OPINI  

Mencermati Kehebohan Gelar Profesor

Tampaknya, “gelar” sebagai profesor disukai juga di kalangan nonakademik. Padahal profesor bukan gelar akademik. Mungkin sebaiknya jabatan akademik tertinggi ini tidak disebut profesor/guru besar, tapi sebutannya mirip dengan jabatan di bawahnya.

Pada 29 Juli 2024, IAIN Madura kembali mengukuhkan dua profesor dalam bidang Sosiologi Islam (Prof. Nor Hasan, M.Ag) dan bidang Manajemen Pendidikan Islam (Prof. Mohammad Toha, M.Pd.I).

Dengan bertambahnya dua profesor ini, kini lembaga yang sedang dalam proses menuju UIN ini memiliki 14 profesor dalam sejumlah bidang keilmuan. Tentu saja tidak akan berhenti di angka 14, profesor-profesor baru akan terus lahir di lembaga ini, karena profesor merupakan hak bahkan cita-cita setiap dosen.

Namun, pengukuhan profesor kali ini menjadi “terganggu” dengan ramainya sorotan publik terhadap keberadaan profesor, terutama setelah Mendikbud mencabut 11 jabatan profesor di salah satu perguruan tinggi negeri, karena ditemukan penyimpangan saat proses usulan profesor, yang menurut informasi, artikel yang mereka usulkan, terbit di Jurnal Ilmiah Bereputasi (JIB) discontinued (tidak diakui).

Di beberapa perguruan tinggi lain, sejumlah profesor juga sedang dilaporkan karena kasus karya ilmiah yang diterbitkan di JIB. Memang, artikel yang terbit di JIB menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi calon profesor. JIB dimaknai sebagai jurnal internasional yang terindeks pada database internasional bereputasi, yang diakui oleh Ditjen Dikti Kemdikbudristek, yakni terindeks oleh Scopus atau Web of Science (WoS).

Ramainya sorotan publik terhadap kasus di atas dan kasus-kasus sejenis, bisa dimaknai bahwa publik masih banyak berharap kepada profesor atau guru besar sebagai ilmuwan yang ahli bahkan menjadi rujukan di bidangnya, sehingga tidak mudah mengeluarkan SK profesor apalagi dengan jalan tidak prosedural, karena akan menjatuhkan marwah profesor yang terlanjur dipercaya publik.

Sebenar­nya, regulasi untuk menjadi profesor sangat sulit. Bahkan saking sulitnya ada candaan di kalangan dosen “lebih mudah masuk surga daripada meraih profesor”. Sulitnya di mana? Penilaian terhadap berkas usulan profesor dilakukan secara bertingkat dan sangat ketat, mulai tim penilai di tingkat fakultas dan universitas, di senat akademik perguruan tinggi, lalu di tim penilai akhir di tingkat pusat.

Jika reviewers konsisten dengan aturan yang berlaku, rasanya sulit lolos jika ada satu berkas pun yang tidak memenuhi syarat, terutama dalam aspek pemenuhan artikel yang harus dimuat di JIB. Artikel yang dimuat harus selaras dengan bidang keahlian, lolos plagiarism checker minimal, dan harus menunjukkan riwayat korespondensi dengan pengelola JIB. Misalnya, jika suatu artikel ujug-ujug dimuat di JIB tanpa melalui korespondensi, akan ditolak tim penilai. Karena itu, dalam kasus lolosnya 11 profesor yang kemudian dicabut karena ada penyimpangan, tidak bisa sepenuhnya kesalahan mereka, bisa jadi kesalahan berjemaah.

Perlu dimaklumi, profesor merupakan jabatan akademik (bukan gelar akademik) tertinggi yang diraih dosen tetap pada suatu perguruan tinggi, setelah melewati jenjang jabatan akademik di bawahnya, mulai asisten ahli, lektor, lektor kepala, lalu profesor.

Dengan syarat-syarat tertentu, jenjang jabatan tersebut dapat dilakukan secara loncat. Misalnya, dari asisten ahli langsung ke lektor kepala, dari lektor langsung ke profesor. Maka, sebagai salah satu jabatan akademik dosen, jabatan profesor bersifat terbuka yang menjadi hak bahkan cita-cita setiap dosen, yang tentu saja setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Lalu, apa tugas seorang profesor? Sebagai bagian dari jabatan akademik dosen, profesor adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Sebagai salah satu bukti pelaksanaan tugas tersebut, seorang profesor—dalam setiap tiga tahun—harus meng­hasilkan dan mempublikasikan minimal satu buku ajar/referensi dan satu karya tulis yang dimuat di JIB. Dengan ketentuan ini, profesor merupakan jabatan akademik yang susah didapat dan susah dipertahankan, lebih-lebih karena di pundak profesor ada dua tanggungjawab, moral dan akademik.

Selain profesor yang dimaksud di atas, ada pula istilah profesor emeritus, yakni profesor yang sudah pensiun (telah berusia 70 tahun) namun masih ditugaskan kembali oleh suatu perguruan tinggi (maksimal 5 tahun), karena peran dan kepakaran di bidangnya. Karena sudah melalui proses yang ketat untuk menjadi profesor sebelumnya, maka pengangkatan sebagai profesor emeritus tidak dibutuhkan persyaratan seperti calon profesor.

Selain itu, ada pula profesor kehormatan. Dasarnya adalah Permen­dikbudristek No. 38 Tahun 2021, yang dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan “Profesor kehormatan adalah jabatan akademik profesor pada perguruan tinggi yang diberikan sebagai penghargaan kepada setiap orang dari kalangan nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa”.

Jadi, berbeda dengan profesor sebelumnya yang harus berasal dari kalangan akademik, profesor kehormatan justru berasal dari kalangan nonakademik. Profesor jenis ini bisa diberikan kepada yang bukan lulusan doctor, yang penting memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa, yang dianggap setara dengan jenjang 9 pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Tampaknya, “gelar” sebagai profesor disukai juga di kalangan nonakademik, sehingga harus dibuat regulasi untuk memperolehnya. Padahal profesor bukan gelar akademik, me­lain­kan jabatan akademik yang diperoleh secara berjenjang setelah melewati jenjang jabatan akademik di bawahnya.

Mungkin sebaiknya jabatan akademik tertinggi ini tidak disebut profesor/guru besar, tapi sebutannya mirip dengan jabatan di bawahnya. Misalnya, setelah lektor kepala disebut kepala lektor, sehingga tidak akan menarik bagi kalangan nonakademik.

Tentu saja, karena standarnya tidak begitu jelas, pemberian profesor kehormatan ini ditolak banyak kalangan akademisi, karena berpotensi tidak selektif dan bersifat subjektif dalam memilih dan menetapkan seseorang menjadi profesor kehormatan. Wallāhu a`lam.

Ilustrasi: Tangga profesor. (Desain Gafur by Canva)

*Penulis merupakan Guru Besar IAIN Madura.

Tulisan ini merupakan republikasi karya penulis di website resmi IAIN Madura.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *