Beberapa orang tampak menikmati rujak di warung milik salah satu warga di pinggir Kali Jompo pagi itu. Air Kali Jompo mengalir seperti biasa. Deras, jernih, dan memunculkan bunyi gemericik deras. Pohon-pohon karet menjulang dan pohon-pohon kopi tumbuh segar dan rimbun di bawahnya.
“Wah, di sini, kok adem, sejuk. Duduk-duduk santai di bawah pohon rasanya enak sambil menikmati rujak. Andai dimanfaatkan jadi tempat wisata, kira-kira bisa nggak, ya? Tapi bagaimana caranya?” gumam Zainul Muhtadi.
Beberapa hari kemudian, dia mengajak pemuda dan sebagian warga untuk memikirkan bagaimana seandainya Kali Jompo dijadikan tempat wisata. Ajakan Tadi disambut positif.
Kurang dari satu minggu dari urun rembuk itu, Tadi dan rekannya kompak membersihkan sampah; ranting-ranting pohon, plastik, daun kering, dan lainnya yang berserakan.
Beberapa rekannya yang lain merekam pemandangan Kali Jompo untuk diposting di berbagai platform media sosial.
Peristiwa pada pertengahan Agustus 2023 itu masih melekat di benak Ketua Komunitas lokal bernama organik Satarètanan tersebut.
Kata Sataretanan, berasal dari Bahasa Madura, yang dalam Bahasa Indonesia memiliki arti ikatan saudara atau persaudaraan. Melalui komunitas itu, Tadi dan anggotanya memanfaatkan Kali Jompo untuk tempat wisata.
“Ngèrèng longghu kaento lu. Ghulâ padâ Madhurâ. Saè nèka, atemmu bi’ trètan tibi’ (Mari duduk disini dulu. Saya juga orang Madura. Asyik ini, ketemu dengan saudara sendiri)” Tadi menyambut perkenalan saya, sembari tersenyum dan menggeser posisi duduknya, Minggu 17 Desember 2023.
Sekitar satu jam sebelumnya, penglihatan saya merekam air jernih mengalir deras melewati bebatuan kecil, sedang, dan besar. Pohon bambu dengan tinggi sekitar empat meter tumbuh segar di tengah, tepat di bagian gundukan tanah. Di belakangnya, jembatan melintang kokoh di atas aliran air.
Daun dan ranting pohon karet dan kopi di sepanjang bantaran kali bergerak pelan mengikuti arah angin bak saling sapa satu sama lain.
Di antara pepohonan, sejumlah pengunjung tampak riuh. Ada yang berjalan dengan temannya. Duduk santai. Sebagian lain tampak sibuk mengantri membeli jajanan di warung tersedia.
Di bagian utara, tiga anak usia sekolah dasar tampak berjalan riang tanpa alas kaki di pinggir kali. Satu dari mereka menenteng ban bekas.
Tak berselang lama, mereka melompat pelan dari batu satu ke batu lalu berenang menggunakannya bergiliran di aliran air yang jernih. Saking jernihnya, bebatuan terlihat jelas di bawahnya.
Di sudut lain, sejumlah remaja duduk santai di atas bebatuan. Mereka berswafoto secara bergantian dengan ragam gaya. Sesekali, tangannya dicelupkan ke dalam air.
Beberapa perempuan dewasa terlihat duduk sambil memakan camilan di pinggir kali. Sesekali, mereka ngobrol satu sama lain dan.
Kali Jompo berupa sebuah sungai yang berada di area perkebunan kopi dan karet di Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember.
Dibutuhkan sekitar 30 menit dari pusat Kota Jember untuk sampai ke lokasi dengan kendaraan bermotor. Jarak persisnya kurang lebih 15 kilometer dari Alun-alun Jember.
Sebagai orang baru, saya coba tanya tentang Kali Jompo kepada Tadi. “Kali Jompo itu kan, bahasa Jawa, yang dalam Bahasa Indonesia berarti sungai tua. Saya tidak tahu persis sejarah sungai ini. Saya lahir, sudah dengar nama sungai ini dengan sebutan Kali Jompo,” tuturnya, di gazebo dekat pintu masuk area wisata.
Dia bilang, air yang mengalir di sepanjang kali, tidak semuanya dari gunung. Sebab air terlihat seperti muncul dari pinggiran kali.
“Debit air normal. Air tetap mengalir meskipun kemarau. Hanya memang kalau kemarau berkurang. Sungai dimanfaatkan untuk banyak hal, termasuk irigasi ke ladang-ladang warga,” katanya.
Area yang dijadikan tempat wisata, masih di bagian pintu masuk pintu perkebunan karet sama kopi. Namun itu juga masih jadi area akses aktivitas warga kalau mau ke lereng.
Dia bilang, pemanfaatan Kali Jompo jadi wisata alam bertujuan untuk jaga kebersihan sungai, angkat nama desa, dan bantu angkat ekonomi warga sekitar.
“Intinya, pemanfaatan Kali Jompo untuk untuk kebaikan bersama. Alam dan ekonomi warga. Kami kelola ini secara secara swasembada antar anggota komunitas dan dukungan masyarakat juga,” kata Tadi.
Dia cerita, Komunitas Satarètanan terbentuk 17 Juli 2021 silam. Kegiatannya untuk sosial; Khitanan, santunan, baik santunan kematian dan santunan untuk dhuafa.
Komunitas tersebut, ungkapnya, memiliki prinsip “siaga membantu masyarakat untuk kebaikan”. Punya misi membantu tanpa pandang bulu. Memilih independen dan mandiri.
Tadi meyakini, pengelolaan wisata Kali Jompo memiliki dampak yang signifikan. Baik secara budaya dan ekonomi.
“Dari segi budaya, paling tidak kami bisa tahu bahasa pengunjung, dan pengunjung bisa tahu bahasa kami. Termasuk, bagaimana cara kami masyarakat lokal, menyambut dan menghargai tamu,” katanya.
Secara ekonomi, ungkapnya, sudah terbukti ada beberapa warga yang sebelumnya tidak jualan, ada wisata Kali Jompo, mereka bisa jualan. Setidaknya, ada 12 stand jualan tersedia untuk warga saat ini. Dia bilang, mungkin akan ada tambahan dari waktu ke waktu.
Warga yang jualan diberikan fasilitas berupa stand secara cuma-cuma. Hanya saja, diminta bayar uang kebersihan sebesar lima ribu rupiah setiap hari.
“Saat ini, ada sekitar 12 stand untuk UMKM 12. Gratis, cuma disepakati uang kebersihan 5 ribu perhari. Ya, 11 stand untuk warga. 1 stand untuk Komunitas Satarètanan,” beber Tadi.
Ingin Mandiri dan Independen
Tadi menegaskan, tidak mau menerima investor. Sebab itu pengelolaan itu murni dari, oleh, dan untuk masyarakat. Selain itu, katanya, berkaca ke beberapa pengelolaan wisata lain yang ada campur tangan investor, mereka tidak mandiri dan terkekang. Akibatnya, pengelola yang notabene masyarakat lokal, harus ikut apa kata investor. Tidak bebas.
“Investor, pernah ada yang kasih tawaran. Baik perusahaan maupun perorangan. Cuma kami gak mau ribet dengan itu. Kami mau mandiri saja. Gak mau ribet. Sesuai kemampuan. Itu sudah kesepakatan juga antara kami dari komunitas, warga dan pihak perkebunan. Ini untuk kebaikan kami bersama juga,” jelasnya.
Tidak hanya itu, pihak pemerintah Desa setempat pernah mengajak kerjasama. “Oh iya, Pemdes pernah ngajak kerjasama melalui BUMDes dan Pokdarwisnya. Tawaran itu ada setelah satu bulan viralnya Wisata Kali Jompo. Tapi kami menolak baik-baik,”
Dia bilang, dia dan rekan di komunitas bukan anti pemerintah. Dia dan pengelolaan lainnya sepakat untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan. Seperti misalnya, khawatir nanti akan ada benturan dengan politik desa.
“Kami khawatir saja, nanti kami, pengelola, dan warga yang sudah saling rangkul, terjebak di urusan politik. Namun, kami tidak menutup hubungan baik dengan pihak manapun, asal baik dan tanpa dinamika politik. Paling tidak, pengelolaan Wisata Kali Jompo ini, anggap bahwa dari, oleh, dan untuk masyarakat secara mandiri,” katanya.
Sejauh ini, katanya, pengelolaan wisata Kali Jompo lancar meskipun ada beberapa tantangan dalam kesempatan tertentu. Seperti, cibiran dari mereka yang tidak suka dengan kerja-kerja kolektif Komunitas Satarètanan dengan masyarakat.
