Berita Daerah NASIONAL

Merekam Perjuangan Warga Kepanjen dan Mayangan Jember: Dipaksa Bertahan Hidup di Lingkungan Tercemar Limbah Tambak Modern Selama Hampir Setengah Abad

“Lingkungannya Dicemari Limbah, Orangnya Dikriminalisasi” Begitu salah satu penyampaian orator yang dampingi warga dua desa: Kepanjen dan Mayangan, Gumukmas, Jember kala orasi di Depan Kantor DPRD Jember, pada Senin (24/2/2025) pagi jelang siang.

Hari itu warga dua desa tersebut dengan didampingi aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jember dan solidaritasnya mendatangi kantor DPRD setempat. Perwakilan dari mereka berorasi secara bergantian sampaikan keresahannya akibat lingkungannya dicemari limbah tambak modern.

Beberapa saat kemudian, mereka masuk ke kantor DPRD. Mereka langsungkan rapat dengar dengan sejumlah anggota DPRD serta dinas-dinas terkait.

Perwakilan pembudidaya tambak tradisonal di Mayangan, Ahmad Zaini menjelaskan, sudah hampir putus asa cari solusi dari kasus limbah tambak PT Delta Guna Sukses (DGS) yang dibuang ke sungai setempat.

Di lain sisi, katanya, tak bisa diam karena limbah itu lama mencemari lingkungan sekitar. Dampaknya, petani, nelayan dan petambak tradisional  di daerah tersebut merasa terganggu,” katanya.

“Limbah yang dibuang itu mencemari sungai. Ikan-ikan pun terancam. Ekosistem air pun rusak. Petani tambak tradisonal alami kesulitan dapat bibit. Bahkan ganggu nelayan kecil. Sehingga mengurangi pendapatan nelayan kecil, yang juga  menggantungkan penghasilan dari sungai.”

Selain itu, sungai semkain dangkal dan ganggu ratusan hektar lahan pertanain warga, yang sebelumnya produktif, jadi tidak produkrtif. “Maka kami minta PT DGS menutup gorong pembuangan limbahnya yang ke sungai. Sebelum masyarakat bertindak sendiri.”

Ketua Kelompok Petani Masyarakat Kepanjen (KPMK), Arif Sukoco menjelaskan, warga setempat sudah tidak tahu harus berjuang seperti apalagi soal limbah tambak PT DGS dan limbah tambak udang vaname lainnya di lingkungan Kepanjen.

Menurutnya, pihak tambak ambil air untuk tambaknya dari laut. Limbahnya buang ke sungai. Sedang sungai itu digunakan untuk lahan pertanian warga.

“Beberapa data yang sudah terkantongi selama observasi dampak limbah tambak modern, Jumat (21/2/2025). Terutama dampak terhadap lingkungan yang juga memengaruhi perubahan sosial. Di sekitar tambak terdapat lahan pertanian masyarakat. Yang sudah sekitar 10 tahun tidak diproduksi sebagai lahan pertaniaan. Lahan tersebut tergenang air yang tercemar oleh limbah dan hanya diselimuti rumput liar.”

“Begitu pula PH tanahnya, lahan pertanian dengan jarak 1.698 m dari saluran pembuangan limbah. Menunjukkan skala angka 4,5 komponen pH tanah yang ideal seharusnya berada di angka 6,5-7,5 dari 0-14. PH tanah yang memiliki angka di bawah 6,5 menandakan sangat masam,” bebernya.

Arif bilang, pH tanah yang sangat masam akan sulit menyerap unsur-unsur hara yang dibutukan tanaman. Sedangkan kadar salinitas air (kadar garam yang terlarut) merujuk ke angka 9. Toleransi salinitas yang tidak terpengaruh jika kadar garamnya kisaran 0- 2 ds/m. salinitas air yang tinggi dapat mengganggu proses laju fotosintesis.

“Lalu kadar pH airnya 8,3 menunjukkan kategori air alkali atau basa. Kadar air yang ideal bagi pertanian harus memiliki pH antara 5.0-7.0 (sedikit masam). kadar pH air basa dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman.”

