Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) ajak generasi muda di Indonesia untuk menempuh gugatan iklim karena dampak krisis iklim di dunia dan Indonesia semakin memburuk.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI menjelaskan, dampak krisis iklim secara global telah memaksa temperatur planet bumi melebihi 1,5 derajat celcius dibandingkan dengan era pra revolusi Industri.
“Di Indonesia, krisis iklim telah memperburuk kehidupan masyarakat pesisir. Ratusan nelayan meninggal di tengah laut, ratusan desa pesisir diterjang banjir rob, puluhan pulau kecil telah tenggelam, sekaligus mengancam air serta pangan yang menghidupi masyarakat selama ini,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Senin (24/6/2024).
Menurut Parid, generasi muda penting untuk terlibat aktif menghentikan krisis iklim dengan cara menjadi penggugat iklim yang menuntut pertanggungjawaban negara yang telah memproduksi beragam kebijakan yang memperburuk krisis iklim. Selain itu, generasi muda juga penting menuntut korporasi multinasional yang telah memproduksi emisi dalam jumlah yang sangat besar dalam satu dekade terakhir.
Dia bilang, generasi muda harus getol untuk termeminta pihak yang bertanggungjawab atas krisis iklim yang mengancam kehidupan masyarakat luas, khususnya nasib generasi muda yang akan hidup pada masa yang akan datang.
“Krisis iklim ini telah merampas hak generasi muda untuk hidup layak pada masa depan. Kita harus menuntut pertanggungjawaban dari negara dan koorporasi skala besar yang telah mengeruk keuntungan ekonomi tetapi mengorbankan nasib planet bumi,” jelasnya.
Parid menegaskan, pada titik ini, WALHI Nasional siap untuk mendampingi siapapun, terutama generasi muda yang hendak menempuh gugatan iklim pada masa yang akan datang.
Menurutnya, pengalaman generasi muda yang berhasil menempuh gugatan iklim telah dibuktikan oleh Sophie Backsen, seorang remaja dari Pulau Pellworm, sebuah pulau kecil di Utara Jerman, yang terdampak krisis iklim.
Dia cerita, Sophie berhasil menempuh gugatan iklim kepada Mahkamah Konstitusi Jerman dan mendesak Pemerintah Jerman untuk untuk menetapkan penurunan emisi sampai nol persen pada tahun 2050.
“Saya pernah bertemu dan berbincang dengan Sophie Backsen secara pribadi di rumahnya di Pulau Pellworm. Dia menggunakan argumen keadilan antargenerasi (intergenerational justice) untuk mempertahankan pulaunya yang berusia lebih dari 300 tahun lamanya,” terang Parid.
Parid menyeru, apa yang dilakukan Sophie Backsen, dapat juga dilakukan oleh generasi muda di Indonesia yang merasa masa depannya terancam oleh krisis iklim. Salah satu gugatan iklim yang juga sedang ditempuh oleh Masyarakat Indonesia adalah gugatan iklim yang kini dilakukan empat orang masyarakat Pulau Pari melawan Holcim, Perusahaan semen terbesar di dunia, yang telah memproduksi emisi Co2 lebih dari 7 miliar ton sejak tahun 1950 sampai 2021.
“Kami mengajak kawan-kawan generasi muda untuk mendukung gugatan iklim pertama di Indonesia ini. Ini merupakan gerakan penting untuk mewujudkan keadilan iklim,” imbuhnya.