Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi dinilai salah langkah dalam menyelesaikan konflik agraria di Desa Pakel, Kecamatan Licin. Pasalnya, Pemkab Banyuwangi keluarkan surat edaran yang berisi “Penjelasan dan Penegasan Sertifikat HGU PT. Bumi Sari Maju Sukses di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Jumat (16/08/2024).
Surat edaran tersebut dikeluarkan melalui Tim Terpadu (TIMDU) bernomor 545/901/TIMDU/429.206/2024. Informasi tersebut berdasarrkan keterangan dari Kantor Pertanahan (Kantah) BPN Banyuwangi dengan nomor 934/600.1.35.10/VI/2024.
Surat dari BPN Banyuwangi tersebut dikeluarkan pada 20 Juni 2024, yang kurang lebih isinya menegaskan bahwa HGU PT. Bumisari telah disahkan sejak 1964 melalui SK Menteri Agraria No. SK.4/HGU/64 tertanggal 20 Desember 1964.
Rinciannya; SHGU PT. Bumisari terbit yakni SHGU No. 6/Songgon dengan Luas 9.995.500 M2 dan SHGU No. 2/Segobang dengan luas 1.902.600 M2 tgl. 21-04-1972, a.n. PT. Bumisari.
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Styawan menyebut, langkah tersebut merupakan bentuk kesalahan arah dalam menangani konflik agraria struktural yang telah berlangsung lama di desa tersebut.
“Kami tidak sepakat dengan langkah yang diambil oleh PEMKAB Banyuwangi pada Jumat 16 Agustus 2024 tersebut,” katanya kepada Indoklik melalui keterangan tertulis, Senin (26/08/2024).
Surat edaran tersebut, katanya, cukup tendensius karena warga Desa Pakel dilarang memasuki dan melakukan aktivitas di lahan Desa Pakel yang dikuasai oleh HGU PT. Bumisari.
Selain itu, katanya, surat edaran itu menekankan akan dilakukan upaya penyelesaian secara persuasif, namun apabila tidak dapat diselesaikan akan dilakukan penanganan secara hukum yang berlaku.
Wahyu meminta semua pihak untuk mengedepankan prinsip keadilan dan partisipasi dalam menyelesaikan konflik agraria di Desa Pakel. Sesuai dengan amanat UUPA 1960 dan semangat reforma agraria, penyelesaian konflik ini harus berpihak pada rakyat, khususnya petani kecil dan buruh tani yang berjuang untuk hak atas tanah mereka.
Konflik agraria di Pakel, katanya, bukan sekadar konflik sosial biasa, melainkan konflik agraria struktural yang telah berlangsung hampir satu abad. Konflik ini melibatkan 800-an Kepala Keluarga (KK) yang tergabung dalam organisasi Rukun Tani Sumberejo Pakel, sebagian besar di antaranya adalah buruh tani tanpa lahan.
“Sebab, merujuk pada perselisihan yang mendalam terkait akses dan kepemilikan tanah antara masyarakat lokal dan perusahaan besar yang bergerak di sektor perkebunan,”
Konflik semacam ini, katanya, dipicu oleh ketimpangan penguasaan tanah, di mana perusahaan besar mendominasi sementara masyarakat lokal, khususnya petani kecil dan buruh tani, terpinggirkan.
Bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, langkah PEMKAB Banyuwangi tersebut justru mengaburkan akar masalah yang sebenarnya, yakni ketimpangan agraria.
Dia sarankan, penyelesaian konflik agraria di Pakel harus merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang secara tegas melindungi hak rakyat atas tanah dan sumber daya alam. Dalam UUPA, pemerintah diwajibkan untuk mencegah monopoli tanah oleh perusahaan besar dan memastikan bahwa tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Wahyu menguraikan, Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 juga mengamanatkan penyelesaian konflik agraria secara partisipatif melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di tingkat pusat hingga kabupaten/kota.
Pemkab Banyuwangi, katanya, salah langkah jika hanya mengandalkan TIMDU untuk menyelesaikan konflik ini tanpa melibatkan GTRA dan merujuk pada aturan agraria yang berlaku.
Dia menegaskan, penanganan yang salah tersebut dapat memicu konflik yang lebih luas dan masalah krisis sosial. “Warga desa yang kehilangan akses ke tanah mereka akan terdorong untuk bermigrasi atau menjadi golongan miskin kota, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah baru di perkotaan,” ujarnya.
Pemkab Banyuwangi, katanya, harus membuka ruang partisipasi seluas-luasnya dalam penyelesaian konflik agraria di Desa Pakel dengan melibatkan warga, ahli agraria, serta organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap isu agraria dan lingkungan.
Termasuk harus ada keterlibatan Kementerian ATR/BPN, GTRA pusat dan Provinsi, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga dianggap sangat penting dalam proses penyelesaian konflik ini.
Wahyu bilang, WALHI Jawa Timur mendesak Pemkab Banyuwangi agar ; Satu, mencabut surat edaran bernomor 545/901/TIMDU/429.206/2024 yang menegaskan HGU PT. Bumi Sari Maju Sukses di Desa Pakel. Dua, menyelesaikan konflik agraria Desa Pakel dengan merujuk pada UUPA 1960, TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001, dan Perpres Nomor 62 Tahun 2023.
Tiga, mengalihkan penyelesaian konflik agraria dari TIMDU ke GTRA Kabupaten Banyuwangi sesuai amanat aturan yang berlaku. Empat, membuka akses partisipasi publik dalam penyelesaian konflik agraria di Desa Pakel dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
“Lima, melibatkan Kementerian ATR/BPN, GTRA pusat dan Provinsi, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam penyelesaian konflik agraria di Desa Pakel,” tegasnya.
Foto: Warga Pakel meminta saudara mereka Muhriyono yang ditahan di Mapolresta Banyuwangi segera dibebaskan. (Instagram rukunpakel)