Secangkir “Kopi Hangat” untuk Rektor UNIBA Madura yang Bilang Mobilisasi Santri dalam Politik Itu Nggak Sesuai Syariah

Penulis: Aqil Husein Almanuri*

Prof, abtina agak tergelitik membaca statemen Ajunan ketika memberi respon atas wacana politisasi santri di Pilkada Sumenep.

Katiponapa kabhâr Ajunan Profesor Rachmad Hidayat, Rektor Universitas Bahaudin Mudhary Madura (UNIBA Madura)? Mantâr moghâ padâ saèan.

Prof, abtina agak tergelitik membaca statemen Ajunan ketika memberi respon atas wacana politisasi santri di Pilkada Sumenep.

Pak Rektor yang terhormat, satu sisi abtina  sepakat dengan beberapa poin yang disampaikan Ajunan; perihal pesantren menjadi ladang menimba ilmu, atau hak warga negara di pilkada dalam perspektif demokrasi, atau menjaga marwah demokrasi, abtina  ajukan jempol dan applause meriah untuk Ajunan.

Argumen demikian memang sangat pantas diajukan oleh seorang akademisi ulung, sebagai edukasi. Tapi di sisi lain, abtina spontan mengernyitkan dahi ketika membaca statemen itu secara utuh.

Oleh karena itu, abtina ingin –ngopi darat untuk sekadar berdiskusi tapi rasanya tak mungkin, sebab abtina hanya santri kampung di Sumenep- berkomentar tentang beberapa hal, setidaknya untuk menghilangkan kegelian itu. Ya, minimal-maksimal sebagai pembanding agar masyarakat tidak terperangkap dalam statemen yang kaku.

Namanya juga keinginan, itu tidak selalu tercapai. Maka melalui tulisan ini, abtina suguhkan secangkir kopi hangat dari jauh untuk Ajunan yang, mungkin saat menyampaikan pernyataanya sedang mengantuk atau baru bangun tidur. Kata orang-orang itu, Prof, menyeduh kopi hangat akan bikin cengar. Dan ini kopi racikan khas santri kampung.

Baik Prof, kainto kopi hangatnya:

Abtina  akan setuju jika pernyataan Prof lebih diperjelas perihal mobilisasi santri yang Prof maksud, misal; atribut santri atau pesantren yang dipolitisasi untuk mendulang suara, hanya menjadi votting getter (umpan suara) dengan mengajak pengasuh pesantren sebagai bagiannya. Namun, setelah menjabat, kebijakannya jauh panggang dari api. Oligarki yang lebih dimenangkan (ini misalnya).

Prof, ada baiknya bicara konteks santri dan politik perlu dipahami secara lebih general. Nggak adil jika kita memutuskan sesuatu tanpa melihatnya secara utuh, apalagi dibawa-bawa ke ranah syariah, dengan kesimpulan yang keliru lagi.

Kenyataan bahwa masyarakat, utamanya santri, kadang kebingungan dalam menentukan pilihan juga menjadi hal yang dipertimbangkan. Intruksi kiai terhadap santri dalam pilihan politik menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam keadaan seperti ini.

Sebagai santri, abtinapangapora manabi cangkolang– sarankan Ajunan intip cek dalam Syarh Manzhumatul Adhab, juz 1 halaman 47;

والنصيحة لعامة  المسلمين  ارشادهم  الى مصالحهم

Nasihat untuk muslim secara umum adalah menunjukkan mereka kepada mashalih (kemashlahatan). Siapa yang punya otoritas atas ini? Jawabannya adalah  صاحب النصيحة , seperti; ulama atau kiai.

Memberi nasihat dalam menentukan pemimpin itu merupakan bagian dari kemashlahatan.

Jadi, boleh memberikan intruksi atau memobilisasi santri, selama calon itu dianggap baik atau lebih baik. Bahkan, hukum memberikan intruksi dan memobilisasi santri itu bisa menjadi sunah, atau bahkan wajib. Tergantung kondisi para calon.

Lebih-lebih jika track record para calon sudah jelas. Misal; si A dan B adalah calon Bupati. Si A sudah kita ketahui punya rekam jejak menjadi tokoh masyarakat teladan. Sedangkan si B punya watak yang sebaliknya, selalu memberikan madharat (ini misal lho ya). Maka, sudah menjadi tugas seorang ulama/kiai mengambil keputusan, lalu mengintruksikan atau memobilisasi untuk memilih A sebagai pemimpin.

Lagipula, jika Ajunan mengatakan mobilisasi demikian dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan syariah, maka abtina juga menganggap statemen Prof terlalu terburu-buru. Untuk dikatakan bertentang dengan syariah, apabila lima aspek dalam Maqashid (hifdz din, hifdz nafs, hifdz aql, hifdz nasl, hifdz mal) dicederai.

Lalu, untuk kasus ini, letak bertentangannya di mana? Ngèrèng pasaèaghi naddhâ polè kopina, Prof. 

Jadi, tak ada syariah yang melarang ulama memobilisasi santri dalam memilih calon selama pertimbangannya juga berdasar kepada syariah, seperti mengacu pada aspek maqashid misalnya.

Intruksi-intruksi semacam itu (mengarahkan kepada calon yang dianggap lebih baik) sangat dibutuhkan. Selama tidak ada yang merasa dipaksa dan terpaksa, nggak ada masalah. Toh selama ini abtina melihat geliat santri di Sumenep mendukung kiainya atas rasa cinta, atau sebagai sikap skeptis atas tim lawan, bukan karena keterpaksaan.

Mobilisasi terhadap santri (yang jelas terjalin atas dasar suka sama suka) jauh lebih beretika ketimbang mobilisasi Kades dengan bayaran sekian (misalnya), agar cenderung pada paslon tertentu. Memobilisasi masyarakat dengan politik uang untuk memuluskan kepentingan oligarkinya.

Izin curhat dikit ya, Prof. Abtina masih sedih melihat politik uang menjadi patokan suara masyarakat bawah, bahkan merangsek ke tempat-tempat ibadah.

Ketimbang melabeli mobilisasi santri dalam politik, mending Prof lebih fokus agar bagaimana mindset masyarakat terhadap politik uang diperbaiki. Ini yang sebenarnya sedang mengebiri demokrasi kita, seperti yang disebut oleh Prof sebagai marwah demokrasi.

Jadi, yang perlu abtina tegaskan, mobilisasi santri dalam politik tidak selamanya berkonotasi negatif, apalagi bertentangan dengan syariah, seperti yang Ajunan tuduhkan.

Ada keadaan-keadaan yang bahkan mewajibkan mobilisasi semacam itu. Maka, statemen yang dilontarkan pun harus jelas, agar tidak menggiring masyarakat pada pemahaman yang kurang benar.

Katiponapa, Prof? Ampon ollè bhinar dengan menyeduh kopi hangat dari abtina kainto? Saterros èpon, ngèrèng-bila berminat- lebih banyak ngopi bersama santri kampung.

Wallahu a’lam

Ilustrasi: Secangkir “Kopi Hangat” untuk Rektor UNIBA Madura yang Bilang Mobilisasi Santri dalam Politik Itu Nggak Sesuai Syariah. (Desain oleh Indoklik-Canva)

*Santri kampung yang tak bosan ngaji. Tinggal di Sumenep.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *