Penulis: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.*
Meraih haji mabrur tidak mudah. Ada banyak tahapan yang harus ditempuh. Lalu, bagaimana cara agar haji kita tergolong “haji mabrur”?
Di pertengahan bulan Dzulhijjah, jamaah haji reguler gelombang pertama secara bertahap mulai meninggalkan kota Mekah menuju tanah air dan dilanjutkan ke tempat tinggalnya masing-masing, setelah ±40 hari (pergi-pulang) mereka melakukan safar guna melaksanakan ibadah haji dan umrah serta ibadah sunnah lainnya. Mereka pulang lebih awal, karena memang berangkat lebih awal. Dari Indonesia, mereka langsung menuju Madinah untuk berziarah ke makan Nabi Muhammad, Sang pencerah dari kegelapan dan pemilik syafaat `udzmā. Setelah sekitar 8-9 hari di Madinah, mereka lanjut ke Mekah hingga selesainya ibadah haji.
Bersamaan dengan jamaah haji reguler, mulai berdatangan pula jamaah ONH Plus, jamaah Furoda, dan jamaah haji lainnya. Sedangkan jamaah regular gelombang kedua, mereka–pasca haji–masih tinggal di Mekah untuk melanjutkan ibadah-ibadah sunnah, lalu menuju Madinah. Dan dari Madinah mereka akan kembali ke tanah air dan ke daerahnya masing-masing.
Karena itu, melalui tulisan ini, saya mengucapkan “Selamat kepada jamaah yang telah melaksanakan ibadah haji, selamat datang para tamu Allah (Dhuyūfur Rahmān), semoga menjadi haji mabrur”. Haji mabrur adalah haji yang diterima dan diridhai Allah yang balasannya surga, sebagaimana sabda Nabi “al-Hajjul mabrūr laisa lahū jazā-un illal jannatu” (Haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga). Apa tanda seseorang mendapat haji mabrur? Secara umum, pasca haji, ia menjadi muslim yang lebih baik dari sebelumnya, baik secara individual maupun social, secara vertikal maupun horizontal.
Suatu ketika, Sahabat bertanya kepada Nabi tentang tanda-tanda haji mabrur, Nabi menjawab “Ith`āmut tha`ām wa thībul kalām” (memberi makan dan bertutur kata yang baik). Dalam riwayat lain “Ith`āmut tha`ām wa ifsyā’us salām” (memberi makan dan menebarkan kedamaian). Dari hadits ini, Nabi memberikan penekanan akan pentingnya dampak social sebagai pertanda haji mabrur, yakni (1) menjaga lisan, (2) menebarkan kedamaian, dan (3) membantu kaum du`afa.
Tantangan Haji Mabrur
Untuk meraih haji mabrur tidak mudah. Menurut ulama, biaya hajinya harus dari harta yang halal; rukun dan wajib hajinya harus dilakukan dengan benar; dijalankan dengan ketaatan dan tidak riya’; serta menjaga perbuatan, lisan dan hati selama melaksanakan haji. Firman Allah dalam surah al-Baqarah 197 “Fa man faradha fīhinnal hajja fa lā rafatza wa lā fusūqa wa lā jidāla fil hajj” (Barang siapa menetapkan niatnya di bulan itu untuk melakukan haji, maka janganlah berbuat rafatz, fusūq, dan jidāl).
Nabi menguatkan ayat tersebut dengan bersabda “Man hajja fa lam yarfutz wa lam yafsuq raja`a min dzunūbihī ka yaumi waladadhu ummuhū” (Barang siapa berhaji, lalu tidak melakukan rafatz dan fusuq, maka ia kembali [suci] seperti hari dilahirkan ibunya). Menurut Ibn Abbas ra, yang dimaksud rafatz adalah berhubungan seksual, fusūq adalah berbuat maksiat/mencaci, dan jidāl adalah berbantah-bantahan sampai lawan bicaranya marah.
Kapan pelaksanaan haji? yakni sekitar lima hari, mulai tanggal 9 sampai 13 Dzulhijjah. Diawali dengan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), mabit di Muzdalifah (10 Dzulhijjah), melempar jumrah aqabah (10 Dzulhijjah) lalu tahallul, mabit di Mina dan melempar 3 jumrah di hari tasyrik (11 dan 12/13 Dzulhijjah), lalu menuju baitullah untuk tawaf ifadhah dan sai. Jika di masa-masa tersebut, jamaah haji mampu melakukan ritual haji sesuai ketentuan, lillāhi ta`ālā, dan dengan meninggalkan rafatz, fusūq, dan jidāl, insyaAllah haji mabrur akan diraih.
Tapi, justru di waktu-waktu pelaksanaan haji yang singkat itu, jamaah haji menghadapi tantangan/ujian yang tidak ringan, yang dapat menghambat capaian haji mabrur. Ujian dimulai saat jamaah berada di Arafah. Kadang mendapatkan fasilitas kurang memadai (tenda sempit, AC terlalu dingin atau kepanasan karena AC mati, menu makan tidak sesuai selera, dan antrean panjang ke toilet). Ujian berikutnya saat antre bus dari Arafah ke Muzdalifah yang seringkali berjam-jam; lalu mabit (bermalam) di Muzdalifah, di alam terbuka yang mungkin kedinginan.
Ujian berikutnya saat antre bus dari Muzdalifah ke Mina yang seringkali berjam-jam bahkan sampai menjelang siang; lalu mabit di Mina yang kadang kebagian tenda sempit berdesakan sehingga tidur di lorong-lorong tenda, suasana panas karena AC tak merata atau bahkan AC nya mati, antre makan, dan panjangnya antre toilet. Ujian berikutnya saat perjalanan ke jamarat untuk melempar jumrah yang mencapai 6-10 km (pergi-pulang) dengan jalan kaki; lalu saat melempar jumrah di tengah padatnya jamaah; dan saat tawaf-sai yang kadang sampai 3-5 jam.
Semua tahapan haji tersebut membuka peluang jamaah tidak bisa bersabar, saling adu mulut, marah-marah, mengambil hak orang lain, dan menyakiti jamaah lainnya. Juga, sulitnya menghindar bercampurnya jamaah laki-perempuan bukan mahram, berpotensi menimbulkan nafsu syahwat dan berpikir cabul. Semua itu bisa menghambat capaian haji mabrur.
Namun, jika semua tahapan haji yang menguras tenaga tersebut dijalani dengan penuh kesabaran, menjaga lisan, pandangan, dan hati, serta semata-mata mengharap ridha Allah, insyaAllah haji mabrur akan diraih. Wa mā taufīqī illā billāh.
*Penulis merupakan Guru Besar IAIN Madura.