Penulis: Abd Gafur*
Addin sahabatku, pernyataan Anda sebenarnya disandarkan pada apa? Kitab-dalil apa yang Anda pakai?
Sahabatku Addin Jauharudin, saya terkejut membaca pernyataan Anda di media massa yang bilang Rancangan Undang-Undang atas perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sejalan dengan semangat reformasi, sebagaimana dimuat berita Kompas.com (20/3/2025).
Bagaiman tidak, di tengah riuh penolakan oleh banyak pihak, yang masih memikirkan nasib rakyat dan NKRI ini, Anda justru sebaliknya. Dengan santainya bilang RUU TNI itu masih sejalan dengan cita-cita reformasi.
Saya masih tak percaya, sosok pemimpin Gerakan Pemuda Ansor atau organisasi pemuda Nahdlatul Ulama’ mengeluarkan pernyataan sebegitunya. Sungguh tak pernah terbesit di kepala. Sekalipun tak sekali ini GP Ansor menelurkan pernyataan aneh bin nyeleneh, dalam konteks lain.
Sahabatku, Anda tahu, salah satu pengurus PBNU-H Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) dengan tegas menyebutkan potensi tumbuhnya dwifungsi militer karena RUU TNI ini. Pun Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menyebut RUU TNI ini berpotensi kembalinya dwifungsi ABRI.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui Muhamad Isnur tegas mengecam pengesahan RUU TNI ini dan bilang DPR dan pemerintah telah menjadi tirani karena membahas hingga mengesahkan RUU TNI secepat kilat tanpa bisa menerima kritik.(Kompas.com – 20/03/2025)
Saya pikir, Anda lebih tahu mereka (Savic Ali dan Alissa Wahid), dalam urusan memikirkan nasib bangsa dan negara ini. Pun, dengan YLBHI berikut kerja-kerja kawan-kawan di sana dalam urusan berpikir jernih dan berjuang demi kewarasan di NKRI ini. Termasuk alasan penolakan RUU TNI ini.
Dalam berita ini, Anda bilang, landasan hukum yang membatasi peran TNI dalam ranah politik masih terjaga, termasuk TAP MPR Nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000. Artinya, hal ini masih selaras dengan cita-cita reformasi pada 1998.
Jika demikian, perlu kiranya Anda saya ingatkan lagi apa saja yang jadi agenda reformasi 1998 itu. Setahu saya, setidaknya ada enam tuntutan-agenda reformasi 1998: Dari poin adili Soeharto dan pengikutnya, amendemen UUD 1945, otonomi daerah seluas-luasnya, hapus dwifungsi ABRI, hapus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), sampai tegakkan supremasi hukum. (Kompas: 18/02/2022)
Yang Perlu Anda Ingat Tentang Semangat Reformasi
Mungkin Anda lupa sejarahnya, tulisan Aisyah Yuri Oktavania tentang Sejarah Reformasi 1998, Latar Belakang, dan Dampaknya bisa dibaca bila punya waktu senggang. Tapi sebagai sahabat dan adik yang baik, saya sarikan juga di sini.
Dari sejarah itu, masihkah Anda mau bilang RUU TNI itu sejalan dengan semangat reformasi 1998? Kalau masih ngotot, coba lihat juga perjalanan RUU TNI: yang Digagas Sejak Lama, Dirapatkan Tertutup, dan Disahkan dalam waktu yang sangat Kilat. Ya, bisa dibilang dipaksakan.
Sahabatku Addin, perlu kiranya, Anda juga tadarus sederet fakta RUU TNI disahkan 20 Maret 2025 lalu walau tuai penolakan.(Tempo: 22 Maret 2025). Ya, selain ramadan ini jadi bulan untuk Anda tadarus quran, mungkin ada baiknya fakta-fakta ini bisa dijadikan tadarusan, guna jadi refleksi soal nasib bangsa dan negara ini kedepan.
- Perjalanan pengesahan RUU TNI
Pembahasan RUU TNI sudah dicanangkan dan dibicarakan sejak tahun lalu. Sempat mandek lantaran adanya pesta demokrasi 2024, pembahasannya kembali digulirkan seiring Presiden Prabowo Subianto mengirimi surat kepada DPR. Surat yang dilayangkan pada 18 Februari itu ihwal persetujuan dan penunjukan wakil pemerintah untuk membahas RUU TNI.
Pada tanggal yang sama, Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menerima surat pimpinan DPR terkait penegasan pembahasan RUU TNI. Setelah itu Komisi I DPR kemudian menggelar rapat intern pada 27 Februari 2025, untuk menyepakati pembentukan panitia kerja dengan komposisi sebanyak 23 anggota.
Utut mengatakan Komisi I DPR telah menyelesaikan sejumlah rangkaian pembahasan RUU TNI bersama perwakilan pemerintah; koalisi masyarakat sipil; hingga internal komisi I melalui panitia kerja (panja). Atas laporan Utut, Puan lantas meminta persetujuan seluruh anggota dewan yang hadiri sidang paripurna menyetujui RUU TNI disahkan menjadi UU.
- Yang berubah dari UU TNI
Adapun perubahan dalam UU TNI di antaranya ihwal kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang operasi militer selain perang (OMSP), penambahan jabatan sipil yang bisa diisi TNI aktif, dan perpanjangan masa dinas keprajuritan atau batas usia pensiun.
Sebagaimana dituangkan dalam perubahan Pasal 47 UU, jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif bertambah dari 10 bidang menjadi 14 bidang. Selain ketentuan 14 bidang jabatan sipil tersebut, TNI aktif harus mundur atau pensiun dari dinas keprajuritan.
Ada dua tugas pokok baru OMSP yang ditambahkan, yaitu meliputi membantu dalam menanggulangi ancaman siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara, serta kepentingan nasional di luar negeri.
- TNI boleh berbisnis?
Sebelum disahkan, ramai didesuskan ada upaya mendorong agar aturan pelarangan berbisnis terhadap anggota TNI aktif dihapus lewat RUU TNI. Wacana itu berdesus kencang pada Juli 2024 dan kembali mencuat beberapa waktu terakhir. Namun, rencana pengap itu tak diterapkan dalam beleid terbaru.
“UU TNI yang baru disahkan tetap melarang TNI berbisnis dan berpolitik praktis. Pasal 39 dalam UU itu masih memberikan larangan dalam kedua aspek tersebut. Bahkan kalau di Pasal 47 Cuma ada 14 kementerian dan lembaga yang bisa diduduki TNI aktif. Di luar itu harus mundur atau pensiun dini,” kata Puan.
- Massa unjuk rasa tolak pengesahan RUU TNI
Sementara itu, sejak Kamis dini hari di luar gedung DPR, kelompok masyarakat sipil telah mendirikan tenda untuk menolak pengesahan RUU TNI. Penjagaan ketat pun terlihat di sekitar gedung DPR. Bukan hanya Polri, namun terlihat juga aparat dari TNI memasuki gedung Dewan.
Namun pada siang harinya, massa aksi di gedung DPR/MPR terpaksa mundur karena aparat kepolisian mengerahkan meriam air atau water cannon. Polisi juga mengerahkan sejumlah anggota untuk membubarkan aksi menolak pengesahan Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 atau UU TNI itu.
Berdasarkan pantauan Tempo, mahasiswa yang ikut berunjuk rasa harus mundur mengarah ke Senayan Park. Adapun anggota polisi yang berjalan membawa perisai taktis serta tongkat. Ada pula anggota polisi yang menggunakan kendaraan roda dua dengan membawa pelontar gas air mata.
Kepolisian mengapit dua ruas jalan, pertama dari arah Senayan Park, kemudian dari arah jembatan layang Petamburan. Mahasiswa akhirnya terpecah belah ke berbagai arah seperti Senayan Park, jembatan layang menuju Semanggi dan jalan tol S. Parman.
Terdapat beberapa mahasiswa yang ditangkap oleh polisi. Anggota yang menggunakan kendaraan roda dua mengejar pengunjuk rasa. Dua sepeda motor milik massa aksi terpaksa ditinggalkan oleh mereka agar tidak tertangkap oleh aparat kepolisian.
- Alasan RUU TNI ditolak pengesahannya
Pengesahan RUU TNI mendapatkan penolakan salah satunya dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademi (KIKA). Dalam konferensi pers bertajuk “Kejahatan Legislasi dalam Persetujuan UU TNI 2025” secara daring pada Kamis, Koordinator KIKA Satria Unggul mendorong masyarakat sipil bersatu mendesak pemerintah membatalkan UU TNI tersebut.
Satria menjelaskan beberapa alasan masyarakat secara umum harus menolak. Pertama, pihaknya menilai hasil revisi akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI. Hal ini dikarenakan UU TNI menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis seperti masa Orde Baru.
‘Hal itu terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi. Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan,” ujarnya
Alasan kedua, menurut dia UU TNI bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Sementara itu, Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil
‘Hal tersebut tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional,” katanya.
Alasan ketiga, Satria menegaskan dampak impunitas yang dimiliki anggota TNI yang akan berpengaruh terhadap tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi. Hal ini bisa mengancam kebebasan sipil dan demokrasi dalam menyuarakan pendapat dan kritik serta berpengaruh terhadap kekuatan politik yang ada.
“Di mana aktor-aktor politik yang terlibat dalam pelanggaran HAM masih memiliki posisi kekuasaan. Hal ini menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan menghasilkan keputusan yang bias serta bertentangan dengan prinsip kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law),” tuturnya.