Dia mengungkapkan, dari berbagai kompenen antara pH tanah, salinitas air serta kadar pH airnya menunjukkan tanah tersebut tercemar dari berbagai aspek. Sedangkan tanaman sangat sentimen terhadap perkembangan ekosistem sekitar. Keragaman ekositem dipengaruhi oleh perilaku manusia terhadap alamnya. Terutama di pesisir pantai selatan Jember, yang sudah tercemar limbah tambak udang modern. Komponen kebutuhan tanaman sangat fundamen di pertimbangkan lebih dalam lagi.

“Sejatinya, alam tidak saling medominasi di antara kekuatan ekosistemnya. Meraka menopang satu sama lain untuk keberlanjutan lingkungan. Yang nantinya dapat membantu keberlangsungan hidup manusia. Tapi dari data ini, mana kinjerja dinas terkait ketika bicara pengawasan tambak tersebut. Apakah akan tetap dibiarkan begini saja? Kalau dinas terkait tidak tahu persoalan ini, tidak ungkin. Karena masyarakat sudah berkali-kali minta agar persoalan ini diselesaikan.”

Dia cerita, pernah ada sidak dari pemerintah pas awal-awal Bupati Hendy menjabat. Tapi tambak-tambak modern itu tampak tenang-tenang saja. “Pertanyannya, ini sebenarnya tanggungjawab siapa? Masyarakat sudah geram, Pak.”

Kalau memang dinas terkait tidak bisa tangani persoalan ini, tegasnya, ia bersama warga lainnya minta kuasa untuk menangani sendiri. Karena limbah tersebut sudah jelas bahaya. Faktanya, masih dibuang ke sungai dan ada yang ke laut.

“Hingga kini tercatat 150 Hektar bahkan hampir 200 hektar lahan pertanian di pesisir selatan telah tercemar limbah industri tambak modern. Karena itu, minta ketegasan dari dinas terkait. Kalau memang dari segi aturan sudah jelas, maka apalagi yang mau dipetimbangkan untuk beri ketegasn? Kasihan? Kasihan sama siapa? Perusahanan dan keluarganya? Lalu, kami rakyat terdampak ini tidak dilihat?”

Arif menegaskan, kalau tidak mampu menutup, maka tambak itu ditertibkan. “Masalahnya, ini sudah berpuluh tahun, maka solusi tegasnya adalah ditutup saja karena persoalan limbah itu sudah puluhan tahun tapi tak kunjung ada penyelesaian yang jelas dari Pemerintah.”

Menurutnya, warga Kepanjen dan Mayangan serta sejumlah lembaga solidaritas yang tergabung dalam aksi tersebut, dengan tegas menuntut Pemerintah Kabupaten Jember untuk:

  1. Hentikan aktivitas produksi dan cabut izin semua industri tambak modern (tutup) di wilayah pesisir selatan Jember; desa Kepanjen dan Mayangan.
  2. Kembalikan wilayah pesisir pantai sebagai fungsi lindung.
  3. Segera revisi Perda RTRW Kabupaten Jember yang tidak berpihak kepada kepentingan sosial dan ekologi masyarakat Jember Selatan
Warga Kepanjen dan Mayangan Gumukmas Jember lakukan audiensi dan unjuk rasa DPRD Jember 24 Februari 2025 (Indoklik/Abd Gafur)

Perwakilan petani Desa Kepanjen Setiyo Ramires mengatakan, petani setempat minta pemerintah Jember menutup tambak-tambak modern di wilayah Gumukmas. Pasalnya, tambak-tambak itu tak pernah untungkan petani, justru merugikan. Namun petani tidak pernah merugikan perusahaan tambak.

“Kalau pemerintah bilang ada tambak rakyat, itu tidak masuk akal. Karena tambak rakyat yang dimaksud pemerintah adalah rakyat punya tambak udang. Padahal, petambak skala kecil aliastradisonal di Kepanjen dan Mayangan itu fokus tambak lele dan mujair.”

Dia menilai, pemerintah sesat pikir jika bilang tambak modern di Pesisiri Jember itu tambak rakyat. Dia mempertanyakan boleh tidaknya ada tambak di sempadan pantai. “Sementara jelas tertuang dalam PERPRES Nomor 51 Tahun 2016 tentang batas sempadan pantai pada Pasal 4 dijelaskan bahwa penetapan batas sempadan pantai dilakukan untuk melindungi dan menjaga fungsi ekosistem, kehidupan masyarakat, dar ancaman dari bencana alam.”