“Tapi, kami tidak mau ambil pusing cibiran dari pihak manapun yang kurang suka dengan kegiatan kami. Yang penting, masyarakat lokal terbantu, aman, dan pengunjung puas dengan apa yang tersedia di sini. Toh kami sudah jelas, untuk angkat nama daerah dan bantu ekonomi warga,”
Tadi membeberkan, sejak dibuka Agustus 2023 lalu, ada saja pengunjung Wisata Kali Jompo dalam setiap harinya.
“Kalau secara kepala, kami kurang memperkirakan. Tapi dari jumlah motor, kalau hari biasa, bisa dibilang puluhan motor. Sementara kalau hari libur, bisa sampai 300 san motor. Pengunjung biasa, tidak ditarik uang masuk. Hanya dikenakan uang parkir motor 2 ribu rupiah Kalau mobil, 5 ribu rupiah,”
Dia menambahkan, pengelolaan Wisata Kali Jompo juga menyediakan fasilitas kemah. Pengunjung yang ingin berkemah atau bermalam dikenakan tarif sebesar 5 ribu rupiah per orang.
Sejauh ini, pengunjung masih didominasi masyarakat lokal. Rinciannya; Jember dan sekitarnya, Blitar, Sidoarjo.
“Tapi pernah ada sekali, pengunjung dari Prancis. Entah waktu itu dia tahu dari media sosial, atau diajak temannya ke sini,”
Dia berharap, Wisata Kali Jompo memberi dampak positif untuk warga. Anggota Komunitas Satarètanan maju dan anggotanya kompak.
Sebagai bagian dari Jember, katanya, pengelola wisata Kali Jompo berharap banyak dukungan dari Pemkab. Baik dari sisi pemikiran, fasilitas, dan lainnya.
“Sementara ini, fasilitas tersedia berupa; tempat shalat, MCK, gazebo untuk duduk santai di beberapa sudut, kursi ala kadarnya, stand jualan,” ungkapnya.
Bantu Ekonomi Warga
Nawiyah, salah satu warga lokal yang memanfaatkan fasilitas berjualan di area Wisata Kali Jompo menuturkan, senang dengan adanya wisata tersebut. Selain desanya terkena, dikunjungi banyak orang, dia sendiri bisa dapat kesempatan jualan.
“Bersyukur lah, Mas. Desa jadi viral dan saya bisa jualan. Lumayan, nambah pemasukan. Enaknya, stand jualan disediakan dan cuma diminta uang kebersihan 5 ribu tiap hari,” katanya.
Perempuan berusia 50 tahun itu mengungkapkan, dia bisa punya omset dibawah 150 ribu kalau sepi. Kalau ramai, bisa antara 200-300 lebih.
“Kan masih baru juga. Jadi gak terlalu rame pembeli. Atau, pengunjung justru bawa jajanan dari luar juga. Senin-Kamis sepi. Sabtu-Minggu itu yang rame,” kata Nawiyah.
Dia sendiri sebagai pekerja perkebunan. Sementara untuk jualan, dia dibantu anaknya. Sesekali dia jualan seharian kalau libur kerja.
“Kalau gak salah, saya adalah orang yang kesepuluh, yang gabung di stand jualan ini. Di luar sana sebenarnya dekat rumah jualan, tapi ada yang jaga. Di sini, buka pukul 8 pagi – pukul 5 sore. Kalau rame bisa sampai pukul 7 malam,” ungkapnya.
Dia berharap, Wisata Kali Jompo tetap terjaga dan pengunjung semakin ramai. Selain itu, perempuan dua anak itu itu berharap fasilitas jualan dibuat permanen, atau paling tidak, lebih besar dan ada atapnya. Antisipasi kalau musim penghujan.
“Ini kalau hujan, harus nepi, bisa dibilang nempel sama gerobak jualan yang atap terpal ini. Jadi kan, kalau ada atap permanen, akan lebih nyaman,” ujarnya, sambil menunjukkan terpal disangga dengan bambu.
“Ngèreng Bu’. Kasoon ghi. Mantâr lancara dhâghânganna (Mari Bu. Terima kasih. Semoga laris manis jualannya),” karena kondisi perut masih kenyang, saya tak sempat pesan makan atau sekadar minum di tempat Nawiyah.
Tempat Melepas Penat
Suasananya yang sejuk dengan pepohonan yang rindang, tak berlebihan jika wisata Kali Jompo bisa jadi salah satu tempat untuk melepas penat dari hiruk-pikuk perkotaan.
Saya berjalan pelan di sepanjang pinggir kali. Saya menghampiri dua pengunjung yang duduk di salah satu gazebo.
