Ibarat baju, label jurnalis tak boleh dipakai sembarangan. Harus dipastikan layak dan upaya tidak terkena jipratan kotoran apalagi najis saat memakainya.
Penulis: Abd Gafur *
Berapa waktu lalu saat pulang kampung, saya ditanya “berapa kades yang sudah dipalak? Adakah yang sudah jadi langganan?” oleh salah satu kawan.
Pertanyaan serupa juga pernah saya terima di tahun-tahun sebelumnya kala awal-awal jadi jurnalis. Kala itu, saya datang ke sebuah tempat yang dulu aku pernah hidup dalam waktu yang amat lama.
Mendengar pertanyaan itu, saya merasa tertampar dan terperangah kaget sembari menelan ludah sekaligus mengunyah pertanyaan itu dengan pelan tapi pasti untuk kemudian menghasilkan jawaban yang pas.
“Perasaan, jurnalis itu sudah diikat oleh Kode Etik Jurnalistik. Ia sudah mengatur agar junalis tak boleh tekan narasumber apalagi memalak: minta uang, proyek atau apap un bentuk selain informasi untuk kepentingan pemberitaan.” Kalimat itu berjalan di pikiran
Sebagai bentuk pelurusan, saya hanya menjawab dengan “Jurnalis itu bertugas mencari, mengemas, dan menyampaikan informasi. Datang atau telepon ke narasumber, siapa pun dan apa pun jabatannya, hanya untuk verifikasi. Tak boleh menekan narsum untuk jawab pertanyaan yang diajukan, apalagi minta uang. Jika ada jurnalis yang lakukan itu, sejak itu pula, dia sudah mengotori baju kejurnalisannya…,” Bicara terhenti untuk minum kopi sejenak.
“Tapi, kenapa kamu ajukan pertanyaan itu?” Saya coba masuk ke dalam pikiran kawan itu.
Dia menjawab panjang lebar yang, intinya dia menyebut ada kasus yang jerat seorang jurnalis peras kades. “Banyak kok berita tentang itu di media massa dan media sosial.”
“Oh ya?” Saya meresponnya dengan wajah kaget.
Pisau skeptis saya seketika berfungsi. Saya coba berselancar di mesin pencarian karena belum percaya bahwa orang yang dia sebut jurnalis sudah memenuhi kriteria profesionalisme menyandang profesi itu.
Kabar dari kawan itu benar. Saya menemukan berita tentang seorang yang katanya itu jurnalis media online diringkus Tim Opsnal Satreskrim Polres Pamekasan, Rabu (31/1/2025). Ia ditangkap di sebuah kafe karena diduga memeras salah satu kepala desa di Pamekasan.
Usai membaca informasinya, saya pun memaklumi pertanyaan yang diajukan kawan itu. Lalu saya bilang “Oh… itu sandaran pertanyaanmu. Tapi bro, profesi apa pun, khususnya yang di sana ada urusannya untuk publik, pasti ada kode etik dan atau seperangkat aturan terkait. Bila itu dijalankan dengan baik, akan menyelamatkan.Bila dilanggar, jelas mencelakai dan membuat orang itu hina sejak dalam pikirannya.” Obrolan usai. Lanjut ngopi dan makan-makan.
Di Indonesia, ada serikat jurnalis yang berdiri 7 Agustus 1994. Namanya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dan pada 2023 lalu, saya resmi dan bersyukur bisa diterima jadi bagiannya melalui AJI Kota Jember.
Menjadi anggota AJI, tak lantas membuat saya sembarangan membawa atribut ke-AJI-an. Sebab bagi saya, menjadi makhluk bernama jurnalis yang bergabung AJI adalah anugerah sekaligus kudu memikul beban moral yang beratnya tak bisa diukur kuintal bahkan ton.
Bahkan, AJI tak hanya mengikat anggotanya dengan kode etik saja, melainkan sampai pada kode perilaku setiap anggotanya.
Terlepas mau bergabung atau tidak pada organisasi jurnalis apa pun mereknya, jurnalis memang sepatutnya harus menerapkan profesionalisme dalam kerja-kerja jurnalistiknya.
Profesionalisme versi AJI, bila ibarat kelapa, santannya adalah pentingnya penerapan kode etik, peningkatan kompetensi, dan penolakan segala bentuk suap atau gratifikasi.
Bila membedah Kode Etik AJI, ada 20 poin yang harus jadi pegangan jurnalis. Dari jurnalis wajib hormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, selalu menguji informasi dan hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya, tidak mencampuradukkan fakta dan opini, menolak segala bentuk suap hingga, tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi dan seterusnya.
Kembali pada pembahasan di atas, seorang (-yang katanya) jurnalis di Pamekasan yang memeras kades. Saya pikir, siapa pun, di mana pun, apa pun medianya, mau bergabung atau tidak pada organisasi atau serikat jurnalis, wajib mengoreksi dulu baju kejurnalisannya yang dipakai.
Sebelum memakainya, pastikan baju itu bisa dipakai dengan layak. Ibarat baju, label jurnalis tak bisa dipakai sembarangan. Setiap orang yang hendak memakainya, harus pastikan memang layak. Pun dari ukurannya, pas tidaknya. Katakannlah baju itu berupa kemeja. Kalau dirasa belum layak memakainya, ya, sebaiknya jangan dipaksakan.
Kasus yang terjadi di Pamekasan, bisa saja terjadi di daerah lain. Karena itu, hal tersebut harusnya jadi alarm. Artinya, semisal ukurannya sudah pas, saat memakainya (-lakukan kerja-kerja jurnalistik) pastikan tidak terkena jipratan kotoran apalagi najis (-tendensi pada narasumber, terima suap bahkan memeras yang membuat baju itu tak enak dipadang. Apalagi, baju itu sampai bau tak sedap-memanfaatkan posisi dan informasi yang dimiliki untuk kepentingan pribadi).
Karena itu, sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovac dan Tom Rosenstiel, Kode Etik Jurnalistik Umum, berikut nilai-nilai ke-AJI-an (utamanya tentang profesionalisme menjalakan kerja-kerja jurnalistik) serta Kode Etik AJI bisa menjadi deterjen atau bahan pembersih terlebih dahulu bagi siapa pun yang ingin menjadi jurnalis.
Saya pikir, siapa pun (-yang benar-benar mau disebut jurnalis) atau yang terlanjur memakai baju jurnalis (-tapi sudah kotor), wajib memakai semua deterjen di atas untuk mencucinya. Baik anggota organisasi jurnalis, bahkan dia yang belum berserikat sekalipun.
Bergabung ke organisasi jurnalis, itu pilihan. Tak ada paksaan. Namun saya jatuh hati pada AJI. Sebab, di AJI saya merasa menemukan kompas yang tepat dalam menjalani profesi ini. Saya meyakini, sudah berada di jalur shiratal mustaqim untuk urusan jurnalisme dengan berpegangan pada pilar-pilar yang diajarkan oleh organisasi profesi jurnalis yang lahirnya ditandai dengan Deklarasi Sirnagalih ini.
Ilustrasi: Mencuci baju kotor jurnalis. (Indoklik by Canva)

Editor : Abd Gafur