Petani Pakel Mengadu ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial 

Tim TeKAD GARUDA sedang menyerahkan berkas aduan di kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa 23 Januari 2024. (TeKAD GARUDA for Indoklik)

Jakarta– Petani Pakel dengan didampingi Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad GARUDA) mengadukan konflik agraria yang dialami ke Badan Pengawasan  Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial, Selasa 23 Januari 2024.

Hal itu sebagaimana diungkapkan Jauhar Kurniawan, salah satu tim TeKAD GARUDA cum praktisi hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. 

Menurutnya, Jawa Timur  menjadi salah satu wilayah yang menjadi sarang dari konflik agraria. Catatan advokasi TeKAD GARUDA mengungkapkan, kasus yang ditangani, setidaknya ada lebih dari 5 kasus konflik agraria yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur, meliputi konflik dengan perkebunan, pemangku kawasan hutan (Perhutani) dan pertambangan. 

“Dari kasus tersebut mengakibatkan kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya,” katanya, dalam keterangan tertulis kepada Indoklik, Selasa 23 Januari 2024.

Dia menuturkan, pada tahun 2021 terdapat tiga warga Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi yang dikriminalisasi karena protes terhadap dampak tambang. 

Selain itu, pada tahun 2023 terdapat tiga warga yang juga mengalami kasus serupa di Bojonegoro. Kasus protes terhadap pertambangan ini telah menyebabkan mereka divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi tanpa melihat substansinya.

Dia bilang, hal tersebut juga  pernah terjadi untuk kasus Tumpang Pitu pada 2018 silam. Saat itu, Budi Pego yang menolak tambang emas divonis bersalah dengan hukuman 1 tahun penjara meski tanpa bukti. Nahas, tegas Jauhar, hukumannya ditambah oleh Mahkamah Agung saat kasasi sebesar 4 tahun penjara.

Dia bilang, kriminalisasi yang berujung pada penjara ini kembali terjadi pada tiga petani Pakel, Banyuwangi. Mereka divonis berat 5,6 tahun oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi atas tuduhan menyiarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran dengan pasal 14 dan 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946.

Atas kondisi tersebut, katanya, petani Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP) bersama dengan TeKAD GARUDA  persoalan tersebut  ke Bawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

“Agenda pelaporan tersebut yakni melaporkan hakim yang menangani kasus kriminalisasi warga tiga Pakel yang diduga melakukan hal yang tidak adil, serta ketidak telitiannya dalam melihat konteks kasus sehingga menjatuhkan vonis berat 5,6 tahun pada tiga warga Pakel,” katanya. 

Dia membeberkan, salah satu yang  disoroti adalah majelis hakim yang menangani kasus tersebut bersikap prejudice.  Menurutnya,  hakim di PN Banyuwangi, waktu itu tidak mempelajari secara teliti dan cermat nota pembelaan yang diajukan oleh kuasa hukum dari TeKAD Garuda sebelum menjatuhkan putusan terhadap terdakwa.

Dia menilai, hakim dalam memeriksa perkara tidak mempertimbangkan pembelaan yang diajukan mengingat seluruh pertimbangan yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor : 206/Pid.B/2023/PN Byw secara sepihak hanya mempertimbangkan poin-poin dalam surat tuntutan Nomor Registrasi Perkara: PRINT1263/M.5.21.3/Eku/05/2023.

“Sehingga, terlapor menurut pelapor tidak memenuhi rasa keadilan dalam menjatuhkan putusan. Hakim Pengadilan Negeri juga tidak mempertimbangkan kondisi nyata yang dihadapi warga yakni sedang menghadapi konflik agraria,” ungkap Jauhar. 

Menurutnya, hakim beri keputusan tidak adil. Salah satunya dengan melakukan pembatasan pengunjung sidang dilakukan dengan dalih telah disiarkan secara live streaming di kanal Youtube Pengadilan Negeri Banyuwangi.

Jauhar menambahkan, terbatasnya ruang sidang yang pada faktanya cukup untuk lebih dari 20 pengunjung sidang. Selain itu juga membiarkan aparat kepolisian yang secara tugas mengamankan, ternyata turut mengikuti sidang.

“Atas hal tersebut kami melaporkan hakim pengadilan negeri Banyuwangi karena tidak memiliki keberpihakan,” katanya. 

Dia berharap, agar segera diproses demi keadilan dan tidak menjadi pola berulang di mana warga selalu dikalahkan di pengadilan atas upaya memperjuangkan hak-haknya. Seharusnya, tandas Jauhar, pengadilan lebih adil dan berpihak pada rakyat. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *