OPINI  

THR untuk Ajunan yang Digadang-gadang (Kebelet) Nyalon Bupati dan Wakil Bupati Pamekasan

Ilustrasi: Monumen Arek Lancor berlatar Masjid Assyuhada, kebanggan Pamekasan. (Foto: https://faktualnews.co)

Penulis: Gafur Abdullah*

Beberapa minggu ini, sejumlah wajah tokoh  lengkap dengan namanya di Pamekasan ter–mungkin sengaja minta di-pajang di banyak media lokal di Madura dan ragam platform media sosial. Wajah dan nama mereka ada yang, memang sudah familiar. Sebagian lain pendatang baru. Tampilannya beragam, namun secara umum, mereka tampak senyum bersahaja.

Ya, mereka tampaknya sejumlah tokoh digadang-gadang (Kebelet) nyalon Bupati dan Wakil Bupati Pamekasan di Pilkada 2024 mendatang. Pemajangan wajah mereka disertai narasi dan polesan beragam.

Ada yang, memakai “Siap Maju Karena Didukung-Didekati Parpol-lah”. “Jika Warga Berkehendak, Bismillahlah.”Si Anu Masuk Bursa-lah”. Bahkan, ada yang bawa-bawa “Dikehendaki Tokoh Wilayah Tertentu-la”. “Kader Parta Ini Itu Masuk Bursa-lah”. “Ikhlas Mengabdi-lah”. Dan banyak lagi.

Melalui tulisan ini, sebagai bagian dari rakyat –lahir dan besar di-Pamekasan, saya ingin bagikan THR untuk Ajunan.  THR? Ya, tapi bukan tunjangan hari raya, melainkan tentang harapan rakyat. Kalau tunjangan hari raya, saya mah siapa dan mau dapat dari mana obâng untuk dibagikan kepada Ajunan sekalian.

Lagian, Ajunan kan bukan orang sembarangan. Saya lihat di media, berdasarkan raut wajah dan sebagian pakai peci yang cèngnuccèng, Ajunan yang digadang-gadang (Kebelet) Nyalon Bupati dan Wakil Bupati Pamekasan sepertinya dari kalangan elit alias ghishogi. Tentu definisi ghishogi relatif.

Tak berlebihan jika saya katakan, Ajunan tampaknya  (insyaAllah) adalah orang-orang  pilihan yang, tidak posang ngalèngsang tentang ‘besok makan apa?’. ‘token listriknya tak bunyi;nit-nitan’. Atau paling tidak, tak pernah posang urusan ‘yang dimakan hari ini harus cari hari ini juga’. Makanya, Ngapain juga ngarep-dikasih tunjangan hari raya? Dan saya yakin, seyakin-yakinnya, ajunan tidak ngarep tunjangan hari raya, yang baiknya-semoga-Ajunan bisa bagikan kepada mereka yang dianggap layak mendapatkannya.

Saya bukan siapa-siapa di Pamekasan. Tokoh masyarakat bukan. Pengusaha bukan. Politikus bukan. Pegawai bukan. Pemilik saham bukan. Keturunan  bangsawan bukan. Ah, pokonya bukan orang istimewa lah. Saya hanya rakyat biasa yang, tidak punya kepentingan –apalagi akan lakukan transaksi- politik apapun di Pilkada Pamekasan mendatang. Tidak. Dan, titik.

Bicara tentang harapan rakyat Pamekasan, tentu banyak alias possa’ tor èpbha’. Sebagai rakyat biasa dan berangkat dari hati nurani paling èsto, saya dengan pèlak atè, coba uraikan rincian THR itu. Paling tidak, ini jadi peta sederhana agar Ajunan bisa berjalan lebih jauh, untuk melakukan mapping permasalahan yang  terjadi di Pamekasan sejauh ini. Sehingga para Ajunan bisa rangira, program apa yang bisa ditawarkan sebagai solusinya.

THR Pertama– Masalah yang Melilit Petani Skala Kecil  

2023 lalu, para petani di Kabupaten Pamekasan mengeluh kelangkaan pupuk subsidi jenis urea dan kekurangan air akibat cuaca yang tak menentu. Pupuk subsidi jenis urea ukuran 50 kilogram bisa dijual Rp 185.000 hingga Rp 200.000.

Salah satu petani di Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Farimo mengatakan, salah satu kios di desanya menjual pupuk urea subsidi seharga Rp 200.000. Padahal, mengacu pada ketentuan harga eceran tertinggi dari pemerintah, harga pupuk urea ukurang 50 kilogram maksimal Rp 112.000.

