FEATURE JEJAK OPINI TELUSUR ULASAN

Pulau Gili Raja Sumenep dan Kenangan yang Perlu Saya Abadikan

Penulis: Abd Gafur*

“Markir sejam dua jam saja, biasanya ada kartu tanda terima. Ini mau nitip sehari semalam kok gak dikasih kartu?” gumam saya.

Ta’ usa kunci stir, Lè’!” pria berkaos biru lengan pendek itu menyapa saya di tempat penitipan motor, di Pelabuhan Cangkarman, Bluto, Sumenep pagi itu. Dia meminta agar motor tidak dikunci ganda.

Pelabuhan Cangkarman merupakan salah satu penyebrangan bagi siapapapun yang ke pulau ini dari sisi utara. Boleh dibilang, pelabuhan ini juga menjadi pelabuhan utamanya.

Sobung kartu tanda penitipannya, Ka’?” pertanyaan itu muncul karena dari pengalaman perjalanan saya, setiap hendak parkir kendaraan, pasti ada kartu tanda penitipan.

“Markir sejam dua jam saja, biasanya ada kartu tanda terima. Ini mau nitip sehari semalam kok gak dikasih kartu?” gumam saya.

Ta’ usa, le’. Aman!”

Saya mengamini respon pria itu dan membiarkan motor saya di dekatnya lalu bergegas ke area penyebrangan di sisi selatan.

Ka’, coba telpon Ka’ Lukman atau Ka’ Angga. Tanyakan soal penitipan ini.” Kata Jazuli, kawan saya yang juga niat untuk menyebrang ke Pulau Gili Raja.

Berkali-kali ditelpon, Lukman, kawan di seberang tak juga merespon. Tak lama, ponsel berdering.

“Aman, Ka’. Memang begitu sistemnya. Sistem kepercayaan. Dan itu sudah terpercaya.” Perkataan Lukman membuat saya lega. Kami pun bergegas ke perahu.

Lè’, ini mau naik yang mana? Perahunya ada dua. Di sisi barat dan timur.”

Ghulâ jhughân ta’ paham. Coba tanyaghina lu, Ka’.” Jazuli yang sebenarnya juga pernah ke Pulau Gili Raja juga kebingungan.

Sè’ bârâ’ ka Lombang. Sè tèmor ka Banmaleng.” sahut pak-bapak di belakang kami. Kami pun bergegas menaiki perahu di sisi timur.

Sebenarnya, saya juga pernah ke pulau ini. Kala itu, saya baru menginjak semester 2 di IAIN Madura. Kepergian saya ke sana, untuk silaturahmi ke rumah kawan bernama Angga. Kekonyolan saya, dulu lupa naik di sisi barat atau sisi timur.

Pulau Gili Raja . Secara administrasi, pulau ini masuk Kecamatan Gili Genteng.(Google Maps)

Rabu (8/1/2025) pagi, saya ditakdirkan lagi oleh Tuhan untuk ke Pulau Gili Raja lagi. Agenda utamanya, saya dan Jazuli diminta oleh Lukman untuk membersamai adik-adik di Ponpes Nurul Ulum, Desa Banmaleng belajar kepenulisan.

“Sekali Dayung Dua Pulau Terlampaui”

Pribahasa itu mungkin tepat untuk menggambarkan rasa syukur saya kala itu. Sebab, selain bisa jadi teman belajar adik-adik di Nurul Ulum, saya berkesempatan bersua dengan kawan-kawan semasih di kampus.

Sebenarnya banyak kawan-kawan saya di sana. Tapi hari itu, saya bertemu dengan Lukman, Angga, Faiq, Taufiq. Mereka adalah kawan seperjuangan di IAIN Madura.

Angga merupakan teman diskusi di kelas dan luar kelas. Dulu, kawan satu ini jadi ketua UKM Pengembangan Intelektual dan Riset. Taufiq dan Faiq adalah adik tingkat. Ketiganya juga aktif di ragam organisasi internal eksternal kampus.

Salah satu perahu ukuran sedang tengah diberangkatkan dari Pelabuhan Cangkarman menuju Pulau Gili Raja. Perahu serupa jadi andalan transportasi masyarakat Gili Raja dan orang luar pulau luntuk menyebrang. (Dok. Pribadi)

Saya bersyukur dan merasa pangaro (berutung) bisa dipertemukan dengan Angga semasih kuliah. Ia benar-benar pèlagh dan pangagghepâ luar biasa.

