Beranda » Surat Terbuka untuk Bupati dan Tokoh Lain di Madura yang Doyan Rujakan Isu “Saatnya Madura Jadi Provinsi”: Ma’ Ta’ Suramadu Pèkol!

Surat Terbuka untuk Bupati dan Tokoh Lain di Madura yang Doyan Rujakan Isu “Saatnya Madura Jadi Provinsi”: Ma’ Ta’ Suramadu Pèkol!

Penulis: Aqil Husein Almanuri*

Èstona, ngèn-angèn tentang ‘Provinsi Madura’ ampon bunyalèmbu selama dua dekade alias langkong dupolotaonan. Manabi èghi’ghighi’ polè, masih banyak persoalan di Madura  yang belum teratasi, la kabhuru matâttiyâ Madhurâ sebagai provinsi. Dari pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lainnya.

 

Assalamualaikum, katipona kabhâr Ajunan para bupati atau tokoh lainnya di Madura yang doyan bicara ‘Madura Sudah Siap Jadi Provinsi’? Mandhâr moghâ teppa’ kabâdâ’ân saè.

Pembicaraan pembentukan Provinsi Madura kembali menguap. Lebih tepatnya, banyak tokoh yang tampak asyik ngobrolin isu ini. Dukungan pun datang dari banyak elemen dan segala penjuru. Dari kelompok masyarakat, tokoh agama, dan (tentunya) pemerintah daerah lokal sendiri.

Èstona, ngèn-angèn tentang itu ampon bunyalèmbu selama dua dekade alias langkong dupolotaonan. Terhitung sejak tahun 2014, pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium atas dasar efisiensi anggaran dan evaluasi kinerja daerah. Artinya, keiinginan itu belum digubris (-direstui) dari pusat.

Abtina menduga, pemerintah belum melihat potensi Madura untuk memegang otonom secara mandiri. Sekalipun wacana itu diklaim telah melewati uji akademik dan memenuhi persyaratan adminsitrastif.

Kecemburuan menjadi latar belakang yang kuat. Melansir dari beberapa artikel yang berisi isu ini, kelompok-kelompok yang santer mendukung Madura untuk menjadi provinsi dilatarbelakangi oleh kurangnya Pemerintah Provinsi Jawa Timur menaungi dan menyentuh wilayah Madura (-berikut segala potensinya).

Sudahkah Madura Layak Jadi Provinsi?

Emosional kolektif yang tumbuh itu merangsang mereka untuk memandirikan Madura dengan menariknya pada wacana Daerah Otonomi Baru (DOB).

Tentu, ini bukan alasan tunggal dan tak mungkin sesederhana itu kita memandangnya. Pertanyaan besarnya, pantaskah Madura menjadi provinsi? Dan haruskah Madura menjadi provinsi?

Untuk mengukur kepantasan, indikator yang bisa kita pakai adalah dengan mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014 jo. UU No. 9 Tahun 2015 dan PP No. 78 Tahun 2007. Setidaknya ada 3 syarat sebuah daerah dapat dikatakan sah memegang otonomnya sendiri, antara lain: administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Secara administratif, pihak terkait mengklaim telah memenuhi. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Presidium Pembentukan Provinsi Madura, KH. Kholilurrahman, dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa pihaknya telah menyusun dokumen dan kajian akademik yang komprehensif sebagai dasar usulan pembentukan provinsi. Bahkan, dukungan dari DPRD dan kepala daerah di empat kabupaten di Madura pun terbilang cukup solid.

Ketika megamati isu ini, abtina mencoba membaca APBD Wilayah Madura secara keseluruhan melalui web resminya Kemenkeu. Apakah Madura sudah siap secara kapasitas fiskal untuk membuat provinsinya sendiri?

PAD 4 Kabupaten di Madura Masih Nèmor

Kapasitas fiskal Madura (-terlebih jika ditinjau dari Pendapatan Asli Daerah) sangat lemah. Ini yang membuat abtina kemudian bertanya, kenapa Kholilurrahman alias Bupati Pamekasan mengklaim telah menyusun dokumen akademik? Atau sebenarnya dokumen akademik yang bagaimana yang dimaksud?

