Penulis: Abd Gafur
Disclaimer dulu, tulisan ini, khusus cakanca Ragang, Bajur, Montorna, Sana Laok, Sana Tengah, dan sekitarnya. Ya, misal ada pembaca berasal dari daerah lain, tak masalah. Semoga dapat ambil inspirasi dari tulisan ini.
“Dâma’ah, Pur?”
“Abeliyâ ka Mekkasan.”
“Yâ abâli, lèbâtâh dimma bân? ÈSemar? Ta’ bisa. Usa lebât ka bhâru bân.”
“Bâ, arapa, Ka’? Ko’ bâdâ acara marèna, sekalian pas buka bersama bân cakanca.”
“Yâ, ta’ kèr kajâpo’. Ya’ la korang 30 menit magrib”
“Yâ, positip ta’ ning lèbât. Tolos usa ngantos dekki’ marèna tarawih sè ongrota bânjirâ roa.”
Dialog di atas, hanya rekaan ulang dari apa yang saya alami semasa kuliah 7-10 tahun silam. Saat itu-masih wira wiri Ragang-Pamekasan, saya kerap menunda waktu untuk kembali ke kampus yang letaknya di kota, karena harus menunggu surutnya luapan air sungai di Jembatan Semar Ragang.
Ya, hanya jalan itu yang bisa dilalui untuk bisa cepat ke Pakong dan Pamekasan Kota. Sebenarnya, ada jalan alternatif.
Tapi, kalau lewat daerah Sana Laok –Jembatan Turbhukân- positif perut akan diobrak-abrik (jâlghunjâlân). Sebab jalannya lebih meliuk-liuk dari medan balap motor trail.
Ada juga jalur alternatif lain. Lewat jalur Sana Tengah- Dempo Barat- Waru- tembus ke Klerker. Kondisi jalannya lumayan bagus, tapi butuh waktu lebih lama untuk bisa sampai ke Pamekasan kota.
Kenyataannya, luapan air sungai di sekitar Jembatan Semar Ragang itu terus terjadi tahun ke tahun. Entah sejak kapan itu terjadi, saya tidak tahu persisnya. Namun yang jelas, seingat saya, nyaris setiap tahun sejak 10 tahun belakangan, luapan air bâ’â di sekitar Jembatan itu terus terjadi.
Minggu (24/3/2024) sekitar habis dhuhur menjelang asar, saya menjumpai peristiwa itu lagi melalui story Whatsapp cakanca di Ragang.
“Bânjir polè. Ella mon na’ kana’, pas èghâbây èn maènan bânjirâ rè. Ta’ tako’ ngara. Mon na’kana’ saktè, ajhâlân e tas aèng. Na’kana’ Raghâng, ajhâlân e tas aèng. Lèbur. ”
Begitu kira-kira suara dalam video itu. Visualnya, satu anak usia madrasah ibtidaiyah menaiki tumpukan jerami kering-entah itu tumpukan dedaunan-ranting atau ilalang yang menggumpal. Tapi yang jelas itu sampah tetumbuhan.
Sebagian lain, sekelompok anak usia yang sama, tampak asyik bermain di pinggir-tengah luapan air sungai yang berwarna kuning langsat alias lekko.
Kalau kembali ke masa kecil saya, anak-anak yang bermain di sekitar dan bahkan sengaja menghanyutkan diri bersama beberapa teman sepantaran di tengah aèng bâ’â (air bah) itu disebut nyo’anyoan. Cuma, nyo’anyoan itu bukan di luapan air sungai yang sampai membanjiri halaman rumah warga di sekitar sungai. Bukan.
Nyo’anyoan merupakan salah satu permainan yang begitu menghibur masa kecil saya. Dan, saya sendiri pernah kebablasan main nyo’anyoan. Ceritanya, air terlalu deras. Jadinya, saya terhanyut sampai 150 meteran. Untungnya, saya dapat diselamatkan.
Kembali ke luapan air di Jembatan Semar Ragang. Saya punya analisis yang, mungkin ini bisa disepakati atau tidak. Tetap yang jelas, ini berangkat dari apa yang saya lihat dan amati lebih jeli yang terjadi di Ragang dan sekitarnya.
Baik, mari kita mulai fafifu berfaidah ini bersama-mulai membahasnya.
