Penulis: Abd Gafur*
Bagi saya, Bu Hun adalah salah satu simbol keikhlasan dan kesabaran di MTsN 3 Pamekasan. Ingat Bu Hun, saya jadi teringat cara mengajarnya yang telaten dan penuh kesabaran
Siang jelang sore hari itu, Jalan Raya Bandungan Pakong tampak lengang. Tak lama, terdengar deru kendaraan dari arah timur. Taksi dengan spesifikasi Mobil L300 berhenti tak jauh dari tempat saya duduk. Saya memang menunggunya sekitar 10-20 menit sebelumnya.
“Laok, Dek?” Kata “Laok” dalam pertanyaan ringkas itu, biasa diucapkan oleh sopir taksi untuk memastikan kejelasan tentang orang yang duduk di sebuah gardu (-bisa juga disebut halte kecil) di pinggir jalan di pertigaan Bandungan, Pakong. Biasanya, orang yang duduk di situ sedang menunggu taksi rute Waru-Pakong-Pamekasan Kota atau yang dari arah Cenlecen-Pakong-Pamekasan Kota.
Saya tersenyum lalu merespon “Yak, Pak” lalu masuk ke dalam taksi.
“Assalamualaikum.” Saya menyapa perempuan berjilbab panjang dan lebar di dalam taksi. Beliau adalah Bu Hun (Hunainatul Hasanah), guru Pendidikan Agama Islam di MTsN 3 Pamekasan (-saya lebih suka menyebut MTsN Sumber Bungur). Sivitas MTsN Sumber Bungur akrab memanggil beliau “Bu Hun”.
Saya meraih tangan-menyalami beliau penuh takzim. Beliau tersenyum dan mengajukan pertanyaan “Siapa?”
“Abtina, Gafur, Bu Hun. Morèd Ajunan sè meller (Saya Gafur, Bu Hun. Murid Anda yang nakal).”
“Abbâ, bâ’ân, Fur. Saporan, Ibu bâk èkaloppaè, polan jân rajâ. Lambâ’ ghi’ MTs polan kènè’. Sehat nak, yâ? (Wala, kamu Fur. Maaf, saya agak lupa, Fur. Karena dulu kamu lebih kecil dari yang sekarang. Sehat nak?)”
“Alhamdulillah, Gafur saèan, Bu Hun. Ajunan katiponapa saèan jhughân? (Alhamdulillah, sehat, Bu Hun. Anda bagaimana-sehat juga?)”
Bu Hun menjawab pertanyaan saya dengan kalimat hamdalah lalu tersenyum.
“Mau kemana, Fur?”
“Ke kampus, Bu.”
“Kuliah di mana?”
“STAIN, Bu.”
“Oh ya, semangat. Jangan patah semangat dan tak perlu kecil hati meskipun kuliahnya tidak di luar Madura. Kamu punya potensi untuk berkembang. Tetap rendah hati, belajarnya rajin, ibadahnya juga.” Saya mengangguk takzim mendengar nasihat beliau.
Kami terus berdialog sepanjang perjalanan. Perkiraan saya, perjalanan Pakong-Pamekasan Kota, kurang lebih 25-30 menit. Tapi saya tertidur di tengah perjalanan. Akibatnya, saya tak tahu di mana Bu Hun turun dari taksi kala itu. Yang saya ingat, beliau sudah tidak di dalam taksi ketika saya terjaga.
“Gak usah, Dek. Tadi kamu sudah dibayarin sama Bu Guru itu.” Kata sopir taksi ketika saya turun di sekitar Ghurem (Jl. Pangeran Trunojoyo) dan mau bayar ongkos.
Mendengar itu, saya bersyukur. Tapi di sisi lain, saya merasa tidak enak kepada Bu Hun dan bingung mau menyampaikan terima kasih dengan cara apa. Sebab, saya tidak tahu kala beliau bayar dan tak sempat meminta nomor teleponnya.
Cerita itu, adalah salah satu diantara sekian kenangan (hasil reka ulang) dengan Bu Hun yang bisa saya kais dari sumur ingatan.
Saya lupa waktu persisnya kejadian itu. Tapi berdasarkan ingatan saya, kenangan itu terjadi kisaran 2014-2015. Kala itu, saya masih mahasiswa baru di STAIN Pamekasan (-IAIN Madura). Kala itu, saya memang belum punya kendaraan bermotor. Setiap hendak balik ke kampus-pulang ke rumah di Waru, kalau tidak naik taksi, ya nebeng kawan.
Jumat (6/12/2024) saya merasakan sedih amat mendalam melihat poster bertuliskan “Innalihiwainnailahi rojiun. Turut berdukacita atas meninggalnya Hunainatul Hasanah, S.Ag (Guru MTsN 3 Pamekasan). Semoga amal baiknya diterima oleh Allah SWT dan husnul khotimah serta ditempatkan di Surga Allah SWT. Amin.” lengkap dengan foto beliau di tengah.
Melihat poster itu, saya langsung mengirimkan khususon Surat Alfatihah. (dan untuk siapapun yang baca tulisan ini, mohon keikhlasannya mendoakan beliau-mengirimkan Alfatihah).
Poster itu, saya temukan di beranda media sosial milik Pak Agus, Kepala MTsN 3 Pamekasan periode ini. Tak berselang lama, saya menghubungi Pak Agus-menyampaikan duka cita mendalam.
“Terima kasih, Mas. Do’akan Bu Hun, ya, Mas.” Respon Pak Agus atas pesan singkat saya.
“Beliau sakit sakit apa, Pak Agus?”
“Penyempitan pembuluh darah pasca melahirkan dan berkembang menjadi kanker tulang.”
Membaca pesan itu. Hati semakin sedih. Membayangkan bagaimana perjuangan Bu Hun karena penyakit itu: Andai saja, saya di Madura waktu mendengar beliau sakit, insyallah akan besuk. Tak lupa, bila masih diberikan kesempatan bertemu, saya hendak mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan beliau. Bukan hanya soal dibayarin ongkos taksi kala itu. Tapi juga atas segala keteladanan yang saya peroleh dari beliau.
Bagi saya, Bu Hun adalah salah satu simbol keikhlasan dan kesabaran di MTsN 3 Pamekasan. Ingat Bu Hun, saya jadi teringat cara mengajarnya yang telaten dan penuh kesabaran. Kalau tidak salah, saya pernah diampu materi Mata Pelajaran Aqidah Akhlak dan Sejarah Kebudayaan Islam. Beliau juga wali kelas saya di kelas 9 PAI.
Bu Hun, terima kasih Ajunan sudah ikhlas mendidik murid Ajunan yang, dulunya meller ini.
Bu Hun, kebaikan Ajunan tetap terkenang dalam diri Gafur. Semoga, kebaikan Ajunan bisa dicopypaste dalam kehidupan Gafur. Abtina bersaksi Ajunan orang baik dan semoga kesaksian ini, diijabah oleh Allah.
Allahumma Firlaha Wa’afiha Wa’fuanha.
Foto: Potongan poster ucapan duka cita atas meninggalnya Bu Hun, guu MTsN 3 Pamekasan, Jumat (6/12/2024). (Dok.MTsN 3 Pamekasan)
*Tulisan ini diniatkan sebagai obituari atas kepergian Bu Hun dan guna mengabari kepergian beliau kepada rekan-rekan alumni MTsN 3 Pamekasan yang pernah diajari beliau. Lebih khusus, mengajak untuk mengirimkan doa, paling tidak dengan Al-Fatihah khususon ila almarhumah.
*Alumnus MTsN Sumber Bungur.