Penulis: Gafur Abdullah*
Sesungguhnya masjid yang “asyik” dan “toleran” itu, ialah masjid yang sedia sarung. Tapi dua kata itu tidak saya temukan ketika hendak salat asar di Masjid Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Senin, 24 Juni 2024 lalu.
Saya gagal salat asar di Masjid Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Senin, 24 Juni 2024 lalu. Kejadian itu bermula dari sekira pukul lima lewat sekian menit sore itu.
Kala itu, saya niat salat asar di masjidnya kampus dengan visi “Menjadi Perguruan Tinggi Islam Terkemuka di Asia Tenggara pada Tahun 2045 dengan Kedalaman Ilmu Berbasis Kearifan Lokal untuk Kemanusiaan dan Peradaban” tersebut.
Saya masuk melalui pintu gerbang sisi barat. Di depan bagian luar dan samping masjid itu, beberapa orang berlalu lalang. Ada yang bermotor, ada yang jalan kaki.
Rumah ibadah bernama Masjid Sunan Ampel itu tampak lengang. Kaki saya melangkah tergesa-gesa ke tempat wudhu di sisi selatan.
Sejurus kemudian, mengingat kuota asar sudah menipis, saya segera masuk masjid dan menuju sebuah etalase di bagian belakang. Niat saya untuk memakai sarung yang, barangkali disediakan, seperti masjid-masjid pada umumnya. Maklum, saat itu saya hanya berkaos dan bercelana pendek.
Kaki saya terhenti sekitar satu meter dari etalase. Mata saya menyisir etalase itu dari atas ke bawah. Berulangkali.
“Waduh, kok, gak ada sarungnya,” gumam saya. Sepersekian detik, saya mengernyitkan dahi seraya memfokuskan pandangan khawatir penglihatan saya terganggu. Semakin dekat, lensa mata saya tetap tidak menangkap keberadaan sarung. Hanya menemukan beberapa mushaf quran di kotak paling atas.
Tak patah arang, saya coba balik kanan dan menuju ke etalase terbuat dari kaca di bagian depan pojok kanan. Di sana terdapat tiga buah etalase. Dua etalase berisi trofi. Barangkali, puluhan trofi-trofi itu simbol prestasi sejumlah mahasiswa atau UKM yang ada hubungannya dengan kegiatan islami. Satu lagi kosong.
“Assholatu wassalamu ‘alaika, yaa imaamal mujaahidiina ya Rasulallah…” Selawat tarhim itu terdengar dari toa masjid-masjid dan mushala lain di sekitar.
“Gimana salat Asar saya ini? Jangan-jangan keburu magrib,” Saya mulai panik.
Saya tak kunjung temukan sarung untuk melangsungkan salat. Tak habis ide, saya pun inisiatif bertanya ke takmir masjid –barangkali lebih tepatnya mahasiswa yang jadi relawan atau marbot masjid.
Saya pikir, masjid kampus pasti ada mahasiswa yang rela mengabdi -atau sekadar ikut UKM keagamaan Islam di kampus itu, ya, hitung-hitung agar bisa tinggal gratis di kantor UKM itu. Atau, ya, jadi muadzin masjid kampus.
Saya coba keluar dari pintu sisi utara bagian depan dan menoleh ke barat, belakang masjid. Di sana, saya melihat sejumlah kamar berjejer. Satu kamar pintunya terbuka.
“Yessss, saya jadi salat asar di sini,” melihat ada satu orang di dekat pintu, saya merasa menemukan petunjuk untuk dapat sarung.
“Mas, ada sarung di masjid ini? Untuk salat.” Sembari tersenyum, saya sapa satu orang yang sedang rebahan di kamar itu. Saya tidak tahu, apakah dia marbot masjid UIN KHAS Jember atau bukan. Tapi dia ada di kamar itu, ya, saya pikir, dia salah satunya.
“Gak ada, Mas.” Sahut pemuda itu sembari menggeleng dan menatap saya sekilas lalu menunduk ke layar ponselnya.
Saya semakin panik dan bergumam “Waduh, bagaimana bisa salat, kalau tidak ada sarung.”
Selawat tarhim ciptaan Syeikh Mahmud Khalil Al-Hussary terus berkumandang dari toa dari segala penjuru seraya sahut-sahutan satu sama lain.
Kepanikan itu berlangsung sekira kurang dari lima menit.
“Barangkali di masjid sebelah ada sarungnya” Khawatir tidak bisa nutut waktu salat, saya pun bergegas keluar dan menuju masjid di sekitar UIN KHAS Jember.
Alhamdulillah, saya pun menemukan masjid plus sarung dan banyak pilihannya. Rasa syukur pun terus membersamai detak jantung. Akhirnya, saya pun bisa asaran (salat asar) di masjid bernama Darul Muttaqin itu yang posisinya di barat daya UIN KHAS Jember.
Cerita di atas, tidak bermaksud menjelek-jelekan nama baik UIN KHAS Jember. Tidak. Saya menulis ini untuk sekadar berbagi pengalaman panik dan dan mengabadikan keheranan. “Kok bisa, ya, kampus sebebesar UIN KHAS Jember, tidak sediakan sarung di masjidnya?”