Secara alamiah, ya, mungkin karena hujan durasinya terlalu lama. Tapi, hujan tidak ada dalam kendali kita sebagai manusia. Maka, kita coba lihat dari apa yang sebenarnya ada pengaruh dari aktivitas manusiawinya. Baik aktivitas yang memperparah krisis iklim secara khusus, maupun sebabkan kerusakan lingkungan lainnya. Termasuk banjir atau bâ’â talèbât rajâ alias tagher alowa ka bâsabâ , ka maroma tor ka dhângkandhâng.
Menurut saya, luapan air di sekitar Jembatan Semar itu tidak terjadi karena aliran sungai tersumbat oleh sampah. Tidak. Akan tetapi karena sungai alami penyempitan.
Lebih jauh, sungai di Ragang dan sekitarnya semakin sempit disebabkan oleh adanya aktivitas ladhuan (tanah di pinggir sengaja dilongsorkan pakai landu’ (cangkul). Pekerjaannya disebut aladhu-makujur) saat kemarau. Tujuannya, untuk memperluas lahan pertanian tembakau. Aktivitas itu biasanya dilakukan oleh petani yang punya tanah dekat sungai.
Kita bisa coba sedikit melihat ke belakang. Beberapa bulan lalu, Ragang dan sekitarnya hadapi musim kemarau. Dan kemarau, jadi musim paling membahagiakan, sebab bisa tanam tembakau dan rupiah sangat bisa diharapkan. Itupun kalau musim normal, harga jos, dan tidak ditipu para tengkulak yang tak jarang tetangga bahkan saudara sendiri.
Dan, saya dengar, panen -harga tembakau kemarin lalu, lancar – harganya lumayan menghasilkan banyak rupiah.
Sungai di Ragang dan sekitarnya, adalah sungai hujan -musiman-. Saya katakan sungai hujan ya, karena kalau musim kemarau, sungai itu kering kerontang.
Coba lihat tanah sekitar bantaran sungai di Desa Ragang dan sekitarnya (Montorna, Bajur, Sana Laok, Sana Tengah) saat musim tanam tembakau. Nyaris tiap tahun èladhu (dilongsorkan). Dan kebetulan, saya musim kemarau kemarin, sempat main-main ke kampung halaman. Saya masih melihat aktivitas ladhuân itu.
Mungkin, bagi petani yang melakukan aktivitas ladhuân itu, tak pernah terlintas dalam pikirannya, atau sengaja abai, bahwa tanahnya akan terbawa arus saat musim hujan datang.
Saya tak mau klaim apakah aktivitas ladhuân itu legal dan ilegal secara hukum. Sebab sungai di Ragang dan sekitarnya memang tidak ada yang urus. Apalagi diurus pemerintah desanya. Tidak.
Paling mentok, pemerintah desa urus aliran air – bagian lok sellokan di daratan. Itupun diurus hanya untuk kepentingan proyek slèngsèngan yang dalam hitungan hari sudah kujur asalsalan. Atau usianya paling mentok hanya bertahan maksimal 2-3 bulan saja. Setelah itu, kujur ta’ temmo bentuknya.
Sehingga, karena tidak ada yang menegur untuk kelestarian sungai dan dan keselamatan lingkungan, maka petani yang punya tanah di bantaran sungai itu seenaknya lakuan ladhuân.
Akibat dari ladhuân itu, sungai semakin menyempit. Tak berhenti disitu. Tanah yang sengaja dilongsorkan (èladhu) itu akan terbawa air saat musim hujan.
Kemudian, tanah yang di bantaran sungai itu akan terdampak abrasi dan akan tergerus terus menerus saat musim hujan setiap tahunnya.
Saya tidak mau salah-benarkan tindakan /aktivitas ladhuân itu. Tapi yang jelas, aktivitas ladhuân itu jadi salah satu pemicu luapan air sungai setiap tahun. Ini perlu dipikirkan dengan baik.
Perlu dicatat, ladhuân tidak hanya terjadi di sekitar Jembatan Semar. Tapi di hulu (olona songai) juga terjadi yang, dalam prediksi saya ada di sekitar Desa Montorna, Bajur, dan Ragang di bagian timur. Sementara di bagian selatan, hulunya ada di Desa Bajur bagian selatan.
Apa yang saya alami 10 tahun lalu, ternyata juga disaksikan-alami oleh adik-adik saya yang mungkin 10 tahun lalu belum lahir. Dan saya membayangkan, bagaimana kondisi sungai di sekitar Jembatan Semar Ragang 5-10 tahun kedepan? Jika aktivitas ladhuân masih dianggap lumrah oleh pemilik tanah sekitar bantaran sungai, sebab tidak ada teguran dari pihak tertentu.
