Beranda » Rambu-rambu Khusus Buat Kamu yang Suka Kuliti Kesahan Orang Lain

Rambu-rambu Khusus Buat Kamu yang Suka Kuliti Kesahan Orang Lain

Penulis: Ach Jazuli*

Saya tidak begitu paham apa motifnya orang-orang yang selalu merasa lebih asyik dan saleh untuk menilai perilaku orang lain.

Maksud saya, apa tujuannya mengoreksi “kesalahan” orang lain di hadapan khalayak yang pada saat itu orang yang bersangkutan tidak ada di antara khalayak tersebut.

Jika cara pandangannya adalah kebajikan untuk memperbaiki, maka setidak-tidaknya jangan sampai menghilangkan etika komunikasi sosial. Mau sehebat apapun caranya mengubah “ketidak-baikan”, namun titik pandangnya adalah kebencian, maka yang lahir hanya sebatas kritik-ghibahan saja.

Mari kita rinci perihal kasus cara berpikir kita yang sering rancu. Sudah berapa sering kita selalu berlindung atas nama agama ketika melakukan laku “perbaikan”.

Sebut saja, ketika menyoroti kesalahan orang lain begitu lebih tampak dari kebaikannya. Kemudian, dengan gampangnya kita akan menghakimi kesalahan tersebut sebagai bentuk “ketidak-salehan”, kemunafikan, kebejatan, dan “ke-jijik-jijik-an” yang lain. Padahal kita ketahui bersama bahwa nasihat baik itu, menurut Al-Ghazali selain harus disampaikan dengan santun, menunggu waktu yang tepat, juga tidak boleh menjadi hakim atas neraka-surga-Nya orang yang diberikan nasihat.

Laku “saling mengingatkan” dalam hal kebaikan itu memang dianjurkan oleh agama, namun bersamaan dengan hal itu, agama bukan lantas menyuruh abai terhadap laku-laku “bijak” nan beradab dalam hal tersebut. Jauh lebih penting di atas nasihat baik, adalah tidak menyakiti perasaan orang lain.

Jika tindakan atau ucapan yang kita keluarkan atas nama “nasihat” untuk  perilaku orang lain (yang kita tafsir sebagai hal yang “kurang baik”) hanya akan menggores luka baru, maka alangkah lebihnya kita diam dan beristighfar dalam-dalam.

Imam Syafi’i pernah berpesan, “berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti”.

Pada kesempatan yang lain, beliau juga berkata, “barang siapa menasihati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi, berarti ia telah menasihati dan mengindahkannya. Barangsiapa menasihati dengan terang-terangan, berarti ia telah mempermalukan dan memburukkannya.

Secara mutlak, tidak ada yang bisa mengukur nilai “kesalehan” orang lain. Menasihati boleh, tapi menghakimi secara berlebihan tentu tidak pernah dibenarkan. Habib Ali Zainal Abidin al-Jufri pernah berpesan, bahwa mudah menghakimi orang lain itu suul adab pada Sang Pencipta. Apalagi cara pandangannya sudah dimulai dari mengorek-ngorek kesalahan.

Tentu keburukan itu akan jauh lebih tampak dari pada kebaikannya, meski secara kalkulasi angka-angka jauh lebih kecil keburukannya.

Imam Bakr al-Muzani menghendaki kita sebagai manusia untuk melihat dirinya sendiri sebelum menilai orang lain. Bisa jadi yang menilai tidak lebih baik dari yang dinilai.

Sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh Abu Darda’, salah seorang sahabat nabi, beliau tidak pernah menjustifikasi perilaku orang lain yang diketahui secara keseluruhan, karena urusan itu tidak ada yang berwenang terkecuali hanya Allah. Beliau tak ingin dianggap paling taat beragama semata-mata hanya dalam sudut pandang manusia biasa.

Saya tidak begitu paham apa motifnya orang-orang yang semacam itu. Kenapa selalu merasa lebih asyik dan saleh untuk menilai perilaku orang lain. Ketika “ditegur” atas perilakunya yang kurang beradab, maka dengan gampangnya orang-orang itu meminta maaf dan selalu berlindung di balik teks-teks agama. “Saya mohon maaf. Saya hanya menjalankan perintah agama untuk saling mengingatkan. Jika saya salah, kesempurnaan hanya milik Allah”, kira-kira demikian kalimat ujungnya.

Enak sekali sepertinya. Orang lain seakan-akan “dipaksa” harus sempurna (sesuai tafsir sempit pikirannya), sedang dirinya selalu mengembalikan kesempurnaan hanya milik Allah tanpa merasa bersalah dan muhasabah. Ah, semakin gelap dan rancu, kan?

Ilustrasi: Rambu-rambu Khusus Kamu yang Suka Kuliti Kesahan Orang Lain. (Indoklik-Canva)

*Pegiat Komunitas Ghâi’ Bintang (KGB), sekaligus penulis buku Kisah Hujan yang Lain

Penulis: Ach. Jazuli
Editor: Abd Gafur

Admin