“Tapi, nyatanya, tambak modern di pesisir jember itu banyak di sepadandan pantai. Meskipun misalnya ada izin, apakah tambak senekanya bisa buang  limbah? Kan gak boleh, padahal di tataran pemerintah ini ada Dinas perikanan, pengairan, pertanian, DLH, tapi kemana? Petani bangrut, Pak. Taninya busuk karena tercemar limbah itu. Kemana Dinas Pertanian?”

Dia menjelaskan, nelayan setempat harus melaut sampai jarak jauh. Karena ikan-ikan menjauh semenjak limbah yang dibuang ke laut “Nelayan harus semakin jauh cari ikan, kemana dinas perikanan? Tambak buan limbah sungai, kemana Dinas pengairan?”

“Petani tahu betul dampak dari limbah ini. Meskipun pekerjaanya cari rumput dan mencakul. Kalau bilang tambak rakyat, itu pembodohan. Petani dan nelayan memang tidak mengerti istilah B3 dan istilah soal limbah lainnya. Petani dan nelayan bisanya melihat secara kasatmata.”

“Jadi, tak perlu minta cek lab dan hal teknis lainnya. Itu bukan urusan petani dan nelayan. Jangan dikira petani itu bodoh. Apakah salah jika petani menutut karena dampak itu? baik ganti rugi maupun tuntutan lainnya? Karena petani itu dirugikan. Bicara limbah, petani pnya limbah. Apakah boleh kalau dibalik, limbah dari pertanian seperti jerami dibuang ke dalam tambak? Nanti mau melaporkan.

“Di luar Jember, hutan dibabat untuk jadi pertanian. Tapi di Jember, khususnya di Kepanjen dan Mayangan, lahan pertanian malah dirusak dicemari dan pemerintah lengah bahlan abai. Kami tidak benci dinas terkait. Tapi kinerjanya mana? Kalau ini dibiarkan, lihat saja nanti. Bagi kami, tani itu tawakal niat ibadah, kalau ibadah tani kami itu diganggu, lihat saja nanti. Apa yang akan terjadi.”

Dia menegaskan, warga tidak takut dipenjara. Petani dan nelayan setempat sudah lama berjuang untuk kaadilan ini. Audiensi di tingkat desa dan kecamatan.  Tapi karena rakyat kecil, selalu kalah.

“Maklum perusahaan banyak uagnya. Kami memang kalah soal uang, tapi petani dan nelayan taat hukum dan taat pajak. Kami sebenanrnya taK mesti duduk langsung ke DPRD ini. Sebab kami punya dinas terkait dalam persoalan ini. Kami terpaksa lakukan ini, karena mereka (Dinas terkait) belum ada kinerja nyata dalam persoalan ini.”

Dia meminta agar pertemuan itu ada keputusan yang jelas dari DPRD dan dinas-dinas terkait. “Jika keputusannya ingin menutup, kapan? Karena tambak modern itu sudah merugikan  masyarakat.  Kalau tidak berani (menutup), saya curiga ada yang menerima uang dari perusahaan.”

Dia meminta DPRD dan sejumlah dinas terkait datang Pesisir Gumukmas guna memastikan kondisi di lapangan tentang apa yang dikeluhkan warga Kepanjen dan Mayangan. Dia minta kepekaan nurani wakil rakyat dan dinas terkait untuk melihat dengan nuraninya dalam persoalan ini. Karena sudah bingung harus ke mana dan siapa lagi adukan ini. Kalau pemerintah tak mau menindaklanjuti, kami rakyat siap menindak sendiri. Entah seperti apa caranya, dilas atau lainnya.

“Kami bukan tidak bisa bertindak sendiri. Tapi kami msaih mikir, kalau nanti terjadi keributan akan kacau semuanya. Kemudian, kami sadar masih punya pemerintah yang punya kewanangan.  Karena itu, kami tegaskan ayolah wakil rakyat dan dinas terkait ini buka mata hatinya dalam persoalan ini,”

Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Gumukmas, Iqbal Abipraya mengatakan, tidak bisa tinggal diam dengan apa yang dialami oleh warga Kepanjen dan Mayangan.

Dia bilang, KTNA seharusnya netral dalam urusan tugas dan fungsinya. Tapi kali ini ia menegaskan berpihak masyarakat Kepanjan dan Mayangan yang tengah berjuang. Pasalnya, persoalan ini sudah ini sudah larut sejak 40 tahun lalu.

“Kami sudah lakukan upaya mediasi baik di tingkat desa kecamatan tentang persoalan ini. Tapi tetap saja, persoalan ini tak ada ujung penyelesaiannya. Kami ke sini  ini urunan bersama warga. 10 ribuan untuk bisa sewa truk dan mobil agar bisa menyampaikan ini ke pemerintah. Pemerintah ini enak.”

Meskipun hari ini temui warga dua desa itu, keesokan harinya tidak pusing makan apa. Karena digaji. Nah, rakyat yang dari Gumukams ini , jelas hari ini tidak bekerja. Sementara, meskipun pulang dari audiensi ini, belum tentu tanahnya besok bisa ditanammi juga.

Dia mendesak DPRD Jember dan Dinas terkait melihat persoalan ini sampai pada akarnya, termasuk datang ke lokasi. “Sebaiknya, tambak-tambak modern di pesisir Gumukmas ditutup, karena dampak negatifnya bagi masyarakat dan lingkungan hidup sudah jelas. Kami sudah capek berdiskusi, kami tidak mau melihat lagi diskusi antara humas perusahaan dan pemerintah. Apalagi, Pemerintah  tahunya solusi untuk investor. Tapi tidak mikir solusi terhadap apa yang dialami masyarakat.”

Ketua PC PMII Jember, Ahmad Fathu Fikron Mustofa menyayangakan DPRD Jember masih menanyakan nama tambak yang dikeluhkan warga Kepanjen dan Mayangan serta ada berapa tambak di pesisir selatan Jember.  Menurutnya, pertanyaan itu justru perlu ditanya balik karena merupakan sesutu yang paradoks. Sebab seharusnya DPRD setempat tahu ada pelanggaran di pesisir.

“Kalau mau bicara dampak, semua tambak modern jelas merugikan. Apalagi limbahnya dibuang ke sungai dan laut. Sekarang, saya tanya balik ke dinas terkait yang hadir di sini, apakah tahu ada berapa tambak di pesisir Jember? Baik yang berizin atau tidak.”

Masyarakat, katanya, sudah dilemahkan dari berbagai sisi dalam urusan ini. Sudah lahan dan lingkungan hidupnya tercemar, masyarakat masih saja dibohongi dan dikepung ketika bicara ini. “Contoh, saat ada mediasi di tingkat bawah, masyarakat yang diudang hanya satu dua orang. Sementara, pihak perusahan dan pemerintah banyak. Dia menilai, langkah itu menunjukka upaya pelemahan dan pengkerdilan secara psikis.”

Dia menyayangkan pernyataan DLH Jember saat rakor di Kecamatan Gumukmas (14/2) dan itu muncul di media massa yang bilang limbah itu sudah sesuai regulasi. Masyarakat tidak bodoh. Secara kasat, bisa bedakan mana air pekat dan air jernih. Nah, air limbah itu jelas pekat, dan itu masih dikatakan sesuia regulasi dan tidak mergikan?

“Ini kan kacau cara berpikirnya. Coba minum air limah itu? Kalau mau buka data, katanya, ada banyak tambak di pesisir selatan Jember. Dari Kecamatan Puger, Gumukmas sampai Kecong. “Tapi dari semua yang ada, silakan cek soal izin dan juga apa saja pelanggaran yang dilakukan?”

Jika pemerintah masih menunggu laporan dari masyarakat dalam persoalan tersebut, kata Fikron, menunjukkan pemerintah sedang bikin lelucon. Di sisi lain, masyarakat belum berani dan punya kekuatan mental karena masyraakat kecil. Belum lagi, masyakat juga memikirkan bagaimana cari makan untuk setiap harinya.

“2023 lalu, PMII Jember  2023 lalu juga pernah dampingi pesisir Getem yang memprotes banyaknya tambak ilegal di wilayah Getem.  Kala itu, dinas perikanan bilang tidak bisa serta merta mengusir. Parahnya, kala itu masih mikir akan buat peraturan. Karena berikaitan dengan investasi. Ini kan lucu. Sudah ilegal dan dikeluhkan masyarakat, masih mau bikin aturan, artinya mau melindungi. Kan kacau.”

Dia menilai, Pemerintah memang lucu. Jika ada masyarakat kecil terobos lampu merah, langsung ditindak di tempat. Sementara bila ada perusahaan melanggar, masih pikir dua kali agar aman bahkan tak jarang masih melindungi.

“Ayolah, pemerintah ini buka mata hatinya, bagaimana nasib masyarakat setempat kalau persoalan ini tetap dibiarkan. Petani dan nelayan gimana? Sementara, mereka selain bertahan hidup juga menyekolahkan anak-anaknya. Kalau laut untuk aktivitas nelayan dan lahan pepertanian tercemar, bagaimana nasib generasi selanjutnya?

Dia bilang, PMII juga pernah dampingi warga Kepanjen yang menolak penidirian tambak baru di bagian selatan tahun 2021. “Alih-alih menyelesaikan persoalan, pemerintah justru mengkriminalisasi masyarakat dengan cara dipanggil karena alasan ganggu pelaku usaha. Artinya, masyarakat dilemahkan dengan memainkan peraturan segala macam. Sudah ruang hidupnya dicemari, manusianya dikerdilkan secara psikis. Mana hati nuraninya pemerintah?”

Pemkab Jember, kata Fikron, tidak pernah memberikan respons serius terhadap petaka yang akan menimpa masyarakatnya. Niat Pemkab untuk menumbalkan masyarakat dengan dalih menaikkan Pendapatan Asli Daerah namun memiskinkan rakyat dapat terlihat jelas. Pemkab tidak pernah belajar atas sejarah konflik agraria yang selama betasan tahun terjadi.

“Keberpihakan Pemkab selalu berada pada sisi-sisi investor yang bersedia memperbesar perut buncit oligarki dan menutup mata pada masyarakat kecil yang menjerit dan merintih. Serta berdasarkan pada tinjauan hukum yang telah dijelaskan oleh masyarakat, para pengusaha tambak dengan jelas melakukan kegiatan industri yang bertentangan dengan hukum yang berlaku.”

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember, Sugiyarto mengatakan “Tambak di pesisir selatan jember yang dipersoalkan ini sudah lama berdiri dan izinnya sudah ada serta lengkap dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) juga IPALnya ini sudah ada izin pembuangan limbah cair (IPLC)nya.”

Karena dokumen lingkungannya UKl UPL, katanya, PT DGS dan PT ATG rutin kirim laporan setiap enam bulan sekali.  “Semeter kedua 2024, yang masuk ke DLH pada 15 Januari 2025. Itu hasil lab, dan labnya ini standar dan terakreditasi. Hasilnya, limbahnya di bawah ambang batas mutu, yang diperboleh daripada air limbah tambak. Limbah PT DGS yang disoal itu, masih di ambang batas mutu yang diperbolehkan.”

Dia mempertanyakan hasil lab limbah masih di bawah ambang batas, sementara, laporan masayarkat itu merusak atau mencemari, karena itu pihaknya akan menindaklanjuti.

Sementara, di sana juga banyak tambak tradisional yang mereka juga ambil air dari laut untuk tambaknya, lalu limbahnya dibuang ke sungai dan juga ke laut. Dan yang DGS itu, memang ada dam, dan itu klepnya. Satu arah mengalir. Pada saat air dari sebelah (laut) mau pasang, mak klep ini akan menutup.  Pertanyaannya, apakah klep itu berfungsi atau tidak, itu perlu dicek.

“Kalau masih berfungsi, katanya, maka ada potensi mengkontaminasi, bukan mencemari. Karena kalau dibillang mencemari, kurang pas. Dia bilang, sepanjang aliran sungai di sana juga ada tambak-tambak tradisional, di mana tambak-tambak tersebut juga lakukan pengeburan air payau. Air payau ini, katanya, salinitasnya sangat tinggi. Itu juga dari mereka juga dibuang ke sungai.”

“Kalau mau ambil sampel untuk dilabkan, maka diambil dari sebelum outlet dan setelah outlet. 100 meter dan 100 meter setelah outlet. Itu untuk membuktikan apakah ada pencemaran setelah outlet. Kalau terjadi perbedaan yang signifikan, maka itu tandanya ada pencemaran. Pun sebaliknya. Jika tidak perbedaan, maka tidak ada pencemaran dari limbah tersebut.”

Kalau sesuai laporan masyarakat kadar garam yang tinggi yang menyabakan kerusakan pada tanaman dan lahan, jelasnya, maka yang juga perlu dicek juga adalah klepnya. Kalau klep rusak, maka saat pasang, air pasang itu akan masuk ke sungai. Dari sungai itu, akan masuk ke pertanian warga. Maka potensinya, air yang masam tadi, air yang dari laut juga. Bukan hanya dari DGS. Karena itu, butuh pikiran dan tindakan yang komprehensif dari semua pihak.

