Penulis: Fahrur Rozi*
Peristiwa tragis ini memaksa kita bertanya: ke mana arah demokrasi jika esensinya dicederai oleh kekerasan? Demokrasi seharusnya menjadi wadah inklusi, pertarungan gagasan, bukan arena pertarungan umpatan, cekcok yang melibatkan fisik lalu berujung kekerasan.
Saya meyakini, tidak ada yang menginginkan peristiwa cekcok yang memakan korban bernama Jimmy Sugito Putra, warga Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Minggu (17/11/2024) itu terjadi.
Kabar peristiwa itu tersebar dalam bentuk foto dan video. Saya tidak mau menggambarkan visualnya. Sebab terlalu mengerikan. Sebagai penguat dari perspektif yang akan diuraikan di catatan kecil ini, saya sertakan kronoliginya saja.
Dikutip dari Tirto.id, insiden Ketapang Laok itu terjadi setelah salah satu calon bupati (cabup) Sampang, Slamet Junaidi, mengunjungi salah satu tokoh agama, di Desa Ketapang Laok, pada Minggu (17/11/2024). Kehadirannya membuat sekelompok orang yang tidak menjadi pendukungnya melakukan protes.
Massa bercelurit tersebut sempat melakukan pengadangan pada rombongan cabup saat urusan mereka telah selesai. Beruntung, Slamet berhasil diselamatkan dengan melalui jalan lain.
Di sisi lain, massa bergerak menuju lokasi yang dikunjungi Slamet Junaidi. Di lokasi inilah adu mulut dan cekcok mulai terjadi antara massa bersenjata tajam dengan pendukung Slamet.
Saking panasnya cekcok tersebut, massa bercelurit lantas mulai memainkan senjatanya. Penganiayaan pun terjadi dan membuat beberapa orang pendukung Slamet menjadi korban.
Salah satu korban bernama Jimmy Sugito Putra mengalami luka cukup parah. Jimmy lantas dilarikan ke RSUD Ketapang untuk mendapatkan penanganan medis. Sayangnya, nyawa Jimmy tidak tertolong dan meninggalkan sore harinya pada pukul 17.15 WIB.
Jimmy diketahui sebagai saksi dalam Pilkada 2024 dari pasangan calon (paslon) Slamet Junaidi – Ahmad Machfudz.
Kendati demikian, Kasat Reskrim Polres Sampang, AKP Safril Selfianto, belum memastikan motif penganiayaan karena urusan Pilkada. Menurutnya adanya kemungkinan motif politik sebatas kabar yang berkembang di masyarakat. Fakta-fakta yang ada masih dalam penyelidikan.
Terlepas dari uraian kronologi dan keterangan dari pihak kepolisian di atas, peristiwa tragis ini memaksa kita bertanya: ke mana arah demokrasi jika esensinya dicederai oleh kekerasan? Demokrasi seharusnya menjadi wadah inklusi, pertarungan gagasan, bukan arena pertarungan umpatan, cekcok yang melibatkan fisik lalu berujung kekerasan.
Masyarakat perlu memahami bahwa politik bukan soal menang atau kalah secara brutal. Nilai-nilai luhur kemanusiaan dan persaudaraan harus menjadi dasar. Seperti diungkapkan ilmuwan Indonesia Mochtar Lubis, bangsa yang maju ditandai dengan keterbukaan pikiran dan rasa tanggung jawab sosial.
Justru hal ini senada dengan Amartya Sen, yang menegaskan bahwa demokrasi adalah ekspresi kebebasan, bukan pemaksaan melalui kekerasan.
Para pemimpin politik, pasangan calon, hingga pendukung mereka memiliki tanggungjawab moral untuk mengedukasi massa, menjaga perdamaian, dan memulihkan makna demokrasi sebagai upaya bersama, bukan pertumpahan darah.
Warga harus cerdas dalam berpolitik, memahami bahwa perbedaan pilihan bukanlah alasan untuk melupakan persaudaraan. Demokrasi hanya akan bermakna jika berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran kolektif dalam menjaga keutuhan bangsa.
Penegakan hukum dalam kasus kekerasan Pilkada Sampang adalah ujian bagi aparat dan negara hukum. Pelaku pembacokan harus dihukum dengan tegas untuk memberikan pesan bahwa tindakan seperti ini tidak dapat ditoleransi dalam demokrasi modern, kita perlu membangun rasa aman di masyarakat, utamanya keluarga korban.
Lebih tegas, pemerintah perlu memperluas upaya rekonsiliasi sosial. Keluarga korban berhak atas keadilan, tetapi komunitas yang terpecah akibat konflik politik juga ini perlu dipulihkan. Pemimpin lokal, tokoh masyarakat, dan ulama setempat harus dilibatkan untuk menyampaikan pesan damai dan persaudaraan.
Peristiwa ini, jadi satu bukti demokrasi belum dipahami secara utuh oleh mereka yang terlibat dalam persoalan tersebut. Akibatnya, ketidakutuhan pemahaman itu sangat berdampak terhadap konflik politik secara emosi dan patronase. Ketidaktahuan ini menjadikan demokrasi sekadar ajang kompetisi destruktif, jauh dari cita-cita partisipasi yang sehat.
Kritik ini muncul bukan untuk menghakimi, tetapi sebagai seruan agar pemerintah serius memperbaiki pendidikan politik di masyarakat. Tanpa peningkatan SDM, demokrasi hanya akan melanggengkan kebodohan berjemaah, di mana kekerasan dianggap wajar dalam perebutan kekuasaan, mengkhianati esensi demokrasi sebagai perjuangan damai untuk kepentingan bersama. Lebih penting lagi, Pilkada ke depan harus dirancang ulang, bukan hanya dari sisi teknis tetapi juga budaya politik yang terdidik.
Seperti yang dikatakan Mahfud MD, demokrasi tanpa etika adalah sumber kehancuran. Keadilan yang ditegakkan hari ini bukan hanya soal korban, tetapi juga untuk membangun masa depan demokrasi yang bermartabat.
Tak berlebihan jika peristiwa ini menjadi cerminan kelam praktik demokrasi di Indonesia. Secara khusus, tragedi itu menjadi bukti bahwa demokrasi di Kabupaten Sampang berada di ujung sakaratul maut, bahkan sudah tak ada ruhnya. Sebagai penutup, semoga tidak ada “Insiden Ketapang Laok” lanjutan, baik di Sampang sendiri maupun di daerah lainnya.
Ilustrasi: Duka mendalam atas Tragedi Pilkada Sampang.(Indoklik)
*Jurnalis Suaranet.id di Pamekasan.