“Lakar sanèka krua, Ka’. Ngutamaaghi kapentèngenna kancana ètèmbhâng kapentèngènna bâ’tibi’na.” Kata Jazuli malam itu, setelah pikopiân dan makan di rumah Taufiq.

Pernyataaan Jazuli bersandar pada kejadian malam itu. Ceritanya, buyutnya sedang sakit. Angga tetiba telepon belum bisa menemani kami sampai larut silaturahmi ke rumah taufiq di desa banmaleng. Sementara rumah Angga di Banbaru. Malam itu, ia harus ke Desa Jati, rumah buyutnya dari sisi ayahnya yang dipanggil “Aghung”.

Ko’ sè ta’ nyaman ka bâ’na, Cong. Polan tak’ nginep è tang roma.” Sekira sejam kemudian, Angga telepon lagi dan minta kami untuk tidur di rumahnya di Banbaru. Namun saya menolaknya karena ia harus bermalam di Desa Jati. Angga memaksa saya untuk rumahnya di banbaru. Tapi saya tetap bersikukuh untuk menginap di rumahnya taufiq.

Sebenarnya sambutan hangat dari Angga sudah lebih dari cukup. Sebab, usai  menemani adik-adik di Nurul Ulum berikut makan bersama Lukman dan Faiq, kami diboyong Angga ke rumahnya. Makan, nyemil, ngopi, ceritaan dan tukar pikiran setelah kembali desa selepas kuliah.

“Ah, memang manusia satu ini. Pèlagh ongghu.” Gumam saya malam itu.

Momen keakraban di atas perahu. (Dok. Pribadi)

Matahari baru saja menampakkan wajahnya, Kamis (9/1/2025). Telepon berdering. Rupanya Angga memastikan kami untuk bisa segera ke pelabuhan untuk kepulangan. Sebab sebelumnya , kami memang berpesan minta jadwal penyebrangan perahu di pagi hari.

“Cong, saporana yâ. Malemma ta’ bisa ngancaèn. Marèn nèlpon bâ’na malemma, aghung ada’ omor.”

Innalillahi, mantâr soarghâ’â, Cong. Saporan ko’ ta’ bisa nyampoèn ka Jhète.”

Santai, Cong. Yâ maju la ka roma sè Banbaru. Marèna pas langsung ke Tanggâ’, peraona polan para’ mangkata la.” Tanggâ’ adalah nama pelabuhan kecil di Desa Banbaru.

Saya dan Jazuli bergegas ke rumah Angga mengendarai motor yang ia berikan sehari sebelumnya. Setiba di rumah Angga, saya melihat Lukman yang sudah siap dengan motornya untuk antar kami ke pelabuhan.

Di pelabuhan, tak dinyana, kami menyebrang kembali ke Pulau Madura dengan manaiki perahu yang ditumpangi kemarin kala mau ke Pulau Gilri Raja. Nahkodanya pun orang yang sama.

Kami berpisah di Pelabuhan Tanggâ’. Jazuli naik lebih dulu ke perahu. Saya masih ngobrol sebentar bersama Angga dan saling mendoakan satu sama lain.

Sambil membatin “Gili Raja, aku siap menyapamu kembali di kemudian hari. Samoghâ’â, Polo Ghili Rajâ slamet dâri krisis iklim tor tantarètan èdissa èparengenna pangaro saterrosa.” saya menoleh ke belakang, ranting dan daun mangrove tersisa di sekitar pelabuhan Tanggâ’’ seakan memberi isyarat agar saya bisa kembali di kemudian hari.

Momen temu kerong bersama. Jazuli (berpeci). Faiq (berjilbab). Angga (berbajukotak-kotak). Faiq (berbaju putih)
Momen keakaraban bersama Lukman (berbaju batik) dan Jazuli. (Dok. Pribadi)
Momen keakraban usai membersamai adik-adik santri Ponpes Nurul Ulum belajar kepenulisan. (Dok.Lukman)

Foto Utama: Saya baru tiba di Pelabuhan Tanggâ’. (Dok.Pribadi-Diabadikan oleh Jazuli)

*Penulis dan Jurnalis lepas.

Anda mungkin juga suka...