Nom Farimo pun dengan memanfaatkan pupuk organik. Dugaan saya, blio pakai pupuk kandang atau hasil komposting. Dia bilang, pemupukan dengan cara organik tidak mampu merangsang pertumbuhan tanaman padi dengan cepat.

Saya garis bawahi dulu “Pemupukan dengan cara organik tidak mampu merangsang pertumbuhan tanaman padi dengan cepat”. Ada yang perlu diselami lebih dalam soal ini. Artinya, sejauh ini, petani sudah kadung tergantung pada pupuk anorganik. Padahal,  sebenarnya, pupuk anorganik memang sejak lama jadi ancaman bagi tanah Indonesia. Saya yakin, termasuk Pamekasan.

Sebab ketergantungan yang berlebihan pada pupuk anorganik dapat mengganggu keseimbangan unsur hara alami dalam tanah, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan unsur hara dan menurunkan kualitas tanah. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya bahan organik tanah, penurunan kesuburan tanah, dan peningkatan kerentanan terhadap erosi.

Artinya, Ajunan kudu juga menyiapkan ide-ide cerdas –bukan program siluman atau karbitan- untuk menjawab persoalan pertanian di Pamekasan. Tidak hanya soal kelangkaan pupuk itu, tapi juga bagaimana Ajunan mempersiapkan program untuk pertanian di kabupaten tercinta ini yang berkelanjutan alias pertanian organik.

Ngereng intip sekilas perihal pertanian organik yang dijalankan oleh penggerak pertanian di Banyuwangi. Adalah Samanhudi, penggerak pertanian organik Banyuwangi dari Desa Sumberbaru. Dia pun jadi inspirasi bagi petani di sembilan kecamatan di Banyuwangi,  dari Kalibaru, Glenmore, Sempu, Songgon, Singojuruh, Licin, Glagah, Kabat, dan Genteng untuk terapkan pertanian organik.

Dalam menerapkan pertanian organiknya, bukan tanpa kendala. Samanhudi kadang dapat keluhan di awal-awal petani mulai tanam organik. Ada yang mengeluh soal lahan kadung rusak karena pakai pupuk kimia, hasil sedikit dan banyak lagi.

Tapi dia tidak menyerah begitu saja. Sehingga pada 2019, bisa ekspor hasil panennya ke Eropa. Tak hanya itu, dia bisa ekspor ke Inggris, Jerman dan Belanda lewat Beras organik mereka juga dibeli perusahaan lain untuk ekspor ke luar negeri, seperti Amerika dan Tiongkok.

Samanhudi dan kelompoknya juga coba menarik orang muda untuk terlibat dalam sektor pertanian. Mereka tanamkan kepada generasi muda yang tergabung bahwa bertani bukan hanya soal keuntungan ekonomi tetapi hasil pertanian ditunggu dunia untuk pangan sehat.

Itu yang dilakukan oleh masyarakat biasa. Atau, soal pupuk organiknya, coba lihat apa yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Jember, untuk membantu para petani dalam mengatasi persoalan kelangkaan pupuk yang selalu terjadi setiap tahun.

Pemkab Jember alokasikan  anggaran APBD 2023 sebesar Rp3,2 miliar untuk bangun pabrik tersebut. Pabrik pupuk itu mampu memproduksi pupuk organik sekitar 8 ton per jam atau sekitar 50-60 ton setiap harinya, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pupuk petani di Jember.

Pabrik pupuk organik itu bukan untuk berbisnis semata, tetapi untuk membantu para petani agar pupuk dengan mudah dan  murah.
Dengan pemakaian pupuk organik diharapkan dapat memangkas ongkos produksi, sehingga pendapatan petani meningkat.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Perkebunan Jember Imam Sudarmaji mengatakan, lebih dari 50 persen kondisi tanah pertanian di Jember kritis, karena kesuburannya berkurang akibat penggunaan pupuk kimia.

Dua hal itu mungkin bisa jadi referensi Ajunan untuk dijadikan jawaban  atas masalah yang melilit petani di Pamekasan.

THR  Kedua- Ngerèng Padâ Pèkkèr Nasib Tenaga Pengajar_Guru Honorer

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Pamekasan, Madura mengeluhkan soal kesejahteraan guru honorer yang hanya digaji Rp 300 ribu perbulan.

