Petani di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP) kembali alami serangan dan intimidasi. Diduga kuat, pelaku merupakan preman bayaran dan petugas keamanan PT Bumisari Maju Sukses (BMS).
Hal itu sebagaimana disampaikan Harun, Ketua RTSP dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (16/3/2024). Dia membeberkan, penyerangan dimulai sejak 5 Maret 2024. Menurutnya, hampir selama seminggu alami penyerangan dan intimidasi. “Sejak 5 Maret 2024 pondok yang dibuat oleh salah satu anggota kami dirusak. Ada botol bekas bensin yang tergeletak tak jauh dari pondok yang dirusak,” kata Harun.
Sabtu (9/3/2024) sekitar pagi hari pukul 09.51, sekelompok orang merusak pondok dan merusak tanaman milik RTSP serta menutup akses jalan. Minggu (10/3/2024) anggota RTSP melihat kembali keamanan PT Bumisari, preman bayaran dan buruh kebun, datang kurang lebih ada 150 orang.
“Mereka merusak tanaman kami. Kami pun berjaga, takut mereka merusak lagi. Mereka yang datang juga mengeluarkan nada menantang kepada anggota RTSP saat berjaga. Rata-rata mereka membawa senjata tajam seperti clurit dan seperti pedang,” terang Harun.
Pada malam harinya, ungkapnya, salah seorang anggota RTSP dipukul dari belakang oleh orang tidak dikenal hingga pingsan saat berjaga. Lalu anggota RTSP yang ada di lokasi, membawa korban tersebut ke Puskesmas terdekat. “Setelah itu, RTSP fokus melihat keamanan kebun dan orang-orangnya berseliweran di lahan. Mencoba untuk memancing kami agar marah,”
Dia menambahkan, Kamis (14/3/2024) sekitar pukul 8 pagi, anggota RTSP bersiap bercocok tanam seperti biasanya. Tiba-tiba melihat pihak perkebunan sekitar 300 orang masuk ke lahan. Mereka merusak tanaman di lahan seluas sekitar 2 hektar dan ada 3 pondok dirusak dan dibakar.
“Lalu kami datang ke lahan untuk mempertahankan tanaman. Mereka dengan membawa senjata tajam mendekati kami yang tengah berjaga, lalu memancing kemarahan kami serta mengintimidasi kami,”
Harun menjelaskan, ada salah seorang dari mereka membawa senjata api dan ditembakkan ke atas. Mereka terus mendorong anggota RTSP dan menyerang. Akibatnya, beberapa perempuan anggota RTSP mengalami luka akibat desakan dari pihak kebun. Tidak cukup di situ, mereka mengancam anggota RTSP, dari akan menyakiti sampai akan memenjarakan.
Jumat (15/3/2024), katanya, sekompok orang datang kembali dengan alasan membersihkan jalan dan mengambil mobil truk perkebunan yang selama beberapa hari ini telah digunakannya untuk menutup akses jalan. Pada waktu itu, kata Harun, RTSP hanya menerima cekcok kecil, namun kejadian-kejadian tersebut membuat tidak tenang.
Karena tidak tahan dengan intimidasi dan serang tersebut, pada hari yang sama, RTSP melaporkan kejadian selama beberapa hari tersebut ke Polresta Banyuwangi. “Kami melaporkan atas tindakan intimidasi dan ancaman serta penganiayaan yang telah menimpa kami. Kami sadar bahwa kami juga adalah warga negara yang sah. Sebagai warga Negara yang sah kami mempunyai hak, yaitu perlindungan sebagai warga Negara Indonesia,”
Dia berharap laporan tersebut ditindaklanjuti sehingga pelaku penganiayaan serta pengancaman terhadap kami segera ditangkap.
Menurut Harun, beberapa kejadian tersebut bentuk ujian dan pancingan. RTSP sengaja dibenturkan dengan sesama warga, para buruh kebun. Tapi, RTSP berupaya tidak terpancing. Sebab RTSP hanya memperjuangkan haknya, tanah yang diambil oleh PT Bumisari secara sepihak.
Dia menegaskan, berjuang berdasarkan fakta, bahwa HGU perkebunan tidak masuk Desa Pakel, sudah ada surat dari BPN Banyuwangi 2018 yang mengatakan itu. Meski HGU terbaru, katanya, masuk Desa Pakel, itu bentuk penyerobotan. Sejak awal warga Desa Pakel tidak ada yang tahu soal izin HGU tersebut.
“Kami tidak memiliki lahan yang cukup, karena kawasan warga hanya memiliki luas 318,2 Ha, sedangkan 275,1 Ha yang dikuasai perkebunan PT Bumisari itu pun kami kelola bersama kurang lebih 800 KK. Dan 729,5 Ha kawasan perhutani. Dengan begitu, lahan desa Pakel sangatlah sempit,”
Harun mengungkapkan, ada lahan yang dulu turun temurun digarap moyang RTSP diambil perkebunan. RTSP hanya ingin pemerintah adil dengan membela RTSP bukan perkebunan.
Dia mengaku sudah ke Komnas HAM dan Kementerian ATR BPN menyampaikan masalah ini. Bahkan Komnas HAM sudah membuat surat untuk antar pihak jangan melakukan tindakan dahulu, tapi itu dilanggar oleh pihak perkebunan.
“Kami hanya ingin keadilan. Sebagai petani kami membutuhkan lahan untuk hidup. Bagaimana kami mau hidup jika lahan dikuasai oleh Perkebunan. Sementara banyak di antara anggota RTSP, tidak punya tanah. RTSP hanya ingin keadilan dan ingin segera konflik ini berakhir. Kami lelah setiap hari diteror, diintimidasi dan bahkan dikriminalisasi. Kami meminta keadilan,” tegas Harun.
Alvina Damayanti Setyaningrum, Perempuan Desa Pakel mengatakan, pihak perkebunan dan keamanannya memasuki lahan yang sedang dikelola warga bahkan mereka juga merusak tanaman-tanaman warga yang sebagian besar sudah siap panen. Tanaman warga yang di rusak antara lain; pisang, jagung, durian, alpukat.
Mereka juga melakukan intimidasi kepada warga mulai dari menodongkan sajam, didorong dan terakhir pemukulan sampai salah satu warga dilarikan ke rumah sakit.
“Saat ini warga masih menjaga lahan setiap harinya dan beronda. Tapi meskipun demikian seakan-akan mereka tidak takut malah makin masif melakukan aksinya. Bahkan kemarin, saat penyerangan, mereka mengeluarkan pistol dan menembakkan ke atas,” katanya, Sabtu (16/3/2024)
Dia bilang, akibat peristiwa itu, warga mengalami kerugian, karena mata pencaharian warga adalah bertani semuanya dan tanaman yang ditanam sudah siap panen kebanyakan. Apalagi menghadapi bulan Ramadan seperti ini.
Menurutnya, ancaman kriminalisasi dan intimidasi selalu menghantui warga. Tapi warga setempat masih terus berjaga-jaga, merekam apa yang terjadi, termasuk jika ada serangan, dan berusaha semaksimal mungkin menjaga tanaman.
Sebelum terjadi penyerangan, katanya, tidak ada pemberitahuan mereka akan memasuki kawasan warga. Mereka datang begitu saja dengan sekelompok mereka dan merusak.
Avina bilang, intimidasi kali ini pun sampai mengenai salah ibu-ibu anggota RTSP pada Jumat (15/3/2024). Ceritanya, tangan kanan kirinya dipegang dan dari belakang oleh 3 orang. Sampai ada banting barang juga. Terus preman itu ada yang pegang parang dan parang.
“Bahkan, barusan aku dan Tim PH temui katanya ibu ini diancam tembak di kaki. “Tembak kakinya, tembak aja”. Dengar itu, ibu ini berontak. Terus karena brontak, ibu ini dibanting. Akibatnya dia gak bisa jalan. Dan tak bisa ngarit. Kan, dia pekerjaanya ngarit,” katanya, Sabtu (16/3/2024)
Menurutnya, ibu tersebut akan melapor ke kepolisian. Karena ada bekas lebam di bagian tubuhnya. “Nah, ibu ini, istri dari warga yang beberapa waktu lalu, malam hari kena pukul dan pingsan itu. Warga yang sampai pingsan kemarin itu, habis ronsen juga. Ternyata, syaraf apanya gitu katanya masih memar,” jelasnya.
Wahyu Eka Setiawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mengatakan, kasus ini menjadi bagian utuh dari konflik agraria yang terjadi di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.
“Peristiwa ini bukan yang pertama kali, sejak dulu warga mengalami teror oleh pihak kebun, bahkan sebelum melakukan reclaiming pada September 2020,” katanya, Jumat (16 /3/2024).
