri. Hal itu didasarkan pada Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdlatul Ulama. “Petani adalah penolong negeri begitu dawuh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Sebagai soko guru (tonggak) negeri, maka petani harusnya dilindungi,” tandas Arif.
Diketahui, Warga Pakel memang tengah memiliki konflik dengan PT Bumi Sari. Persoalan lahan ini berawal pada 1925. Sekitar 2.956 warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda.
Data Walhi Jawa Timur menyebutkan, empat tahun kemudian, pada 11 Januari 1929, permohonan itu dikabulkan. Mereka dapat hak membuka kawasan hutan seluas 4.000 bahu (3.000 hektar) dari Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.
Walaupun mengantongi izin “Akta 1929”, warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari Pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang.
Pasca kemerdekaan, warga Pakel terus berjuang mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929”.
Pada 1980-an, lahan kelolaan warga yang masuk “Akta 1929” ini masuk konsesi perusahaan perkebunan Bumi Sari. Konflik agraria pun terus terjadi hingga kini.