Ketua PGRI Pamekasan, Mohammad Sahid mengatakan, bahwa ribuan guru honorer masih menerima gaji yang sangat kurang layak. Ada sekitar 4000 ribu guru honorer di Pamekasan yang menerima gaji Rp 300 ribu per bulan.

Dia bilang, gaji tersebut tidak sebanding dengan jumlah pengabdian yang diberikan oleh para guru honorer yang full mengajar selama sebulan. Tapi yang full masuk ngajar 24 jam dalam satu minggu itu banyak.

Dia meminta agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (Mendikbud RI) serta Pemkab Pamekasan betul-betul memperhatikan nasib guru honorer di Indonesia khususnya di Pamekasan.

Menurutnya, peran guru honorer memiliki andil yang cukup signifikan dalam memajukan pendidikan di Indonesia, begitu pula di Pamekasan.

Dia mengungkapkan, para guru honorer di Pamekasan, rata-rata lulusan S1 dan S2 dari Universitas ternama yang dalam segi keilmuan mereka lebih mampu. Namun belum balance dengan kesejahteraan yang mereka dapat.

Mungkin, sejauh ini, Ajunan sering  mendengar bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Bagi penulis,-dan mungkin sebagian guru honorer akan menagkui ini-  kalau guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, itu keliru. Sebab guru itu butuh meras otak-biaya pendidikan-bahkan mungkin ada yang dulu pas kuliah, sering diomelin ibu kosnya, karena telat bayar kosannya. Bahkan, untuk bisa sampai wisuda demi dapat gelar sarjana atau magister, misalnya, kudu ngutang sana sini.

Artinya, masa banting tulang saat kuliah demi jadi guru  setragis itu, lah, ketika jadi guru masih digaji seupil.

Ini hanya perbandingan saja. Buruh tani, kalau di daerah saya di Pantura, seharian mencakungkul di sawah, diberi upah 100-120 ribu. Itu lengkap dengan makan dan rokok-misal merokok.

Lah, guru honorer di Pamekasan hanya dibayar 300 ribuan sebulan. Mungkin juga dibawah itu. Apa ta’ palengen mereka? Ya, jelas palengen. Belum lagi, misal mereka sudah berkeluarga atau nangung hidup orangtua, adik atau keluarga terdekat lainnya.

THR Ketiga- Pèkkèr Jhughân Nasib Nelayan yang Ngambâng

Nelayan di Kabupaten Pamekasan mengeluh karena aktivitas karena kendala ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar. Jatah yang diberikan pemerintah dan kebutuhan nelayan di lapangan sangat timpang.

Salah satu dari nelayan itu adalah Mohammad Wardan AZ, Desa Branta Pesisir, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan. Dia merupakan Ketua Asosiasi Nelayan Indonesia (ANI) Pamekasan. Menurut Wardan, kuota BBM yang diterima Kabupaten Pamekasan sedikit. Yakni, 32.858 kiloliter dari usulan 36.500 kiloliter.

Padahal, usulan yang disampaikan kepada pemerintah pusat sudah sesuai dengan kebutuhan. Wardan menceritakan, pembagian kuota BBM jenis solar itu sudah disimulasikan sejak usulan dilayangkan kepada pemerintah pusat.

Dari total 36.500 kiloliter yang diusulkan, nelayan akan mendapat jatah 12 ribu kiloliter. Kemudian, kebutuhan darat sebanyak 24.500 kiloliter

Namun, Kementerian ESDM hanya menyetujui 32.858 kiloliter. Dengan asumsi, nelayan akan mendapatkan jatah sebesar 11 ribu kiloliter.Namun, fakta di lapangan, jatah untuk nelayan sangat kecil. Yakni, hanya 4.300 kiloliter.

Mestinya nelayan itu mendapat 11 ribu kiloliter dari total kuota yang didapat Pamekasan. Tapi faktanya, kami hanya dapat 4.300 kiloliter. Lalu, sisanya buat siapa? Dengan kondisi tersebut, dia menilai ada pihak yang bermain mengatur kuota BBM untuk nelayan itu.

Belum lagi, bicara kasus nelayan meninggal karena laka laut. Seperti yang terjadi kepada Mudhar, 65, meninggal saat melaut pada 20 Oktober 2019 lalu. Pria asal Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, ternyata terdaftar sebagai penerima asuransi nelayan dalam program bantuan premi asuransi nelayan (BPAN) 2019.

Dia masuk dalam daftar 951 penerima program BPAN yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kendati terdaftar sebagai peserta asuransi, Mudhar tidak bisa menerima klaim kecelakaan lantaran terganjal visum dokter.

Pada 23 Oktober 2019 lalu, Mudhar dinyatakan tidak berhak menerima klaim kecelakaan karena kartu asuransi mandiri yang dimilikinya masa berlakunya telah habis. Kartu tersebut berlaku sampai 24 Mei 2019.

Namun, dia dinyatakan terdaftar sebagai peserta BPAN 2019. Bahkan, kartu penerima asuransi tersebut sudah keluar akhir Oktober lalu. Pihak keluarga dan Dinas Perikanan Pamekasan pun berupaya mengajukan klaim.

Kepala Seksi Pengendalian dan Perlindungan Nelayan Kecil Dinas Perikanan Pamekasan Bambang Budi Santoso membenarkan hal tersebut. Pihaknya sudah mengupayakan pengajuan kepada KKP untuk mendapatkan klaim kecelakaan laut tersebut.

Menurut Budi, visum itu tidak dilakukan ketika jasad Mudhar yang sempat hilang tersebut sudah ditemukan tiga hari pasca dinyatakan hilang. Jasadnya langsung dikebumikan. Faktanya, Mudhar belum bisa mendapatkan klaim kecelakaan tersebut. Besaran klaim kecelakaan sekitar Rp 200 juta.

Sementara itu, Kepala Desa Padelegan Ibnu Hajar mengatakan, jasad Mudhar tidak divisum lantaran tidak diperbolehkan oleh pihak keluarga. Padahal, berkas dan kronologi kecelakaannya sudah lengkap dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pamekasan. Termasuk keterangan kepolisian serta surat kematian dari kepala desa.

Dua persoalan di atas, hanya contoh saja. Saya yakin banyak persoalan lain yang selama ini membuat nasib nelayan terombang-ambing di tengah laut kehidupannya.

Semoga bisa jadi bahan renungan oleh ajunan ke depan, di dalam mempersiapkan draft jawaban nyata atas persoalan yang terjadi di kalangan nom-anom dan bhuk-bhuk nelayan di Pamekasan.

THR Keempat-  Cegah Kerusakan Lingkungan dan Pulihkan yang Terlanjur Rusak

Pembabatan pohon bakau di Desa Ambat, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, memang sudah dihentikan. Namun, sikap Pamekasan belum tegas. Bahkan, mengeklaim tidak berwenang menangani masalah tersebut.

Pj Bupati Pamekasan Masrukin enggan berkomentar banyak. Dia hanya menyampaikan, bahwa sudah meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk turun tangan agar tidak terjadi konflik.

Sementara itu, Kepala DLH Pamekasan Supriyanto menjelaskan, meskipun sudah melakukan peninjauan, instansinya tidak bisa berbuat banyak. Hal itu disebabkan tanah tersebut sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM).

Dia menjelaskan, DLH tidak berwenang menelusuri SHM. Alasannya, kawasan tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim). Sebab, 0 sampai 12 mil kawasan pantai pesisir tidak menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Sebelum itu, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup DLH Pamekasan Farhatin Syaifillah menyatakan, pembabatan mangrove di Desa Ambat mengandung unsur pidana.

Pelaku, katanya, melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Bahwa, setiap orang yang melakukan perusakan lingkungan, baik air, udara, itu masuk pidana.

Dia menegaskan, pelaku melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Pamekasan.

Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan Ribut Baidi menilai Pemkab Pamekasan tidak serius. Bahkan, lalai dalam mengawasi kondisi ekologi. Padahal, perusakan dan atau pencemaran sangat tampak dan jelas. Dia juga mencontohkan tentang galian C ilegal. Bahwa,  lebih kurang ada 100 titik lokasi dibiarkan beroperasi.

Mantan Wakil Bupati (Wabup) Pamekasan RB Fattah Jasin mengklaim tidak berizinnya tambang galian C di Pamekasan akibat belum tuntasnya revisi rancangan Peraturan Daerah (raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Kata Fattah, kendati yang memberikan izin Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim), salah satu pertimbangan keputusannya berdasarkan perda tersebut.

Menurutnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan sudah menuntaskan berbagai proses dari tahapan revisi Raperda RTRW, mulai pembahasan, rekomendasi dari Pemprov Jatim dan harmonisasi dari Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM), terkecuali terdapat satu tahapan yang masih belum dilakukan, yakni; penetapannya di sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pamekasan.

