OPINI TIPS ULASAN

Menikmati Musik Religi, Terapi Ampuh Sembuhkan Depresi

Penulis: Muhadzib Zaky*

Informasi dalam artikel ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bagi pembaca yang mengalami gejala depresi atau memiliki kecenderungan pikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan masalah Anda kepada pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, atau klinik kesehatan mental.

Belakangan ini, saya menemui fenomena di mana banyak pemuda mengalami depresi. Dari beberapa kasus yang saya amati, depresi tersebut umumnya disebabkan oleh kondisi keluarga yang broken home dan putus cinta dengan pasangan. Alih-alih berusaha berdamai dengan diri sendiri, kebanyakan dari mereka justru terjebak dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Salah satunya, kasus yang dialami AA, pemuda berusia 23 tahun ini mengakhiri hidupnya akibat depresi yang dialami karena masalah rumah tangga orang tuanya yang berantakan. AA ditemukan tewas setelah melakukan bunuh diri di lapangan sepak bola di salah satu kompleks rumah sakit di Kota Magelang.

Ayah korban mengungkapkan bahwa selama satu tahun terakhir, AA mengalami depresi berat. Hal ini disebabkan oleh ibunya yang telah meninggalkan keluarga dan menikah sebanyak tiga kali, itu meninggalkan dampak psikologis yang mendalam pada dirinya.

Kasus yang berbeda, pemuda berinisial DF yang berdomisili di Kecamatan Kuok, Koto Panjang, Kampar melakukan bunuh diri karena putus cinta. Kapolsek Bangkinang Barat, Iptu Rian Onel, menyatakan bahwa DF melakukan bunuh diri ketika video call dengan pacarnya. Korban kemudian ditemukan tewas di rumah yang terletak di Koto Panjang, Kampar.

Dari beberapa kasus itu, menunjukkan bahwa pemuda sangat rentan mengalami depresi, terutama saat menghadapi masalah tertentu, seperti keluarga yang broken home atau putus cinta. Selain itu, saya sering mendapati bahwa kebanyakan dari mereka cenderung menyukai musik dengan lirik yang sedih, galau, dan bernuansa depresif.

Kurangi Mendengarkan Musik Sedih saat Depresi

Di media sosial, beberapa pemuda sering kali berbagi playlist lagu-lagu bernuansa sedih, galau, atau depresif. Mereka seolah ingin membagikan kesedihan tersebut dengan teman-teman di media sosialnya. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa mendengarkan playlist lagu-lagu sedih secara terus-menerus dapat berdampak buruk bagi diri sendiri.

Itu terjadi pada seorang pemuda berinisial YE, lelaki berusia 20 tahun tersebut mengakhiri hidupnya dengan mengkonsumsi racun pembasmi hama tanaman di dalam rumah kakek-neneknya di Bambung Timur.

Korban ditemukan oleh kakeknya di dalam kamar dalam keadaan kesakitan perut, dengan botol cairan racun pembasmi tumbuhan tergeletak di lantai. Sebelum meminum racun, kakek korban menceritakan bahwa sekitar pukul 22.00 WITA, YE terlihat duduk di depan rumah sambil mendengarkan lagu-lagu berlirik sedih dari ponselnya. Ia bahkan merespons lagu tersebut hingga menangis.

Usai kasus itu santer di masyarakat, pihak keluarga menyatakan bahwa YE adalah anak yang baik, pendiam, dan jarang bergaul. Sejak 6 bulan terakhir, YE ditinggalkan oleh kedua orang tuanya yang telah berpisah.

Fenomena itu mirip seperti yang dijelaskan dalam penelitian berjudul Sad as a Matter of Choice? Emotion-Regulation Goals in Depression pada tahun 2015 oleh Yael Millgram dan tiga rekannya. Mereka menyimpulkan bahwa orang depresi cenderung memilih musik sedih. Dalam penelitian tersebut, peserta diberikan klip musik sedih, bahagia, dan netral.

Millgram dan tiga rekannya menemukan bahwa orang depresi cenderung mempertahankan atau meningkatkan kesedihan mereka. Namun, Jonathan Rottenberg, salah satu peneliti, skeptis dengan pandangan bahwa orang depresi sengaja memilih untuk tetap sedih.

Dari beberapa penelitian tersebut, saya dapat memahami bahwa pemuda yang mengalami depresi, memiliki kecenderungan untuk mendengarkan musik yang bernuansa sedih, galau, dan depresi. Kendati tujuan mereka saat mendengarkan musik sedih bermacam-macam, itu membuat pemuda yang mendengarkan musik sedih betah berlama-lama dalam kondisi tersebut.