“Dari sisi aturan, katanya, outlet atau limba itu boleh dibuang ke sungai. Tak jadi masalah. Sebab, izin tambak ada, izin IPALnya jelas, dan aturan tidak ada yang melarang buang limbah ke sungai itu. Dia bilang, dalam kasus ini, tetap bicara aturan yang ada. Untuk tambak-tambak yang kEcil, setelah ada ada OSS itu, NIB terbit secara otomatis.  Apalagi kalau lahan di bawah 10 hektar.  Dan kategorinya itu tambak rakyat. 10 hektar-100 hektar itu harus persetjuan dukumen lingkungan UKL PL.  Di atas 100 hektar harus ada AMDALnya.”

Penata Perizinan Ahli Muda Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Jember, Fidyah Yulia Sari membeberkan, ada 50 tambak udang di Desa Kepanjen. Semuanya kantongi izin.

“Izin itu melalui OSS (Online Single Submission). Pemohon bisa input sendiri dan NIB terbit secara otomatis. Sementara di Mayangan ada sekitar 12 sampai 15 tambak. Dan izin itu bukan dari DPMPTSP yang terbitkan. Itu kewenangan dari provinsi. Sementara, yang izin PT Delta Guna Sukses dan PT Anugerah Tanjung Gumukmas atau ATG jauh sebelum ada kebijakan OSS itu.”

Kepala Dinas Perikanan Jember, Indra Tri Purnomo bilang, sudah lakukan penataan di wilayah pesisir selatan Jember.  Dari Kecamatan Puger, Gumukmas, Kencong, Ambulu, dan Tempurejo sejak dua tahun yang lalu.

Pihaknya juga pasang papan larangan, pendirian bangunan dan usaha lainnya di wilayah pesisirnya.  Dinas Perikanan Jember tidak serta merta lakukan penindakan soal tambak. Tapi jika sudah tidak sesuai aturan, pihaknya juga lakukan dengan tegas. Namun demikian, penindakan itu tidak akan cepat atau sesuai harapan masyarakat. Sebab ada prosesnya.

“Penanganan permasalahan penataan di pesisir itu ada dua: Pertama, keterlanjuran dan belum terlanjur.  Artinya, yang sudah terlanjur seperti apa. Misal, ada pihak yang sudah klaim lahan di area itu. Sementara yang belum digarap dan diklam, pihaknya upayakan agar lahan tersebut digarap.”

Soal perizinan, katanya, untuk usaha mikro di bawah 10 hektar, ada OSS. Dan itu mudah dilakukan.  Sedangkan tambak di Kepanjen dan Mayangan itu, rata-rata luasnya kurang dari 10 hektar per unitnya. 50 izin yang disampaikan DPMPTSP  yang melaui OSS, itu milik perorangan. Saya tidak tahu pasti. Apakah yang 50 itu tergabung dalam KUB. Lalu daftarnya perorangan atau seperti apa dia tidak bisa memastikan.

“PT DGS dan PT ATG izinya sudah lengkap. Dia mengaku pihaknya sudah dan akan lakukan pemantauan. Hal itu berkenaan dengan pelakasanannya seperti apa. Dan untuk cek langsung ke sana, Dinas Perikanan punya tim khusus. Misal ditemukan pelanggaran, tentu kami punya wewenang  untuk sampaikan itu ke pihak terkait agar izinnya dibekukan misalnya.”

Dia bilang, mencuatnya protes tambak ini, selain karena limbah yang dipersolkan, ternyata karena status tanah sudah dimiliki perorangan, bukan lagi milik negara. Makanya, perikanan akan berusaha bagaimana wiliyah sana itu nanti jadi milik negara atau jadi aset negara.

“Sebenarnya, persoalan ini kami sudah upaya cari win win solutionnya. Agar tambak jalan, masayrakat juga bisa lakukan aktivitas sesuia yang dimiliki. Yang nelayan ya melaut, yang petani yang bertani.”

Dinas Perikanan Jember minta bantuan masyarakat dalam penyelesain persoalan ini. Dia menegaskan, bukan mau melindungi perusahaan tambak, tapi karena memang tidak ada aturan yang melarang adanya pendirian tambak di wilayah pesisir.

“Jadi, ini yang jadi poinnya. Karena tidak ada larangan pendirian tambak, maka kami tidak bisa serta merta larang siapaun yang mau dirikan tambak. Andai ada aturan yang melarang, tentu kami akan lakukan penegasan soal aturan itu. Tapi kan, nyatanya aturan pelarangan tidak ada. Jadi kalau aturan teknis, perizinan ada yang berwenang sendiri. Tapi kalau soal pelaksanaan di lapangan, tentu kami punya wewenang lakukan kontrol.”

Sekretaris Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunam (TPHP) Jember, Sigit Boedi Ismoehartono menjelaskan, pihaknya lakukan dialog dengan Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Jember setiap minggu atau satu bulan sekali pihaknya. Termasuk dalam waktu terdekat pihaknya lakukan dialog dalam persoalan yang disuarakan oleh warga Kepanjen dan Mayangan ini.

Dia berjanji siap mendampingi dan membenarkan ada hampir 200 hektar lahan warga yang tak lagi produktif. Mau tidak mau makin lama makin menurun produitfitas lahan itu. Kami akui, dari sejarahnya, tambak di wilayah Kepanjen dan Mayangan ini sejak 1987. Dan hari ini adalah bagian puncak dari protes itu. Sebab, sampai saat ini, kasus ini tetap berlanjut.

“Sekarang, Pemerintah Indonesia galakkan program agar setiap daerah menambah area lahan pertanian, khusunya padi. Sementara, kondisi yang terjadi di Kepanjen Mayangan ini, justru sebalikya yang jelas kontradiktif.  Lahan yang ada dicemari limbah tambak udang.”

Pihaknya merekomendasikan dua solusi: Satu, angka pendek. Perlu menindak pihak perusahaan. Sebab, kasus ini melibatkan perusahaan yang dimaksud. Maka perusahaan harus bertanggungjawab dan bila perlu diberikan sanksi.

Dia mengaku TPHP tidak tidak bisa ego sektoral. Artinya dinas terkait mesti lakukan tindakan. Sementara, soal izin, itu kan di provinsi. Maka jelas pemerintah di sini dan terkait di provisi harus jelas koordinasinya dalam persoalan ini.

“Solusi lain,  jangka  panjang. Harus lakukan netralisasi saluran. Kenapa air laut bisa masuk lahan pertanian? Setelah dicek, karena ternyata posisi air laut lebih tinggi dari lahan pertanian yang ada. Maka kemarin ada usulan agar meninggikan saluran di atasnya. Sehingga, saat pasang  pun air laut tidak akan naik. Maka nantinya, itu juga butuh progam khusuus untuk ada proyek saluran irigasi.”

Dia tidak bisa menyalahkan masyarakat sampai lakukan berbagai upaya prostes dan minta penyelesaian persoalan ini.  Karena itu, pemerintah perlu bikin tim khusus atau satgas khusus untu bagaimana lahan ini bisa kembali produktif.

Ketua Komisi B DPRD Jember, Candra Ary Fianto menjelaskan, sengaja menanyakan jumlah dan data tambak yang di pesisir selatan Jember itu, karena ia dan dewan lainnya di ruangan itu baru menjabat. Sementara, persoalan ini sudah sejak lama.

“Kami butuh verifikasi ulang untuk menemukan titik terang dan bagaimana nanti tindak lanjut yang dilakukan. Termasuk kami undang dari pihak dinas terkait agar hadir dalam rapat dengar dan audiensi ini.”

“Saya juga sayangkan satker yang dipaparkan dari Dinas Perikanan karena sudah 2 tahun lebih berlanngsung dan hanya bilang sudah pasang papan larangan. Menurutnya, kalau seperti itu, tanpa ada tindak lanjut, menunjukkan Dinas Perikanan bekerja secara formalitas saja.

Di sisi lain, dari Dinas Pangan tadi jelas petani dirugikan. “Nah dari situ, apa yang dilakukan dinas terkait, setelah tahu ada laporan dan data itu? Kalau dari perikanan tadi bilang tambak tetap, artinya tidak tambak baru sejak satker itu. Bisa dibilan, itu bagus. Tapi soal lainnya, seperti yang disoalkan hari ini. Bagaimana?”

Kalau memang tidak sesuai regulasi atau langgar aturan yang ada, katanya, maka tutup semua tambak itu. Kasihan masyarakat. Puluhan tahun terdampak ini. “Kami sebagai wakil rakyat, berupaya serap aspirasi dan dampingi masyarakat guna selesaikan sesuai mekanisme yang ada. Tapi catatannya, meskipun tambak itu sesuai regulasi misalnya, tapi dalam hal lainnya, seperti limbah  yang disoalkan itu rugikan masyarakat sekitarnya, saya rasa pemerintah terkait harus tegas.”

Wakil Ketua DPRD Jember, Widarto mempertanyakan pernyataan DPMPTSP tentang pemohon izin tambak yang melalui OSS. “Tadi DPMPTSP bilang pemohon izin bisa melalui OSS, dengan ketentuan di bawah 10 hektar. Sementara data yang kami lihat untuk yang di Kepanjen dan Mayangan ini, banyak nama-nama yang sama. Mungkin, untuk mengakali perizinan itu, lahan dipecah-pecah. Artinya ini janggal juga. Ini kan temuan baru, bahwa bisa jadi adalah modus dari petambak agar bisa lancar izinnya.”

“Pemerintah dan masyarakat tidak anti investor dalam urusan usaha. Tapi jika inevestor lakukan pelanggaran dan rugikan masyarakat dalam jalankan usahanya, maka usaha itu perlu dilakukan evaluasi dan penindakan. Termasuk perlu dipikirkan agar persoalan yang Kepanjen dan Mayangan ini segera diselesaikan.”

Widarto merekomendasikan:

  1. DTPHP, perlu lakukan uji lab secara independe juga terhadap tanah yang ada di sekitar guna mengetahui kondisi PH tanah seperti apa.
  2. Dinas Perikanan perlu lakukan uji lab juga terhadap kondisi air sungai.
  3. DPMPTSP perlu verifikasi kembali data yang ada dan lakukan pantauan bagaiamana pelaksanannya di lapangan. Apakah sesuai aturan atau tidak.
  4. DLH Jember perlu lakukan uji lab kembali secara independen, yang tidak ada campur tangan apalagi biaya dari perusahaan tambak.

Dia juga minta  Dinas Perikanan mengambil sampel air dan endapannya. Karena kalau tambak dari 1987, dan limbah tambak sejak itu juga, pasti ada endapan racun dari limbah itu yang mengendap di dasar sungai.

Dalam Perda Kabupaten Jember Nomor 1 Tahun 2015 Tentang RTRW  (2015-2035) pada pasal 36 poin 11 di mana dijelaskan bahwa Kawasan sempadan pantai adalah Kawasan yang terletak di sepanjang pantai selatan yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai memanjang dari perbatasan Kabupaten Lumajang sampai ke batas Kabupaten Banyuwangi yang berada di Kecamatan Kencong – Gumukmas – Wuluhan -Puger – Ambulu – Tempurejo dengan jarak minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Lebih lanjut untuk pengelolaan sempadan pantai Kabupaten Jember diatur pada Pasal 36 Poin 12 bahwa pengelolaan sempadan pantai meliputi Perlindungan kawasan sempadan pantai dari kegiatan yang menyebabkan kerusakan kualitas pantai, Perlindungan sempadan pantai dan sebagian kawasan pantai yang merupakan pesisir terdapat ekosistem vegetasi pantai dan estuaria dari kerusakan, Penanaman bakau di kawasan yang potensial untuk menambah luasan areal vegetasi pantai, Penyediaan sistem peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya bencana, dan Penetapan kawasan lindung sepanjang pantai yang penelitian sempadan pantai Kabupaten Jember dijelaskan pada Pasal 76 Nomor 8 bahwa pengelolaan sempadan pantai dilarang untuk kegiatan budidaya yang mengganggu bentang alam, berdampak negatif terhadap fungsi pantai, dan mengganggu akses terhadap kawasan sempadan pantai, dan dilarang semua kegiatan yang mengancam fungsi konservasi pada pantai.

Foto: Warga Kepanjen dan Mayangan sampaikan pernyataan sikap agar Pemerintah Jember menyelamatkan pesisir selatan Jember, termasuk di Kecamatan Gumukmas dari ancaman tambak modern berikut limbahnya. (Dok IG  @juangkepanjenjember)

Penulis: Abd Gafur
Editor: Abd Gafur

Anda mungkin juga suka...