Dia bilang, apabila sudah disahkan Perda RTRW oleh Pemkab Pamekasan, maka Pemprov Jatim akan memberikan izin tambang bagi perusahaan yang sudah mengajukan permohonan izin, dengan catatan persyaratan yang nantinya atur harus terpenuhi.

Sementara itu, Kepala Bagian (Kabag) Perekonomian Sekretariat Daerah (Setda) Pamekasan Bachtiar Effendy menyampaikan, berdasarkan Minerba One Map Indonesia terdapat 21 titik yang sedang diajukan izin penambangannya ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat tiga titik yang sudah mengantongi izin wilayah izin usaha pertambangan.

Ketiga titik tersebut berada di Kecamatan Pasean. Meski sudah mengantongi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), ketiganya tidak diperbolehkan melakukan penambangan, karena ketentuannya harus menyelesaikan yakni izin produksi dan izin surat izin pertambangan batuan (SIPB).

Kondisi ekologi di wilayah pantai utara (pantura) Pamekasan tak kalah memprihatinkan. Pasalnya, pengerukan dan penambangan pasir ilegal tidak terkendali. Tapi, pemerintah terkesan membiarkan meskipun aktivitas itu dilakukan terang-terangan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pamekasan Supriyanto tidak berkenan memberikan keterangan. Alasannya, jika berkaitan dengan izin, bukan menjadi tanggung jawabnya.

Kepala Bagian Perekonomian Setkab Pamekasan Abdul Fata menyatakan, pemerintah kabupaten tidak bisa berbuat banyak. Sebab, semua perizinan penambangan kewenangan pemerintah provinsi.

Pihaknya mengeklaim, setiap tahun pemerintah selalu melaporkan fluktuasi penambangan. Baik galian C, tambang pasir, dan lain sebagainya.  Menurutnya posisi pemerintah kabupaten untuk urusan tambang itu terbatas. Sehingga, tidak bisa melakukan penindakan. Kecuali hanya pengawasan semata.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (Walhi Jatim) Wahyu Eka Setyawan menjelaskan, wilayah yang aktivitas tambangnya berlebihan terancam berbahaya. Beberapa di antaranya, meningginya abrasi dan erosi di kawasan pesisir. Kualitas lingkungan atau kondisi perairan di laut juga buruk. Jelas ini akan merugikan nelayan

Dia menjelaskan, tambang pasir besar atau kecil akan memengaruhi kualitas air laut. Misalnya, turbulensi, yang bisa menyebabkan peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan laut.

THR Kelima- Solusi Bencana Alam (Banjir) Tahunan Pamekasan

15 tahun belakangan, dari empat kabupaten yang di Madura, hanya Sampang yang terdengar langganan banjir tahunan.  Bahkan, mungkin karena penanganan tak kunjung dilakukan-atau setengah-setengah mengupayakannya, warga setempat menggkirtiknya lewat lagu: Sampang Banjir Pole.

Tapi, 10 tahun belakangan,  Pamekasan pun tak mau kalah, langganan banjir. Terbaru, banjir yang terjadi di dua kecamatan wilayah Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur, dilaporkan berdampak terhadap ribuan warga.

Katanya,  banjir dipicu luapan air sungai pada Selasa (12/3/2024). Hingga Rabu (13/3/2024) siang, masih ada genangan banjir. Banjir kerap terjadi di  dua kecamatan; Kecamatan Pamekasan (Kelurahan Barurambat Kota, Jungcangcang, Kangenan, Parteker, Patemon, serta Desa Laden dan Jalmak). Banjir juga melanda Kecamatan Pademawu (Desa Sumedangan dan Desa Lemper, serta Kelurahan Barurambat Timur.)

Ada sekitar 2.217 kepala keluarga (KK) atau 6.022 jiwa yang terdampak banjir. Selain rumah warga, dilaporkan ada sejumlah fasilitas umum yang terdampak banjir, seperti lembaga pendidikan, masjid, mushala, pondok pesantren, juga sejumlah kantor kelurahan, balai desa, dan kantor pemerintahan.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pamekasan, Amin Jabir mengaku kesal karena rekomendasi penanggulangan banjir di Pamekasan tak kunjung dilaksanakan.

Rekomendasi itu berupa pengerukan sungai yang sudah mengalami pendangkalan. Akibatnya, banjir tidak kunjung teratasi dan BPBD selalu menjadi sorotan publik.

