Pilkada Sumenep sudah di depan mata. Hingga detik ini baru muncul satu pasangan calon, Pak Fauzi (incumbent) dari PDIP dan KH. imam Hasyim sebagai calon Wabup yang berangkat dari PKB. Kenapa tidak ada calon lain? Apakah di Sumenep kekurangan kader?
Sejak era reformasi, Sumenep sebenarnya menjadi laboratorium politik penyemaian “demokrasi damai”. Damai dalam makna tak ada konflik sosial berarti paska pemilihan kepala daerah atau pileg. Jika ada sengketa, sejak dulu diselesaikan melalui jalur MK. Setelah putusan MK selesai, selesai pulalah sengketa politik akibat pemilihan.
Di samping itu, setiap pilkada banyak calon, termasuk para kiai, yang ikut kontestasi politik setiap perhelatan Pilkada. Selama empat periode, Sumenep di pimpin kiai, yaitu KH Romdlan Siraj (2000-2010) dan KH Busyro Karim (2010-2020).
Fakta di atas menunjukkan bahwa demokrasi di Sumenep “dinamis” dan “sehat” (meski saya harus menulisnya dengan tanda petik, karena “dinamis” dan “sehat” belum mengikutsertakan analisis kelas).
Tetapi cukuplah dikatakan, Sumenep menjadi salah satu kabupaten di Madura yang paling adem dan mampu menyelesaikan persolan politik secara sejuk dan damai. Ini menjadi bukti terbalik bagi analis politik atau pihak keamanan yang selalu menetapkan Madura sebagai daerah rawan setiap ada perhelatan Pilkada.
Lalu bagaimana kontestasi politik tahun 2024? Hingga detik ini baru muncul satu pasangan calon, Pak Fauzi (incumbent) dari PDIP dan KH. imam Hasyim sebagai calon Wabup yang berangkat dari PKB. Menurut info, sepertinya tak ada partai lagi yang hendak mencalonkan. Berarti jika hanya satu pasangan calon, maka lawannya nanti “bumbung kosong”?
Sebelumnya publik percaya, KH Ali Fikri sebagai lawan kuat incumbent akan mencalonkan. Ternyata sampai detik ini belum ada rekom dari DPP PPP terhadap KH Ali Fikri. Sepertinya makin dekatnya pilkada, tersisa hanya 2 bulan, sudah tertutup kemungkinan ada calon lain, kecuali ada keajaiban.
Pertanyaannya, kenapa tidak ada calon lain? Apakah di Sumenep kekurangan kader? Saya rasa munculnya satu pasangan calon gak ada relevansinya dengan kekurangan kader. Kader menurut saya surplus. Pesantren tak kekurangan kader untuk sekedar menjadi kepala daerah. Pangkal persoalannya terletak pada upaya aktor kuat yang mau membangun kekuasaannya secara sentralistik dengan kombinasi kekuasaan politik yang menjalar hingga pusat dan kekuasaan ekonomi, karena sang aktor juga dikenal sebagai pengusaha.
Menarik dianalisis, DPP PKB sebagai pemenang kedua pemilu (setelah PDIP ) hanya menempatkan calonnya sebagai Wabup. Saya setengah gak ngerti gimana partai yang dikomandani Cak Imin ini justru puas menempatkan calonnya di wakil, sesuatu yang berbeda dengan pemilu sebelumnya? Saya juga setengah heran, kenapa DPP PPP tidak memberi rekom kepada ketua partainya di Sumenep, pada hal basisnya sangat kuat?
Jika ada analisis bahwa tidak adanya pasangan calon lain dalam pilkada 2024 di Sumenep sebagai keberhasilan sang aktor tadi mengunci DPP PKB dan PPP ( sangat mungkin juga partai lain), tak bisa dibantah. Lobi-lobi tingkat tinggi pasti dimainkan sebagai cara untuk menutup akses pasangan calon lain di pilkada 2024, apalagi yang muncul misalnya calon yang memiliki basis (politik dan kultural) yang kuat seperti KH Ali Fikri.
Jika ini benar, inilah pengalaman pertama Sumenep mengadakan perhelatan pilkada dengan hanya satu pasangan calon yang berseteru dengan “bumbung kosong”. Fakta ini menunjukkan bahwa demokrasi di Sumenep mengalami kemunduran luar biasa, balik lagi ke sistem feodal dengan pura-pura meminjam sistem demokrasi liberal. Secara lahir warga memilih ke bilik suara terhadap pasangan calon yang didesain tunggal oleh kekuatan aktor yang memiliki jaringan politik dan bisnis sekaligus.
Ada beberapa konsekuensi yang akan muncul dari desain Pilkada seperti ini:
Pertama, sang aktor akan makin kuat. Dia bisa membalik kekuatan tokoh agama yang sejak dulu menjadi kiblat kebudayaan (termasuk politik) terhadap satu sosok yang memiliki jaringan politik dan ekonomi nasional.
Kedua, dominasi partai berbasis santri seperti PKB dan PPP akan mengalami penurunan dan partai berbasis nasionalisme -sekuler akan mengalami peningkatan.
Ketiga, jaringan bisnis sang aktor atas nama membangun Sumenep atau jangka panjang (mungkin) membangun Madura akan makin kuat. Tagline “membangun Sumenep” atau “membangun Madura” pernah saya kritik sebagai “menyesatkan”, karena yang benar bagi saya “membangun (jaringan bisnis) di Sumenep atau membangun (jaringan bisnis) di Madura”.
Keempat, pengalaman ini akan menjadikan kekuasaan terpusat dan hegemonik. Bisa ditebak, pola kekuasaan semacam ini akan menyebar dan menyasar kekuatan politik (termasuk politik ekstra parlemen) untuk dibonsai kekuatannya. Sudah umum diketahui, sang aktor dikelilingi oleh anak muda dengan beragam profesi. Dengan begitu, “adem” dan “damai” maknanya saat ini sudah berbeda, bukan lagi kesediaan untuk menghargai keragaman pendapat, tetapi ketiadaan suara kritis akibat hegemoni sang aktor tadi.
Kelima, segenap kebijakan akan disesuaikan dengan kehendak sang aktor. Saya menduga nanti Sumenep akan menjadi kota yang rujukannya metropolitan; glamor dan ramah investasi. Meski saat ini telah dibangun monumen keris, itu tak ada sangkut pautnya dengan kemauan menjadikan tradisi sebagai titik berangkat membangun Sumenep.
Keenam, fakta ini menurut saya menjadikan wajah demokrasi di Sumenep telah bopeng. Tak menarik dan menggairahkan.
Salam
Sumenep, 4 Agustus 2024.
Ilustrasi: Gapura di perbatasan Sumenep dan Pamekasan di Kecamatan Pragaan, Jumat (16/2). (MOH. BUSRI/JPRM)
*Warga biasa yang tinggal di Gapura, Sumenep.