Beranda » Merobek Narasi Radikalisme di Pilkada Sumenep yang Dijahit Ach Syaiful A’la, Mantan Rektor INKADHA

Merobek Narasi Radikalisme di Pilkada Sumenep yang Dijahit Ach Syaiful A’la, Mantan Rektor INKADHA

Penulis: Aqil Husein Almanuri*

Awal mula membaca komentar itu, saya lalu teringat dengan bagaimana rezim Jokowi menggunakan narasi ini untuk menumbangkan idealisme oposisi. Narasi radikalisme sengaja dilebih-lebihkan untuk memuluskan kepentingan penguasa.

“Benih-benih Radikalisme di Sumenep tumbang” tulis Ach Syaiful dalam komentar di postingan K. Hamid Ali tentang hasil Quickcount Pilkada Sumenep. Dalam QC tersebut, pasangan Fauzi-K. Imam unggul dari pasangan K. Fikri-K.Unais. Dia gunakan akun fesbuk Ach Syaiful A’la saat komentar radikal-radikul itu.

Saya tahu, komentar itu sudah dihapus. Tapi, Syaiful agaknya tidak sadar bahwa ada bahkan banyak yang bikin tangkapan layar dan menyimpan tentang narasi radikal-radikul yang ditulisnya di kolom komentar fesbuk beberapa waktu lalu.

Saya heran, sekaliber Ketua Dewan Pendidikan dan mantan Rektor Institut Kariman Wirayudha itu mengeluarkan statemen demikian. Alih-alih menawarkan perspektif yang setingkat lebih berkelas dari awam, justru dia asal nyerocos  alias kor aghunjâl. Akibatnya, dia menciptakan suasana salbut dengan pernyataannya yang ngawur itu.

Ada dua kemungkinan statemen itu muncul. Pertama, gagal pahamnya Syaiful dalam memahami radikalisme itu sendiri. Namanya orang gagal paham, ya, biasanya ngarayam ka bârâ’ ka tèmor ngalak saojânga. Kedua, Syaiful asajjhâ memainkan narasi radikalisme sebagai isu hegemoni belaka.

Kita akan bersepakat bahwa tragedi terorisme oleh kelompok islam garis kanan sebagai tindakan yang amoral dan berbahaya. Namun, terlalu lebay jika bhetnyerembhetaghi polarisasi Pilkada Sumenep ke ranah demikian.

Ini yang harus dijelaskan se-eksplisit mungkin, agar tidak terjadi tegangan berbahaya di tengah masyaraka dan membuat kegaduhan. Bukankah tagline yang sering disuarakan adalah Pilkada Damai?

Menurut saya, Syaiful tidak hanya perlu belajar makna radikalisme, namun harus lebih bijak membaca konflik yang berkembang, agar justifikasinya tidak ke mana-mana, dan mengundang reaksi gaduh di tengah tagline pilkada damai.

Narasi Radikalisme sebagai Isu Hegemoni

Awal mula membaca komentar itu, saya lalu teringat dengan bagaimana rezim Jokowi menggunakan narasi ini untuk menumbangkan idealisme oposisi. Narasi radikalisme sengaja dilebih-lebihkan untuk memuluskan kepentingan penguasa. Reduksi dan bahkan distorsi atas kata radikalisme digunakan untuk mengelabui masyarakat dan membentuk opini publik.

Pada gilirannya, radikalisme telah menjadi momok menakutkan bagi masyarakat, tentunya dengan makna yang telah digeneralisasi. Radikalisme tidak lagi hanya ditujukan kepada mereka yang tergolong islam kanan, tekstualis, kelompok islam teroris, atau mereka yang ingin kembali kepada sistem pemerintahan salafusshalih. Rival pemerintah dengan latar belakang apapun akan dengan mudah dicap sebagai radikalis dan harus segera disingkirkan.

Bukan tanpa alasan, pemerintah pada rezim Jokowi sampai saat ini sengaja menciptakan ketakutan-ketakutan demikian untuk mengokohkan kekuasaan dan hegemoninya. Di sisi lain, ideologi kapitalisme liberal yang menyuburkan oligarki dianggap sebagai hal yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Padahal, ini biang keroknya.

Nah, kembali pada pernyataan Syaiful. Barangkali Syaiful akan melakukan motif serupa. Gerakan-gerakan aktivis lingkungan yang satset akhir-akhir ini akan lumpuh  jika penyataan Syaiful diseriuskan pada tingkat regulasi.

Sebab, sebagaimana dilakukan oleh rezim Jokowi, Syaiful juga dengan sengaja menggeneralisasi kata radikalisme dan memakaikannya pada oposisi Faham (loyalis Final) yang rata-rata berasal dari masyarakat akar rumput alias rèng bâbâ, aktivis lingkungan, dan pendamba perubahan.

Syaiful mungkin lupa (atau pura-pura gak dengar) perihal upaya segelintir elit untuk mangalesser kepentingan oligarkinya, salah satunya melalui draf revisi Perda RTRW kemarin.

Pada kelanjutannya, jika suara-suara masyarakat kelas bawah, aktivis, dan pihak oposisi itu dibungkam dengan narasi radikalisme yang dilebih-lebihkan hanya karena menentang kekuasaan elit yang pragmatis, maka konflik lahan pesisir akan mudah dikuasai dan kepentingan elit-elit tersebut akan berjalan lancar.

Hal-hal seperti apa yang dimaksud sebagai benih-benih radikalisme? Karena perlawanan terhadap oligarki? Gerakan sosial keagamaan yang menolak keras politik uang? Atau karena loyalis Final terlalu lantang memberi suara atas kecurangan-kecurangan birokrasi di Pilkada kali ini?

Sederet pertanyaan itu, bukan soal ujian semester akhir untuk mahasiswa atau tema-tema diskusi di kampus-kampus. Melainkan dikhususkan kepada Syaiful, untuk kemudian dijawab sebagai bentuk klarifikasi atas pernyataannya itu. Itu pun jika punya rasa malu pada latar belakang yang disandang-sebagai akademikus.

Dugaan baik saya, Syaiful adalah orang berpendidikan dan berakhlak. Sehingga, dia dengan kesadarannya akan melakukan klarifikasi atas pernyataannya yang kor meltas itu. Atau, jangan-jangan dia sedang posang ngèlèsang èlegghâna karena ulahnya sendiri?

Ilusrtasi: Merobek Narasi Radikal-Radikul yang Dijahit Syaiful A’la, Mantan Rektor INKADHA di Pilkada Sumenep. (Indoklik-Gafur)

*Santri kampung yang tak bosan ngaji. Tinggal di Sumenep.

Admin