Penulis: A Dardiri Zubairi*
Saya ingin bicara bahwa, Pilkada ini memilih pemimpin, bukan memilih ikan pindang.
2009, ketika kakak saya, KH Chairul Umam mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif dari PPP, ada seorang yang menjadi tim suksesnya datang kepada kakak. Kira-kira begini dialog singkatnya.
“Sepertinya kiai harus mengeluarkan uang untuk diberikan sama calon pemilih. Calon lain semua pakai uang. Sulit mencari pemilih tanpa uang”
“Catat ya. Saya tidak akan mengeluarkan uang. Ketimbang melakukan praktek politik uang, saya mending gak jadi “, demikian suara lantang kakak terhadap praktek politik uang. Kakak terpilih. Meski tahun 2010 beliau meninggal ketika menghadiri undangan pernikahan yang juga dihadiri Allah yarham KH A Warits Ilyas, guru beliau. Dari kakak inilah saya menimba niat, komitmen, dan orientasi bahwa berpolitik diniati untuk kemaslahatan.
Setelah kakak meninggal saya tak pernah terlibat lagi dalam politik elektoral, hingga 2024 Kiai Fikri dan Kiai Unais maju jadi calon penantang petahana. Kemunculannya tak terduga setelah ada perubahan keputusan MK yang meminimalkan dukungan kursi partai, hingga PPP dengan 6 kursi sudah cukup mencalonkannya.
Kenapa saya yang tak pernah terlibat dalam politik elektoral, tiba-tiba mau terlibat menjadi relawannya, bahkan bersedia menjadi jurkamnya? Ada beberapa orang yang juga heran, kok sekarang saya mau? Dengarlah kawan, bukan hanya saya. Banyak para kiai yang bahkan tak pernah komentar soal politik elektoral dalam pilkada tadi turun gunung. Banyak sekali.
Masing-masing orang punya alasan. Alasan saya sederhana, saya menemukan calon tepat untuk menyuarakan aspirasi saya, dan menurut saya juga aspirasi rakyat Sumenep, terutama rakyat yang tidak memiliki akses pada sumber-sumber ekonomi politik. Mereka jengah. Mereka terpinggirkan. Pernahkah Anda mendengar suara rakyat di Pulau Giliyang, yang harus mengeluarkan jutaan rupiah untuk opname di puskesmas pembantu di pulau itu? Ini salah satu contoh bagaimana kebijakan kesehatan belum ramah bagi rakyat.
Saya berkesimpulan tak boleh hitam putihnya Sumenep ditentukan oleh Big Boss, hanya karena memiliki sumber ekonomi di tangan kiri dan kekuasaan di tangan kanan. Tak boleh ada kekuatan tunggal yang jejaring kekuasaannya menyusup hingga desa.
Bagi saya, ini awal dimana politik dinasti akan dimainkan dengan menghipnotis kekuatan SDM kelas menengah terdidik dan (bahkan) tokoh agama, mendayagunakan birokrasi, dan menutup ruang bagi kekuatan di luar dirinya dan kelompoknya untuk hadir sebagai kontrol dan penyeimbang. Tak boleh ada kekuatan lain. Kekuasaan harus terpusat. Begitu kira-kira melihat dinamika politik di kota tercinta ini.
Itulah yang kita lihat faktanya dalam Pemilukada kemarin. Anda bisa saksikan bagaimana semua kekuatan birokrasi dan aparat keamanan, serta penyelenggara yang menjalankan tugas di bawah tekanan dimainkan bak musik orkestra yang sungguh iramanya sangat sumbang. Itu pun kalau Anda jujur mendengarnya.
Bahwa pasangan yang saya dukung adalah guru saya, itu menambah semangat saya mendukungnya. Bagiamana pun saya berhutang budi terhadap peradaban akhlak yang dibangun oleh para Kiai Annuqayah dan para Kiai Ambunten yang dua daerah itu saya sebut sebagai spot spiritual yang memberikan roh bagi peradaban Sumenep. Jadi, tak salah jika saya mendukung beliau karena guru.
Apakah saya memainkan politik identitas? Bagi saya memainkan politik identitas yang di dalamnya ada muatan kemaslahatan untuk rakyat, gak masalah. Itu lebih bermartabat ketimbang mendiamkan politik uang dan membenarkan mobilisasi kekuasaan yang mestinya harus netral untuk meraih kemenangan.
Lalu apakah saya memainkan politik identitas untuk alumni pesantren Nasy’atul Muta’allimin, dimana saya mengabdikan diri? Saya tak pernah mengajak alumni. Saya cuma berpesan kepada alumni yang bertemu atau main ke rumah, “berbeda pilihan bagi saya tak masalah, dengan catatan jangan karena duit. Kalau jadi penyelenggara harus netral, jangan berpihak. Kalau jadi tim sukses sebelah jangan sampai mengedarkan duit”. Itu pesan saya.
Pemilukada ini memilih pemimpin. Bukan memilih ikan pindang. Memilih ikan pindang saja bayar, masa memilih pemimpin harus dibayar. Karena komitmen tak ada politik uang, maka saya menjadi jurkam kemana-mana mengeluarkan uang sendiri, beli kaos sendiri, bahkan ikut menyumbang meski tak banyak. Saya lakukan karena saya yang butuh pemimpin bersih. Inilah politik kemandirian untuk politik kemaslahatan rakyat.
Lalu bagaimana kalau ada alumni menulis pernyataan heboh seperti Mas Ach Syaiful A’la yang menuding bahwa kemenangan (versi quick count mereka sendiri) ditafsiri telah menjadikan “benih-benih radikalisme di Sumenep tumbang?”
Terus terang saya tak memahami konteks pernyataan Mas Syaiful. Tetapi pernyataannya patut diklarifikasi, karena ia melempar bola panas seolah pendukung barisan Final itu radikal.
Bukankah Anda tahu diksi “radikalisme” merupakan diksi yang dianggap berbahaya? Saya balik bertanya, bahaya sama siapa? Apakah bahaya terhadap oligarkhi yang dia dukung? Wallahu A’lam.
Dalam beberapa chat maupun status atau komen yang ditag kepada saya, banyak yang bertanya, apakah Mas Syaiful alumni Nasy’atul Muta’allimin? Saya jawab ya. Dia mondok ketika ayah saya masih hidup. Tetapi pernyataannya yang kontroversial itu tak mewakili pesantren dimana ia dulu menimba ilmu.
Soal berbeda pilihan dengan saya, sekali lagi tak jadi masalah. Itu biasa bagi saya. Saya gak memiliki karakter memaksa orang. Tapi komentarnya sungguh tak masuk akal. Dan seharusnya ia memberi klarifikasi. Biar clear. Biar saling memaafkan. Biar jadi pelajaran (terutama kepada Mas Syaiful sendiri).
Akhirnya, saya bangga menjadi bagian dari sejarah baru Pemilukada di Sumenep, menjadi pendukung FINAL yang mengajarkan banyak hal tentang keadaban berpolitik yang tak bisa ditukar dengan uang. Sedikitpun tak ada penyesalan, karena saya meyakini di barisan yang benar.
Salam
Ilustrasi: Saya Mau Buka Suara Soal Pilkada Sumenep. (Indoklik-Gafur)
*Warga biasa yang tinggal di Gapura, Sumenep.