Data terbaru, jika dikalkulasi, PAD empat kabupaten di Madura masih relatif rendah. Ibrat musim, PAD kabupaten dâri bun bârâ’ ka bun tèmor ghi’ nèmor.

Apakah tidak boleh bila Madura jadi provinsi? Ini bukan boleh ata tidak. Ngèrèng olatin PAD di empat kabupaten di Madura dulu. Kenapa? Karena poin ini tak kalah penting untuk dibicarakan sebelum bicara Madura sudah layak jadi provinsi.

Bicara PAD di empat kabupaten di Madura, tak salah bila disebut masih nèmor. Bhuktèna? Maddhâ pabhentas maos tolèsan kainto!

Pertama, Sumenep. Kabupaten è buntèmora Madhurâ aghâdhui rasio fiskal palèng mabâ dibanding tiga kabupaten lainnya. Total pendapatan daearah Songennep sebesar Rp. 2,59 Triliun, hanya Rp. 318 Miliar yang bersumber dari PAD (12%).  Ketergantungan pada transfer pusat (TKDD) mencapai Rp. 2,1 Triliun lebih atau 85% dari pendapatan.

Ngallè ka bârâ’an alias Mekkasan, tak jauh berbeda dengan Sumenep. Dari total pendapatan daerah yang sebesar Rp. 2,1 Triliun, anggaran PAD-nya hanya Rp. 350 Miliar. Ketergantungan pada transfer pusat mencapai Rp. 1,65 Triliun atau 78% dari total pendapatan.

Sampang menarget PAD sebesar Rp. 420 Miliar, dari pendapatan Rp. 2.05 Triliun. Meski lebih besar dari 2 Kabupaten yang abtina sebut sebelumnya, ternyata realisasinya justru lebih rendah dengan PAD mencapai Rp. 250 Miliar. Sedangkan ketergantungannya pada TKDD adalah Rp. 1.52 Triliun,  sekitar 74% dari total pendapatan.

Begitu juga kabupaten è bun bârâ’ alias Bangkalan, yang memilih ketergantungan TKDD sekitar 77% dari total pendapatan.

Secara kolektif, keempat Kabupaten Madura, jika dijumlah, menargetkan PAD sebesar Rp. 1,57 Triliun dari total pendapatan Rp. 9.37 Triliun. Rasio kemandirian fiskalnya, jika ditotal, hanya 16.8 persen. Realisasi PAD-nya lebih kecil lagi, sekitar Rp. 978 Miliar.

Sateros èpon, ngèrèng atolè sakone’! Ketergantungan pada pemerintah pusat (TKDD) mencapai lebih dari Rp. 7,4 Triliun, hampir 80% dari total pendapatan.

Ini berarti secara agregat atau manabi èokor dari beberapa poin di atas, Madura belum siap menjadi provinsi baru. Ketergantungan pada pemerintah pusat (dengan melihat data TKDD secara kolektif) masih besar.

Buat apa jadi provinsi baru jika PAD-nya saja masih lemah, jika anggarannya masih didominasi oleh transfer pusat? Kita masih rapuh secara anggaran dan masih tak cukup mandiri untuk membuat otonomi sendiri. Artinya, PAD 4 kabupaten di Pulau Garam ini masih nèmor.

Sejauh ini, berdasarkan evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri, sekitar 70 persen DOB yang terbentuk dalam rentang waktu 1999–2009 gagal mencapai tujuan awal pemekaran. Hal ini diperkuat oleh laporan Bappenas tahun 2007 yang menyatakan mayoritas DOB belum berkembang secara optimal.

Faktor paling utama adalah karena PAD pada Daerah Otonom Baru (DOB) itu belum siap, seperti yang dijelaskan oleh Heri Gunawan, Anggota DPR RI Komisi II. Ketika PAD masih rendah dan memaksakan diri untuk menjadi provinsi baru, yang terjadi adalah beban anggaran pusat yang tinggi.

Belum lagi kita melihat ketimpangan di mana-mana. Akatiyâ akses ke beberapa daerah, seperti contoh ke kepulauan, masih belum teratasi. Katiponan, Nom? Persoalan itu saja belum teratasi, la kabhuru matâttiyâ Madhurâ sebagai provinsi. Ma’ ta’ Suramadur pèkol!