Sebelum adanya kekerasan ini, bebernya, sudah ada tindakan intimidasi dan kriminalisasi, sepanjang November 2021 sudah ada 11 orang yang dilaporkan oleh pihak kebun, dua diantaranya dijadikan tersangka.
Wahyu mengungkapkan, 2023 lalu, 3 orang petani pakel dikriminalisasi. Ini masih bagian dari upaya kebun untuk mengusik perjuangan warga, menakut-nakuti agar mereka berhenti.
Dia menegaskan, perjuangan warga Pakel itu adalah perjuangan hak atas tanah, di mana ada ketimpangan penguasaan lahan. Di mana area desa mereka dicaplok oleh kebun masuk di dalam HGU yang diterbitkan oleh BPN Banyuwangi, tapi pemberi izin HGU tidak pernah melihat faktor ketimpangan penguasaan lahan dan sosial, tertutup dan tidak partisipatif.
“Negara harusnya memastikan ketimpangan tersebut diselesaikan dengan memihak rakyat bukan korporasi sesuai mandat UUPA 60 dan UUD NRI 1945,” tandasnya.
Yatno Subandio, Ketua Paguyuban Petani Jawa Timur (Papanjati) menyayangkan penyerangan oleh segenap elemen security dan buruh Perkebunan Bumisari terhadap RTSP pada tanggal 10 sampai 15 Maret 2024 di Desa Pakel tersebut mengarah pada intimidasi disertai kekerasan.
Padahal, kata Yatno, sebelumnya sudah ada surat rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) pada tanggal 7 Agustus 2023, terkait sengketa lahan antara PT Bumisari Maju Sukses dengan Rukun Tani Sumberejo Pakel dengan nomor : 926/PM.00/R/VIII/2023.
Surat tersebut berisikan himbauan kepada PT. Bumisari untuk tidak melakukan tindakan yang berpotensi melanggar hukum dan dapat memicu adanya konflik terbuka dengan masyarakat Desa Pakel dan mengutamakan pendekatan dialogis melalui mekanisme yang disepakati.
“Tetapi pihak perkebunan melanggarnya, pemerintah Banyuwangi juga diam, termasuk BPN dan ATR/BPN yang tutup mata dengan konflik agraria ini. Apalagi model yang terjadi sekarang mengarah pada praktik adu domba antara masyarakat dengan masyarakat, khususnya anggota petani RTSP dengan buruh Bumisari,”
Menurutnya, peristiwa tersebut merupakan serangkaian dampak dari konflik agraria. Perjuangan warga Desa Pakel sangat berdasar. Karena lahan yang dicaplok perkebunan berada di Desa Pakel, lalu sebagai penanda historis bahwa lahan tersebut telah dikelola turun-temurun oleh kakek-nenek warga Pakel.
“Lalu fakta lain menunjukkan bahwa BPN Banyuwangi melalui surat tertulis pada tahun 2018 pernah mengatakan bahwa Desa Pakel tidak termasuk dalam HGU. Tetapi di tahun 2019 dikatakan masuk dalam HGU, di mana tidak ada transparansi sedikit pun.”
Dia menilai, konflik agrarian di Pakel, salah satunya disebabkan oleh adanya ketidakberpihakan negara yang terus membela korporasi. Di mana HGU diberikan tanpa melihat kondisi ketimpangan di wilayah tersebut.
Dia menyesalkan tindakan kekerasan pada para RTSP, baik intimidasi sampai tindakan fisik. Dia mendorong pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan tersebut.
Yatno mendesak Pemerintah RI khususnya Kementerian ATR/BPN untuk mengevaluasi HGU-HGU di wilayah konflik, khususnya di wilayah Pakel, Banyuwangi, karena salah satu akar muasal konflik adalah penerbitan HGU yang tidak berprinsip keadilan.
“Kami juga meminta Komnas HAM agar segera mengambil tindakan dan membantu fasilitasi penyelesaian konflik agraria segera,” katanya.
Herlambang P. Wiratraman, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (LSJ FH UGM) menilai, aksi premanisme ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga telah dimanfaatkan oleh PT BMS untuk menciptakan konflik horizontal sesama warga.
“Hal ini terlihat dari berbagai pernyataan klarifikasi dari PT BMS yang beredar di media massa maupun narasi video yang diunggah dalam akun sosial media PT BMS yang menyudutkan petani Pakel,” Kata Herlambang, dalam keterangan tertulisnya, Minggu 17 Maret 2024
Mereka (PT BMS), kata Herlambang, membuat pernyataan seolah warga Pakel melawan pekerja perkebunan, meski sebenarnya yang dihadapi oleh warga adalah perusahaan dan diamnya negara.