Saya bukan muslim jalur NU garis keras, yang sebagian jemaahnya berpikir, salat harus bersarung lengkap peci atau bersorban sekalian. Bukan. Tapi bagaimana saya bisa salat tanpa sarung, sementara waktu itu saya dalam perjalanan dan dalam kondisi bercelana pendek.
Boleh dibilang, saya ini muslim jalur NU garis lucu, yang jauh dari kata kaffah dalam ketaatan; dalam konteks salat, ya, berpakaian seadanya. Penting berpakaian suci dan memenuhi kriteria menutup aurat ketika salat.
Dari kejadian itu, saya bisa dapat pelajaran: Pertama, sebagai seorang muslim, memang ada baiknya bercelana dengan kondisi suci dan dibawah lutut ketika bepergian. Atau, bila suka bercelana pendek, baiknya sedia sarung di dalam tas. Agar tidak alami kepanikan serupa.
Sehari dari kejadian itu, saya pun membawa sarung sendiri untuk salat lagi di masjid UIN KHAS Jember. Upaya ini, barangkali juga jadi atensi bagi siapapun bila dalam kondisi serupa saya waktu itu, baiknya bawa sarung bila hendak salat di masjid tersebut.
Kedua, jadi tahu, ternyata kampus besar berlabel Islam seperti UIN KHAS Jember, tidak ada jaminan sedia sarung di masjidnya.
Menurut saya, sesungguhnya masjid yang asyik dan toleran itu, ialah masjid yang sedia sarung. Agar musafir macam saya, dan atau, mahasiswa-masyarakat kampus yang hendak salat -bila itu masjid kampus-tidak bernasib seperti saya; angel!
Bisa jadi, kan, meskipun bercelana panjang, tapi kondisinya sedang tidak suci. Sementara, mengenakan pakai suci dan menutup aurat (pakaian bawah menutup sampai bawah lutut, khusus muslim laki-laki) jadi salah satu syarat sahnya salat.
Masjid, baik masjid kampus maupun masjid umum, baiknya sedia sarung. Oleh sebab itu, ketiadaan sarung di masjid, bagi saya, merupakan satu bentuk kuranganya totalitas pengelola masjid/lembaga yang manaunginya. Atau, ya, memang tidak ada sisa kas masjid untuk beli sarung. Itu lain hal.
Selain itu, ketiadaan sarung di suatu masjid, akan membuat orang akan kesulitan untuk salat itu tidak sesuai prinsip dengan kewibawaan masjid dan lembaganya.
Dalam konteks ini, pertanyaannya, masa kampus sebesar UIN KHAS Jember tidak ada anggaran untuk sekadar beli sarung khusus masjid kampus? Bila itu realitasnya- tidak mungkin-, sungguh sesuatu yang tak bisa diterima akal sehat. Dalam kondisi itu, pikiran positif saya; barangkali UIN KHAS Jember belum sempat atau anggaran untuk sarung masjid masih dalam tahap pengajuan.
Dan perjuangan saya untuk bisa salat asar di UIN KHAS Jember kemarin, angel dan hampir sampai di sekitar pintu gerbang keputusasaan.
Atas dasar kesadaran dan kerendahan hati, saya berharap tidak ada orang luar-musafir atau masyarakat kampus bernasib seperti saya kala itu: yang hendak salat di masjid itu, tapi angel.
Kemudian daripada itu, sebagai rasa cinta kepada pihak yang memiliki kebijakan perihal pengelolaan masjid Sunan Ampel UIN KHAS Jember ini, saya mengusulkan untuk segera sedia sarung agar masjid ini jadi penolong bagi orang yang hendak salat, tapi terkendala pakaian.
Bagi Anda yang merasa punya kenalan, atau bahkan bagian dari UIN KHAS Jember, tolong sampaikan salam saya –tulisan ini- kepada pihak yang berwenang- perihal tidak adanya sarung di masjid kampus tersebut.
Oh iya, kabarnya, UIN KHAS Jember punya masjid baru. Namanya, Masjid Sunan Kalijaga. Katanya, posisinya dekat Ma’had Saifudin Zuhri kampus tersebut. Dan masjid itu sudah “Kira-kira masjid itu sedia sarung, nggak ya?”. Semoga.
Saya bukan mahasiswa UIN KHAS Jember. Tapi, sanad keilmuan saya, insyAllah tersambung ke kampus ini. Sebab saya pernah diajar lulusan kampus ini, di salah satu kampus di Madura.
Saya -dan yakin banyak orang Jember- bukan asli Jember yang bangga dengan keberadaan UIN KHAS Jember. Sebab, keberadaan kampus ini jadi bagian dari peradaban keilmuan di Jember-jadi tempat menimba ilmu bagi mereka yang haus ilmu. Atau sekadar jadi tempat dapat ijazah sarjana hingga dotoral. Termasuk, kebanggan itu, karena masjidnya dapat diakses umum.
Kebanggan itu akan lebih sempurna, bila fasilitas UIN KHAS Jember, dalam hal ini, karena masjidnya bisa akses umum, ya, sedia sarung. Tak perlu mahal dan bagus. Sarungnya harga murah atau secara kain seperti kain spanduk lalapan lele pinggir jalan; alias kasar di kulit- nggak papa. Atau sarung itu serupa model-model sarung THRan yang ala kadarnya. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
*Musafir yang pernah singgah di UIN KHAS Jember. Bisa disapa melalui instagram @dulghapur