“Kak, izin duduk di sini, ya,”
“Silakan, Kak,” sahut Hilma Aprilia (22), pengunjung asal kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari, Jember.
Menurutnya, Kali Jompo sekilas seperti sungai biasa. Tapi pemandangan dan suasana bagus dan masih asri.
“Baru pertama kali ke sini. Ini bagus, karena kalau dilihat, ini kayak sungai biasa gitu. Tapi jadi bagus karena dimanfaatkan untuk wisata alam,” katanya.
Dia bilang, keasrian dan alaminya wisata Kali Jompo cukup bagus karena tidak banyak polesan cat warna warni di bagian sana-sini seperti tempat wisata pada umumnya.
Hilma mengatakan, saat ini alam sudah banyak dibuka dan sah-sah saja dimanfaatkan untuk wisata atau untuk pembangunan dan lainnya.
“Tapi itu misal dibuka untuk wisata, sebaiknya dipoles ala kadarnya saja. Bila perlu, dibiarkan alami saja. Tapi meskipun begitu, perlu dilakukan pengawasan. Untuk jaga-jaga,”
Hilma menuturkan, kedatangannya ke Kali jompo karena tahu dari postingan temannya di media sosial.
“Cuma ini, pengelola mungkin dapat menambah tempat berteduhnya. Syukur misal, ada pihak yang bisa diajak kerjasama. Baik pemerintah maupun non pemerintah,” harap Hilma
Kepada pemerintah, khususnya Dinas Pariwisata setempat, Hilma berharap agar dapat mensupport pengelolaan Wisata Kali Jompo ini. Misal, masyarakat lokal orang jualan di area wisata, agar diberikan fasilitas yang lebih bagus. Sehingga, pengunjung dapat menikmati cemilan atau kulineran di sini sambil duduk di tempat yang enak.
Putri Adila, pengunjung lain asal Kelurahan Kranjingan, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember menuturkan, Kali Jompo memberikan kesejukan karena airnya jernih dan pepohonan masih tampak rimbun di sekitarnya.
“Asri. Seger. Gak norak. Gak ada cat sana sini. Adem juga suasananya. Biasanya, kan umumnya di tempat wisata itu ada tulisan ke batu atau kayu, dicat. Tulisan romantis. Itu menurutku norak. Jadi memang ini sudah bagus dibiarkan alam,” katanya.
Sama seperti Hilma, Putri datang ke wisata Kali Jompo karena tahu dari postingan di media sosial. Apalagi, banyak sekali wisata alam di Jember yang bagus, salah satunya Kali Jompo.
Dia berharap, tiket atau tarif masuk maupun parkir agar tidak kemahalan. Sebab itu akan jadi daya tersendiri bagi calon pengunjung.
“Soal suasana, di sini menarik. Pohonnya masih rindang. Seperti kawasan konservasi mandiri. Tadi saja saya lihat ada yang tanam pohon. Entah dari mana, sebagian pakai seragam, sebagian tidak.” ujar Putri.
Dia menyarankan, semisal ada pohon tumbang atau mati, kalau bisa ditanami lagi. Selain itu, dia berharap, akses jalan di beberapa meter dari pintu masuk, untuk diperbaiki.
Keasrian Tak Dirusak dengan Sampah
Hilma bilang, masih ada beberapa sampah di beberapa titik. Temuan itu, katanya, dapat merusak estetika tempat wisata.
“Oh iya, tapi ada yang perlu diperbaiki oleh pengelola. Soal sampahnya. Tadi saya lihat, masih ada sampah di beberapa sudut. Mungkin itu karena belum dibersihkan karena belum jamnya atau gimana,” ujarnya.
Menurut Hilma, pengunjung juga harus sadar bahwa kebersihan dan keasrian wisata Kali Jompo untuk dijaga bersama. Pengelola sediakan tempat sampah. Pengunjung tidak asal buang sampah.
“Itu yang disayangkan, artinya, dimana dan kemana dan kapanpun, perlu jaga kebersihan. Termasuk ketika berwisata. Apalagi ke wisata alam. Kelestariannya perlu dijaga. Agar wisata ini keasrian dan keindahannya awet,” kata mahasiswa salah satu kampus di Surabaya tersebut.
Usai ngobrol dengan Hilma dan Putri, saya bergegas ke tengah kali. Menikmati kesegaran air. Basuh muka. Ambil gambar, lalu pulang.
*Tulisan ini hasil olah dari liputan saya yang terbit disini.