Menurutnya, pemerintah daerah (Banyuwawi) dan pusat bertanggung jawab menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Pakel dan harus menunjukkan keseriusan dan sikap tegas dengan keberpihakan penuh terhadap keadilan sosial.
Herlambang menegaskan, tanggung jawab itu terlihat dari mandat pasal 28I ayat 4 UUD Negara RI Tahun 1945, dimana dalam kasus pelanggaran HAM a quo semestinya pemerintah memberi upaya memajukan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi warga negaranya.
Dalam konflik ini, katanya, Masyarakat Pakel yang lebih dirugikan—lebih lemah kedudukannya terhadap akses modal dan kemampuan hukum—dalam berhadapan dengan PT BMS seharusnya lebih mendapatkan perlindungan dan perhatian dari Pemerintah.
Dia mendesak ;
- Komnas HAM mengusut tuntas kasus kekerasan HAM yang terjadi di Pakel, termasuk mendesak pertanggungjawaban aparat hukum dan pemerintah yang mendiamkan atau membiarkan warga menjadi korban.
- Aparat penegak hukum, terkhusus Polresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi untuk menindaklanjuti laporan anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel dan melakukan investigasi atas peristiwa ini.
- Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk bertanggung jawab dan mengambil langkah penyelesaian konflik agraria yang terjadi di Desa Pakel,” tegasnya.
Fahmi Ardiyanto, Kuasa Hukum RTSP dalam melakukan laporan tersebut mengungkapkan, sudah melakukan 3 pelaporan pidana di Polres Banyuwangi. 2 laporan pertama pada Jumat (16/3/2024) tentang ancaman, intimidasi dan penganiayaan serta 1 laporan pada Minggu (17/3/2024).
Laporan tersebut terbit dengan Nomor: STTLP/102/III/2024/SPKT/POLRESTA BANYUWANGI/POLDA JAWA TIMUR. “Kami berharap, laporan tersebut segera diproses dan ditindaklanjuti agar pelaku penganiayaan dan pelaku intimidasi terhadap warga Pakel segera ditangkap. Kondisi korban penganiayaan dan intimidasi, alhamdulillah saat ini sudah agak mendingan meskipun masih belum bisa melakukan aktivitas seperti biasanya,” katanya, Selasa (19/3/2024).
Dia menegaskan, seharusnya Pihak Perkebunan PT. Bumisari memperhatikan Surat Rekomendasi Komnas HAM. “Perlu kehadiran negara dalam konflik agraria di Pakel ini. Jika dibiarkan, maka intimidasi, kekerasan terhadap petani Pakel mungkin akan tetap terjadi kedepannya,” jelas praktisi hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya tersebut.
PT Bumisari Bantah Lakukan Serangan dan Intimidasi
Administratur PT Perkebunan dan Dagang Bumisari Maju Sukses, Sudjarwo Adji bilang, tudingan intimidasi yang dilakukannya terhadap petani anggota RTSP merupakan pendapat petani.
“Berindikasi untuk mencari sensasi. Kalau memang ada pengerusakan, menebang, pemukulan, intimidasi dan lain-lain kenapa tidak dilaporkan ke pihak berwajib,” ujar Sudjarwo.
Menurutnya, anggota RTSP melakukan hal yang ilegal dan melanggar hukum karena dengan cara paksa menduduki dan merampas lahan yang sudah berkedudukan hukum yang sah secara aturan negara dan perundang-undangan.
“Yang mengerahkan siapa? Gak ada pengerahan. Karyawan mau bekerja di areal perkebunan, bukan di areal petani. Seharusnya para petani yang merasa diintimdasi melapor dengan dasar dan bukti yang kuat melalui pengadilan, jika memang PT Bumisari dianggap menyerobot tanah para petani,”
Dia meminta para RTSP jangan mau dimanfaatkan oleh orang lain yang memiliki motif tertentu. Ia mengklaim perusahannya akan legowo jika para petani melaporkan dugaan penyerobotan lahan dan nantinya dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
“Jangan main putusan dengan logika tak berdasar, akhirnya akan terjadi permasalahan yang secara berkepanjangan dan mudah dimanfaatkan oleh orang yang berkepentingan. Silakan gugat kami, silahkan laporkan kami, supaya kita tahu mana yang benar mana yang salah. Kalau memang berkenan monggo kita ketemu,” ujar Sudjarwo.