Wahyu Eka Styawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyebut ketiga pasangan calon gubernur dan wakilnya serta Komisi Pemilihan Umum setempat abaikan isu lingkungan pada gelaran debat ketiga, Senin (18/11/2024).
Dia bilang, meski sudah mencoba menampilkan tema lingkungan, tetapi tidak sepenuhnya menyoal hal tersebut. Justru yang terjadi adalah pengabaian isu lingkungan hidup dalam kampanye maupun poin-poin dalam debat kandidat.
Menurutnya, dalam visi dan misi, kampanye ataupun janji politik, bahkan tema yang diangkat dalam debat nanti lebih berfokus pada pembangunan fisik dan eksploitasi sumber daya alam, tanpa mempertimbangkan persoalan konservasi (pelestarian/perlindungan) dan preservasi lingkungan (pemertahanan/pemeliharaan).
“Hal ini menunjukkan lemahnya perspektif ekologis, baik dari para kandidat maupun penyelenggara Pilgub dalam hal ini KPU,” kata Wahyu dalam keterangan resminya.
Dia menguliti delapan tema debat Pilgub Jawa Timur dan mencatat bahasan turunannya meliputi:
- Infrastruktur Transportasi dan Telekomunikasi
- Infrastruktur Permukiman, Air Minum Bersih, dan Persampahan
- Infrastruktur Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan
- Pemerataan Konektivitas Antar Wilayah
- Perencanaan Wilayah dan Tata Ruang Terintegrasi
- Perubahan Iklim
- Pertambangan dan Komitmen Ekologis
- Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
Dia menilai, tidak satu pun dari tema tersebut yang memuat prinsip konservasi dan preservasi secara mendalam. Sebaliknya, pendekatan yang diusung lebih kepada eksploitasi sumber daya alam dengan bungkus “ramah lingkungan.” Ini bertentangan dengan kebutuhan Jawa Timur yang secara ekologis sudah berada dalam kondisi kritis.
Salah satu contoh konkret adalah tema mengenai pertambangan. “Kami menilai bahwa gagasan mengharmoniskan pertambangan dengan nilai-nilai ekologis merupakan suatu kekonyolan. Pertambangan, terutama di wilayah yang telah mengalami tekanan ekologis tinggi seperti Jawa Timur, selalu membawa dampak kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan,” katanya.
Dia bilang, seharusnya yang dibahas bagaimana upaya untuk menghentikan penerbitan izin tambang baru. Seperti apa strategi dan cara menertibkan tambang-tambang nakal, termasuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) ilegal, tambang dengan IUP eksplorasi tetapi sudah menambang, serta izin tambang yang mencaplok kawasan lindung seperti hutan dan permukiman. Terakhir seperti apa langkah dalam menghentikan legalisasi tambang ilegal, yang hanya memperburuk krisis lingkungan di daerah.
Dia juga mengkritik soal tema tata ruang. Menurutnya, bahwa prinsip utama dalam perencanaan tata ruang seharusnya adalah pembatasan dan perlindungan terhadap kawasan yang rentan, bukan sekadar integrasi wilayah. Sayangnya, Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur yang terbaru justru mengizinkan aktivitas pertambangan di kawasan lindung.
“Ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap konservasi lingkungan. Lantas, apakah ada yang membahas ini? Menjadi sebuah “kerisauan” yang seharusnya dijawab,” tegasnya.
Hal tersebut, katanya, tidak berlebihan, mengingat akibat kebijakan tata ruang yang salah arah telah mengakibatkan banyaknya ruang terbuka hijau, kawasan hutan, dan lahan pertanian produktif yang dicaplok untuk pembangunan perumahan, kawasan industri, dan infrastruktur. Alih fungsi lahan semacam ini tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga memperbesar risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Soal tema energi, kata Wahyu, justru yang ditampilkan adalah infrastruktur listrik, bukan fokus pada bagaimana Jawa Timur berbenah dalam persoalan transisi energi, semisal pembahasan mengenai RUED, yang belum konkrit dalam membahas transisi energi ke EBT.