Akhir-akhir ini, kabhâr areppan warga kepulauan di Sumenep atas perlunya ambulan laut, banyaknya jalan yang bertahun-tahun tak kunjung diperbaiki, atalabuyân di media. Manabi èghi’ghighi’ polè, itu adalah indikasi bahwa infrastruktur belum merata di pulau Madura.

Persoalan kainto ta’ sabâremmpa. Sebab kekurangan air bersih, pendidikan yang terbatas, dan isu lainnya juga tak kala penting untuk dicatat dalam lembaran evaluasi pemerintah semua kabupaten di Madura.

Pemekaran untuk Siapa?

Sedikit abtina menyinggung di atas, bahwa isu Madura menjadi Provinsi kembali menyeruak bersamaan dengan kecemburuan masyarakat Madura karena merasa dianaktirikan oleh Pemprov Jatim.

Tapi, abtina menduga, suara ini terangkat tidak dengan sendirinya. Ada kekuatan besar yang timbul tak hanya dari dorongan moral, namun juga dipengaruhi oleh dorongan politis. Dan yang terlibat, tentu bukan dari kalangan biasa, namun yang punya kepentingan atas itu.

Terbaru, adalah pernyataan Bupati Sampang, Slamet Junaidi yang menyuarakan agar Madura secepatnya dijadikan provinsi baru, dengan dalih keadilan ekonomi dan kemerataan. Selain itu ia juga berujar bahwa Madura sudah sangat siap dan harus lebih mandiri dalam mengelola kekayaan lokal.

Terlepas dari perkataan Bupati Sampang di atas, alih-alih untuk keadilan pembangunan, abtina justru curiga , bahwa pembentukan provinsi baru (-termasuk rujakan isu Provinsi Madura ini) adalah ladang politis yang menggiurkan. Ini bisa jadi menjadi agenda elite untuk mendapatkan posisi baru, jabatan baru, anggaran baru, dan (tentunya) gaji baru yang lebih besar. Dengan alih status wilayah, maka jabatan beberapa elite juga akan naik ke tingkat provinsi. Ponapa ta’ ngalècèr, Nom?

Membentuk provinsi baru berarti membentuk birokrasi baru: Gubernur, DPRD Provinsi, OPD, infrastruktur perkantoran, dan masih banyak lagi. Jika semua ini dibangun di atas PAD yang masih nèmor, yang ada justru menambah beban fiskal, bukan mempercepat kesejahteraan. Apa ta’ kerrèng?

Jika pemekaran benar-benar untuk rakyat, maka yang perlu diperbaiki pertama kali adalah masalah klasik; disparitas akses, air bersih, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, dan lain-lain. Provinsi baru tak secara otomatis menjawab hal itu semua.

Menorot abtina, pemekaran benar-benar harus dipertimbangkan secara sosial dan perhitungan yang matang. Jika hanya berlandaskan kepada logika politik, maka Madura akan menjadi satu dari 70% DOB yang gagal dan tak ada bedanya dengan tidak menjadi provinsi.

Mela dâri ka’dinto, ka’ator da’ ajunan sè moljâ, bupati atau tokoh lainnya di Madura yang sejauh ini kebelet mau jadikan Madura sebagai provinsi: Ngèrèng padâ ghi’ghighi’ polè, Nom! Ponapa sè ghi usa ghi’-ghighi’ polè? Ghi…. ponapa saos. Intina, sè kèrana tâtti saèna.

Abtina totop tolèsan kainto kalabân pertanyaan sederhana. Apa tolok ukur untuk meyakinkan masyarakat bahwa Madura bisa lebih baik dengan menjadi provinsi?

Wasslamualaikum.

Ilusrtasi: Surat Terbuka untuk Bupati dan Tokoh Lain di Madura yang Doyan Rujakan Isu “Saatnya Madura Jadi Provinsi”: Ma’ Ta’ Suramadu Pèkol! (Indoklik-Gafur)

*Santri kampung yang tak bosan ngaji. Tinggal di Sumenep.

Editor: Abd Gafur

Redaksi