Kitab dan Dalil Apa yang Andai Pakai?
Karena itu, pernyataan Anda sebenarnya disandarkan pada apa? Kitab-dalil apa yang Anda pakai? Sementara Anda juga menyebut Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam melakukan perubahan atas UU TNI. Terobosan visioner Gus Dur, Indonesia berhasil memutus belenggu dwifungsi militer dan menegaskan kembali prinsip supremasi sipil sebagai pilar demokrasi.
Anda bilang, Gus Dur, tidak hanya mencabut kursi militer di parlemen atau memisahkan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), tetapi juga menciptakan fondasi etis bahwa TNI mesti tunduk di bawah kendali pemerintahan sipil yang legitimasinya bersumber dari rakyat.
Dalam berita Tempo (20/3/2025), Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan, kekhawatiran terbesar RUU TNI adalah potensi kembalinya dwifungsi ABRI yang sudah dihapus di masa presiden Abdurrahman Wahid.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) dalam berita Bisnis.com (17/3/2025) mengkritik keras dan bilang, Revisi RUU TNI itu memberi 15 jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan, salah satunya Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
“Saya kira itu tidak masuk akal bahwa Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung butuh kompetensi hukum yang sangat tinggi dan TNI tidak dididik untuk ke sana,” Senin (17/3/2025).
Selain tidak masuk akal, Savic menilai masuknya TNI ke Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung berpotensi memberikan implikasi negatif terhadap terlaksananya pemerintahan yang baik. “Tapi saya kira itu adalah kemunduran dari semangat good governance, pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang demokratis dan bertentangan dengan spirit reformasi tahun 98,” ungkapnya.
Bagaiamana Jika Ini Terjadi?
Sekadar buka data saja, sebelum RUU TNI saja, ada warga Nahdliyin yang terlibat konflik dengan TNI. Satu contoh, kasus Konflik Tanah Urut Sewu: Bermula dari Izin Latihan TNI AD, Berujung Penguasaan, setidaknya bisa dijadikan sebuah refrensi perihal kasus yang libatkan TNI. Di mana Andika Perkasa kala itu mengklaim lahan TNI AD di pesisir Urut Sewu seluas 995 hektare berdasarkan peta minute peninggalan zaman Belanda. Detailnya Anda bisa baca di sini. (Tempo: 24 September 2021)
Anda tahu? 2014 lalu, Nahdliyin menuntut agar TNI AD Hentikan Pemagaran Pesisir Urut Sewu. Kala itu, FNKSDA sampai minta kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, agar melindungi warga setempat, mengingat mayoritas petani adalah Nahdliyin. (Nuonline: 27 Januari 2014).
Lalu, pada 11 September 2019, warga Urut Sewu melalui Ketua Forum Petani Paguyuban Kebumen Selatan (FPPKS), Seniman Marto Dikromo berkirim surat kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Seluruh Warga Nahdliyin. Isi surat itu, dipungkasi dengan:
“Mohon supaya dapat sekiranya membantu kami para warga NU yang lemah ini agar dapat segera menyelesaikan permasalahan tersebut.Dan kepada seluruh warga Nahdliyin untuk turut mendukung dan mendoakan perjuangan kami agar tanah tempat kami menggantungkan hidup tidak dirampas oleh siapa pun.”
Saya pikir RUU TNI tak berkaitan langsung dengan contoh kasus (Urut Sewu) di atas. Pertanyannnya, andaikata suatu saat nanti ada warga Nahdliyin yang akan berkonflik dengan militer. Lantas, jika kekhawatiran itu terjadi, menurut Anda, siapa yang harus bertanggungjawab, wahai sahabatku?
Anda Tidak Sedang Mengigau, Kan?
Karena itu, apakah fakta-fakta dan narasi dan penolakan di atas kurang sebagai alasan untuk jadi sandaran (Anda) rakyat Indonesia yang menolak RUU TNI? Apakah salah jika rakyat melakukan kritik kepada Pemerintah?
Yang tak kalah penting, Anda juga bisa lihat atau ingat-ingat lagi, pidato Gus Dur di Muktamar NU ke-30 yang dengan bijak dan tegasnya blio mendukung rakyat (-warga NU) yang mengkritik dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Sahabatku Addin, Anda tidak sedang tidur-saat melontarkan pernyataan itu- lalu mimpi “war takjil” dan kesiangan, sehingga lupa bangun untuk sahur, kan? Atau Anda baru bangun, tapi setengah sadar lalu mengigau “RUU TNI sejalan dengan reformasi 1998”? Benarkah begitu?
Ilustrasi: Surat Terbuka untuk Ketua Umum GP Ansor yang Bilang RUU TNI Sejalan dengan Semangat Reformasi.
*Pemuda biasa yang lahir dan besar di lingkungan Nahdlatul Ulama.