Dia menegaskan, perlu juga pembahasan mengenai persoalan energi terbarukan yang sering kali dianggap sebagai solusi ramah lingkungan. Namun, pada beberapa praktik justru merusak dan melanggar hak warga, seperti geothermal dan waduk yang rentan menimbulkan degradasi lingkungan dan perampasan hak asasi manusia.
Wahyu mengingatkan, pengembangan energi terbarukan harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan serta hak asasi manusia yang ketat. Misalnya, pembangunan EBT tidak boleh dilakukan di kawasan yang melibatkan perusakan ekosistem atau penggusuran lahan masyarakat.
“Apakah ketiga kandidat membahas demikian secara detail? Tentu tidak!!!” kata Wahyu.
Kritik Terhadap Penyeleggara Pemilu Jawa Timur
Wahyu bilang, KPU Jawa Timur tidak memiliki perspektif lingkungan dalam menjalankan tugasnya. Pasalnya, tema debat lingkungan yang tidak relevan dengan realitas.
“Tema debat yang diusung KPU tidak mencerminkan tantangan lingkungan hidup yang dihadapi Jawa Timur. Padahal, krisis ekologis yang melanda wilayah ini seharusnya menjadi isu sentral yang dibahas secara mendalam,” jelasnya.
Dia juga menyoroti minimnya edukasi mengenai kampanye ramah lingkungan. Menurut Wahyu, tidak ada inisiatif dari KPU untuk memberikan edukasi kepada kandidat mengenai kampanye yang tidak merusak lingkungan. Misalnya, bagaimana menyusun program yang minim dampak ekologis atau menghindari aktivitas kampanye yang berpotensi merusak seperti pemasangan baliho di pohon atau pembagian atribut kampanye yang menghasilkan sampah.
Selain itu, katanya, tidak ada penegakan aturan terhadap pelanggaran. Dia bilang, praktik kampanye yang merusak lingkungan, seperti pemasangan paku di pohon untuk baliho, pembuangan sampah atribut kampanye sembarangan, hingga penggunaan bahan kampanye berbahan plastik, dibiarkan begitu saja tanpa sanksi. Bawaslu juga dinilai permisif terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut, sehingga tidak ada efek jera bagi pelakunya.
Yang Terabaikan dalam Pilgub Jawa Timur
Wahyu mengungkapkan, Jawa Timur saat ini menghadapi berbagai ancaman lingkungan hidup yang serius, mulai dari kerusakan hutan, alih fungsi lahan pertanian, pencemaran air, hingga penurunan kualitas udara. Seluruh tantangan ini membutuhkan pendekatan yang tegas dan sistematis. Namun, sayangnya, proses Pilgub Jatim lebih terfokus pada eksploitasi ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang.
“Kami ingin menegaskan bahwa jika para kandidat Pilgub dan penyelenggaranya hanya melihat lingkungan hidup sebagai alat pembangunan ekonomi, maka bencana ekologis yang lebih besar tinggal menunggu waktu. Lingkungan bukan sekadar sumber daya yang dapat dieksploitasi, tetapi merupakan sistem penyangga kehidupan yang harus dijaga dan dilestarikan,” ujarnya.
Walhi Jawa Timur menyerukan kepada semua pihak untuk mengubah perspektif terhadap lingkungan hidup. PILGUB seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki kebijakan dan pendekatan terhadap isu lingkungan, bukan untuk melegitimasi eksploitasi sumber daya alam.
“Para calon kandidat memang sudah sepatutnya harus mengedepankan prinsip konservasi, restorasi, dan keberlanjutan, demi menyelamatkan lingkungan dan kehidupan masyarakat di Jawa Timur. Tanpa langkah konkret, kondisi ekologis yang sudah terpuruk ini hanya akan semakin memburuk, dengan dampak yang tak hanya dirasakan oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi mendatang,” tegas Wahyu.
Ilustrasi: Poster tiga Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur.(Dok. Instagram KPU Jawa Timur)