Berdasarkan Hasil Survei Kesehatan Global berbasis sekolah yang dilakukan pada pelajar SMP dan SMA di Indonesia pada tahun 2015, terdapat 5,14% siswa yang mengikuti survei menyatakan pernah memiliki ide untuk bunuh diri dalam 12 bulan terakhir, dengan angka pada siswa perempuan (5,90%) lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki (4,33%). Munculnya ide untuk bunuh diri tampak paling sering terjadi di kalangan siswa SMA.

Selain itu, United Nations International Children’s Emergency Fund (Unicef) memiliki temuan yang mirip terkait fenomena bunuh diri pada pemuda. Berdasarkan penjelasan Unicef, gangguan depresi merupakan gangguan mental yang paling sering terjadi terhadap pemuda. Pada 2019, prevalensi gangguan depresi pada remaja mencapai 42,9%.

 Sembuhkan Depresi dengan Mendengarkan Musik Religi

Dari beberapa temuan di atas, tidak sedikit pemuda yang mendengarkan musik bernuansa sedih menjadi larut dalam kesedihan. Untuk meminimalisir depresi yang berkelanjutan, saya menemukan penelitian yang membahas manfaat mendengarkan musik religi, yang cenderung lebih menenangkan dan memberikan kesan damai bagi diri sendiri.

Salah satunya, penelitian yang dilakukan oleh Vidya Chivukula dan Shivaraman Ramaswamy dari Universitas Osmania berjudul Pengaruh Berbagai Jenis Musik pada Tanaman Rosa Chinensis pada tahun 2014, itu mengkaji efek berbagai jenis musik terhadap pertumbuhan tanaman mawar (Rosa Chinensis).

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar musik religi seperti nyanyian Veda mengalami pemanjangan tunas yang lebih subur, jumlah bunga terbanyak, dan diameter bunga terbesar, sementara pemanjangan ruas tertinggi ditemukan pada tanaman yang terpapar musik klasik India.

Ketika musik religi seperti nyanyian Veda dapat membantu mempercepat pertumbuhan tanaman, saya pikir musik religi juga bisa bermanfaat bagi manusia, khususnya para pemuda. Musik religi bisa membantu mengurangi depresi yang sering dialami akibat berbagai persoalan, seperti keluarga yang broken home atau putus cinta.

Dalam buku berjudul Dunia Musik Sains, Musik untuk Kebaikan Hidup yang ditulis oleh Grimonia pada tahun 2014, menjelaskan bahwa musik  religius dapat merelaksasi pikiran dan tubuh manusia. Lagu-lagu yang rileks dan religius dapat digunakan sebagai terapi.

Disarankan untuk memilih lagu dengan tempo 60 ketukan per menit agar dapat rileks. Jika temponya terlalu cepat, stimulus yang masuk secara tidak sadar akan membuat kita mengikuti irama, membuat kita tidak bisa istirahat dengan baik. Musik religius biasanya memiliki frekuensi sedang, rentang nadanya luas, dan tempo dinamis.

Musik Apa yang Sebaiknya Didengarkan saat Depresi?

Meninjau dari berbagai permasalahan terkait tingginya angka bunuh diri dengan latar belakang yang beragam, seperti persoalan broken home dan masalah cinta, sering kali menjadi pemicu tindakan ekstrim, bahkan hingga mengakhiri nyawa sendiri.

Menurut saya, musik bernuansa sedih cenderung membuat seseorang merasa lebih relate dan terus mengulanginya, seolah hanya dirinya yang merasakan penderitaan, keterpurukan, dan kesedihan. Penyebab inilah yang dapat membuat seseorang terbawa dan hanyut dalam suasana sedih yang berkepanjangan.

Oleh karena itu, saat suasana hati sedang sedih, saya memberi rekomendasi untuk menikmati musik religi yang mengandung pesan-pesan kedamaian, baik melalui lirik maupun instrumennya. Musik religi dapat memberikan kesan menenangkan dan mendorong seseorang untuk berdamai dengan diri sendiri. (*)

Ilustrasi : Menikmati Musik Religi, Terapi Ampuh Sembuhkan Depresi (Indoklik-Canva)

*) Penulis merupakan pendengar setia Opick dan anggota Pers Mahasiswa (LPK Gema Unesa) di kampus. Selain itu, penulis sedang menempuh pendidikan di Program Studi Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya (Unesa)

 

Penulis  : Muhadzib Zaky
Editor    : Abd Gafur

Anda mungkin juga suka...