Dulu waktu saya kecil, bantaran sungai di Ragang dan sekitarnya, masih rimbun rumput ilalang dan semak belukar lengkap dengan pohon-pohon menjulang. Pepohonan menjulang-besar itu, antara lain; Bidara (Bukkol), bambu (perrèng), jambu air (kalampok) nyamplong, petai cina (randing/mlandingan), kersen, dan lainnya.
Saya berharap, kita-pemuda (Ragang dan sekitarnya) yang baca tulisan ini, untuk sama-sama lakukan upaya penyadartahuan kepada para orangtua -saudara kita yang bertani dan punya tanah di sekitar bantaran sungai, agar tidak lakukan aktivitas ladhuân (ta’ aladhu tanana) ketika musim kemarau.
Ya, upaya edukasi itu tak mesti print tulisan ini lalu disodorkan. Tidak juga dengan dakwah warkowar di tengah sawah dengan nyanyi lagu buruh tani. Atau awat towat ngala’ saojânga. Bukan.
Semisal cakanca sudah baca dan mengerti apa yang saya maksud –bahasan tentang ladhuân ini- ya, bisa kan, diselipkan saat ngèngdhungèngan mon teppa’na lomkoloman èampèr atau èkotoko. Edukasi kepada masyarakat, tak perlu kumpulkan lalu bilang, ya ayyuhanaaasss, sè andi’ tana èpèngghir songai, tanana jhâ’ ladhu, ma’ lè songaia ta’ sajân copè’. Tidak begitu juga konsepnya.
Semoga siapapun yang punya kepedulian dengan keselamatan lingkungan di Ragang dan sekitarnya, terketuk untuk bersama-sama lakukan upaya yang serius pulihkan sungai Ragang dan sekitarnya.
Tidak ada alasan yang lebih tepat untuk upaya itu selain untuk keselamatan lingkungan dan nasib anak cucu kita. Khusus cakanca di Ragang (Tanjung, Èmperes-Karang, Bâtes) atau cakanca yang di Bâjur tèmur, Montorna juga mari bersama-sama urun pikiran-rembuk bagaimana nasib lingkungan di sekitar kita.
Masa iya, mau ke Pakong –balik dari arah Pakong saat musim hujan ghi’ usa alènglèng ke Waru dulu,? Yâ, jhâu bhuk-kak. Masa iya, mau ke Mekkasan, kudu lewat ke Turbhukân? Yâ agu’leggu’ jhâlana, bhuk-kak.
Semisal sempat baca tulisan ini hendak saat buka puasa, maju nyarè malem-bhukaan sènyaman. Salèn leèmburâ ka tobunga. Kocek kacanga, sèksèk tèmonna, salèn kângan otok-tarya’-maronghina. Pas kobbhit cakalan bân tahuna. Pas nyatorè abhuka pasaè.
Nyaman ongghu rassana abayangahi abhuka khas Ragang dan sekitarnya. (lèmbur nagka, karaè- nasè’ jhâghung- ghângan otok – maronggi- jhuko’ cakalan -tahu kacang tèmon). Seddhâ’ kobâssa ongghu.
Kalau sempat baca ini habis tarawih, yâ pas ngèrèng adârus pa ma’ lemma’ (khusu’) ngajhina, bhuk-kak.
Oh iya, saya dengar hari ini, Minggu 24 Maret 2024 sedang ada haul di Ponpes Semar Ragang. Mari bertawasul, dengan Al-fatihah, semoga para masyaikh -guru-orangtua kita- pendahulu (almarhum-almarhuma) Ponpes Semar tèra’ kobhur.
Dan, keluarga dhâlem Semar sehat walafiat sehingga terus jadi penuntun akhlak kita semua, masyarakat Ragang dan sekitarnya. Tentu, kita semua para santri-santrinya diberikan kemampuan untuk terus membersamai perjuangan blio-blio.
Eh, masyarakat –dari arah-di timur Jembatan itu yang mau hadir ke haul Semar, lewat mana? Kan banjir? Apa nyènglat ke Sana Laok, Bajur, atau Ngabbhér?
Mandhâr padâ salamet tor lancar tanèna para orang tua, satarètanan, sabhâlâân, tor satatangghâ’ân kabbhi yang di Ragang dan sekitarnya.
Penulis akrab disapa dulghâpur. Asli na’potona rèng tanè, Bâtes Tèmor, Raghâng.