Manurut Jabir, rekomendasi penanganan banjir itu sudah ada sejak tahun 2017. Rekomendasi itu dibuat oleh tim ahli dari salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur dan sudah berdasarkan penelitian lapangan. Namun, sampai sekarang, tidak ada langkah konkret untuk melaksanakannya.

Jabir bilang, salah satu cara untuk melakukan normalisasi sungai yakni pengadaan alat ekskavator atau alat pengeruk. Dengan alat itu, Pemkab Pamekasan bisa leluasa melakukan normalisasi sungai-sungai yang ada di Pamekasan.

Jabir menyoroti program dan anggaran normalisasi sungai yang dilakukan oleh salah satu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan cara kontraktual. Menurutnya, program yang dikontaktualkan hanya menghabiskan anggaran besar, sedangkan manfaatnya tidak begitu signifikan.

Jreng-jreng…

Mungkin itu saja THR yang bisa saya kasih-ulas sekilas. Ada lagi? Ya, cari sendiri lah! Tentu Ajunan sekalian dan pendukungnya nanti tidak hanya modal fafifu apalagi hanya modal janji-janji manis untuk nyalon. Minimal, ya, baca dulu tentang harapan rakyat- kondisi Pamekasan dari ragam lini dan sektor. Sehingga Ajunan dapat memetakkan, apa yang akan diperbaiki di Pamekasan. Kalau untuk jadi calon pemimpin hanya modal janji manis, lalu, apa bedanya dengan sebelum-sebelumnya?

Lagian kalau hanya yang manis-manis, rakyat sudah bisa bikin sendiri. Apalagi pas pasaan, kolak awalowa è ghârlangghâr, mushala, dan jid masjid. Haha.

Saya tak peduli siapa, apa latar belakang partai, atau dari golongan mana Ajunan. Mau dari mekkasan bun lao’, bun dâjâ, bun tèmor, bun bârâ’ atau nga’-tengaan. Tapi yang jelas, ngèrèng padâ kèr pèkkèr, nasib Pamekasan kedepan.

Selain apa yang saya ulas di atas, ada lautan masalah lainnya yang perlu diselami. Seperti bagaimana kondisi nasib pengusaha skala rumahan, pelajar, para nom anom tukang becak, pedangan kaki lima, guru ngaji, pedagang di sarpasar, dan lainnya. Belum lagi misal bicara nasib kesenian, budaya, literasi, pesantren, isu perempuan, lansia, anak, toleransi umat beragama, dan seabrek masalah lainnya.

Bagaimana cara membaca dengan tepat kondisi- persoalan yang adai di Pamekasan? Ya, Ajunan kudu bikin tim kajian khusus.  Saya yakin, Ajunan ini sudah sering terbentur sehingga terbentuk seperti sekarang dan sudah khatam ayat-ayat pemerintahan dan kerakyatan.

Bahkan, mungkin Ajunan sudah siap dengan segala halnya. Termasuk siap di-PHP-in timses, pendukung dan partai pendukungnya. Siap lengghâ jika menang, dan siap tapegghâ jika kalah dalam pertarungan politik di Pilkada 2024 di Pamekasan mendatang.

Artinya, daripada obâng  ajunan terlalu banyak digunakan untuk bikin timses yang, belum tentu setia- milih ajunan juga, manyangsang baliho di pepohonan dan tiang listrik, serta pasang –ngiklan-wajah di media massa lengkap dengan polesan kinyis-kinyis, kan, mubadzir. Mending, sebagian obângnya  dipakai untuk bikin dan biayayai tim kajian itu.

Daripada tenaga dan waktu Ajunan terlalu dikuras untuk safari politik yang, mungkin akan diintrik oleh orang bermuka dua di percaturan politik. Mending fokus menyusun-bergerak lakukan strategi politik yang santai, asyik, dan pelan tapi pasti.

Ampon cokop THR kainto. Sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa mendoakan kalabân èsto; para Ajunan diberikan kelancaran, keberkahan, tor niattacarana  Ajunan yang digadang-gadang (Kebelet) Nyalon Bupati dan Wakil Bupati Pamekasan  soccè. Jhughân, ollè pètotuna pangèran sè kobâsa, bukan hanya ikuti hasrat pendukung-abâ’ tibi’na untuk berkuasa.

 

 

 

 

*Penulis akrab disapa dulghâpur. Asli na’potona rèng tanè, Bâtes Tèmor, Raghâng alias Mekkasan bun dâjâ.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *