OPINI Politik ULASAN

Membela Pandangan “Kala’ Pèssèna, Jhâ’ Pèlè Orènga” yang Biasa Ngalesser di Madura Saat Pilkada

Penulis: Aqil Husein Almanuri*

Uang politik menjadi entitas tawar menawar yang tidak boleh tidak harus dilakukan oleh sebagian besar elit, sebagai bagian prosesi kampanye.

Baru-baru ini, K. Hazmi Basyir (Pondok Pesantren Annuqayah Latee) Sumenep menuliskan kegusarannya di akun Facebook pribadinya pada sebuah narasi yang berkembang dan berkeliaran belakangan.

Bila dicermati lebih jeli, postingan beliau menyinggung narasi: “Kala’ Pèssèna, Jhâ’ Pèlè Orènga (Ambil uangnya, jangan pilih orangnya) yang Biasa Ngalesser di Madura saat pilkada. Agar lebih jelas, Abtina sertakan narasi asli beliau yang diposting pada 16 November 2024 pukul 13.27 WIB, di sini:

“Tagline jurus mabuk. Akhir2 ini kaum santri pendukung salah satu paslon punya tagline “ambil uangnya jgn pilih calonnya”. Saya penasaran bahwa orang yg mengerti agama bisa menyuarakan tagline seperti itu.

Money politics yg tak lain adalah risywah adalah dosa besar. Dan mengambil peran di dalamnya dengan berpegang pada tagline tersebut justru konon mengandung dosa ‘murokkab’: Pertama mengambil uang sogok – apapun sikap selanjutnya – tetap haram, dan kedua jika tujuannya menguras dana kampanye pihak lawan, itu bisa masuk kategori dzalim.

Kalau memang mau dakwah politik islami, tegakkan nilai2 islam secara utuh. Jika mau menolak MP tolaklah sepenuhnya. Jangan bersikap yang bernuansa hipokrit karena akan makin menjerumuskan masyarakat awam hanya demi kepentingan politik.

Kecuali jika baru sekarang yang mau menolak, karena sebelumnya sudah meraup banyak dari pemilu2 yang sudah lewat. Menyala, bung”.

Bisa ditebak, beliau merasa khawatir, sebab justru yang mengatakan narasi atau tagline demikian dari kalangan tokoh agama dan simpatisan yang berlatarbelakang santri. Abtina ngangguk, lalu geleng-geleng kepala.

Abtina ngangguk untuk mengafirmasi pendapat beliau terhadap keharaman secara mutlak hukum money politic, jelas tidak bisa ditawar. Tak ada upaya yang dapat membentur keharaman itu, bahkan jika pun kita menggunakan kaidah fikih, semisal;

الضرورة تبيح المحظورات (darurat menghalalkan yang dilarang), ini juga tidak boleh sembarangan. Kadar daruratnya harus jelas, bukan karena menerima uang sogok paslon untuk membeli rokok Surya 17, rujak buah, atau secangkir robusta di kafe pinggir kota. Gak bisa. Jadi, untuk hal ini Abtina setuju.

Tapi, membaca utuh postingan itu, Abtina lalu geleng-geleng. Ngangguk dan geleng-geleng di waktu bersamaan, bukankah itu sangat dilematis dan kontradiktif? Tapi tenang, Abtina punya alasan.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan bukan untuk menggurui, Kiai. Bukan juga untuk menyalahkan Ajunan. Sebab Abtina siapa? Jelas gak punya otoritas atas itu, apalagi berhadapan dengan Ajunan yang secara keilmuan berada jauh di atas abtina. Namun, izinkan Abtina menawarkan gagasan, semoga ini menjadi media tabarrukan.

Uang Politik Menjadi Entitas Tawar Menawar

Uang politik menjadi entitas tawar menawar yang tidak boleh tidak harus dilakukan oleh sebagian besar elit, sebagai bagian prosesi kampanye. Demokrasi kita mahal, setiap kepala minimal harus dihitung 50 ribu rupiah. 50 ribu tentu adalah nilai yang sangat murah dan hina untuk menggadaikan harga diri dalam satu periode ke depan. Namun, untuk Kabupaten termiskin ke-3 Jawa Timur, Sumenep, Ini masuk akal.

Selama masyarakat kita masih dalam kemiskinan, maka jangan harap kita dengan mudah bisa membabat mindset demikian. Edward Aspinal, Peneliti Australia menilai bahwa politik semacam ini biasanya ada di negara yang memiliki kesenjangan ekonomi dan kemiskinan yang tinggi. Dakwah Kiai untuk mengharamkan Politik Uang akan menjadi omong kosong jika dirinya tidak bisa menyelamatkan keadaan ini, lebih khusus kesenjangan dan kemiskinan. Dan ini fakta, Abtina bukan hanya sekadar menduga.

Meski narasi atau pandangan di atas dianggap sebagai pandangan yang apatis, bagi Abtina, itu mengandung perspektif yang lebih dalam dan realistis untuk memahami situasi politik kita saat ini, sebagaimana Abtina jelaskan sebelumnya. Narasi itu punya perspektif luas dan tidak bisa dipersempit dengan tuduhan dosa murakkab atau apapun itu.

Mengapa Narasi Itu Dipilih?

Abtina percaya tokoh agama yang mengatakan narasi itu bukan orang yang hanya berhenti di spekulasi tersebut. Dia juga punya upaya dan usaha untuk menghapus politik uang dengan bahasa lurus (menolak secara jelas). Hanya saja, fenomena ini sulit dihindari.

Dalam konteks kebahasaan, meski pada dasarnya Al-ashlu fi Al-amri lilwujub, namun perintah tidak melulu soal kewajiban, anjuran, dan ajakan. Ada beberapa teks yang bentuknya perintah, namun bukan sebagai perintah yang literal. Sebab, ada perintah yang menggunakan makna hakikat, ada yang tidak.

Dalam hal ini, amar yang digunakan bukan untuk intruksi agar dilakukan, melainkan lebih kepada upaya preventif terhadap sesuatu yang tidak etis dengan melakukan racikan komposisi bahasa.

Yang perlu diingat, narasi atau tagline tersebut tidak hanya berhenti di teks amar; ‘ambil uangnya’ saja, melainkan diikuti dengan kalimat nahi (larangan); ‘jangan coblos orangnya‘. Ini tidak bisa dipisah lalu dijustifikasi satu persatu, sebab keduanya berkaitan, agar bisa dimaknai secara utuh.

Kebolehan mengambil uang paslon, dalam tagline, diikuti larangan mencoblos paslon yang melakukan tindakan itu. Illat dari larangan mencoblos paslon bersangkutan adalah karena cacatnya (menggunakan politik uang). Berarti ini bisa dipahami, bahwa politik uang (dalam tagline itu) sebenarnya mengarah kepada “dilarang”. Dan ini hanya bisa dipahami dengan intuisi kebahasaan saja. Tak cukup hanya dengan pendekatan tekstual.

Narasi atau pernyataan seperti itu bisa kita pahami sebagai kritik atas kegagalan sistem politik sendiri. Jika kita punya pandangan yang lebih kompherensif, maka kita akan menemukan inti bahwa pernyataan itu bukan untuk amar munkar (menyuruh kemungkaran), melainkan lebih kepada kritik sosial, atau sebagai sindiran terhadap realitas yang terjadi.

Tak hanya gerakan masyarakat lokal Sumenep (seperti yang sedang ramai diperbincangkan) yang memunculkan tagline itu, sekaliber Ustad Abdus Somad saja, dengan narasi serupa, pernah menyerukan bahasa yang sama. Lantas, kita menuduh UAS menghalalkan politik uang?  Ya nggak bisa.

Ambil uang jangan pilih orangnya juga sebagai sanksi sosial terhadap elit yang melakukan hal tersebut. Gunanya untuk memberikan efek jera, atau setidaknya memiliki kegamangan ketika akan melakukan tindakan money politic.

Jadi, Abtina rasa siapapun kurang bijak bila terburu-buru memberikan justifikasi ‘Dosa’ sebelum melakukan penelitian makna atas narasi yang sedang berkembang,. Terpenting, perlu kiranya juga untuk melihat realitas politik dan segala dinamikanya.

Harusnya, semestinya, dan seyogianya, kritik lebih dahulu dilemparkan pada ‘Tokoh Masyarakat’ yang memperoleh keuntungan dari politik uang itu, sebab ini inti masalahnya. Bukannya memandang sinis narasi yang sejatinya sebagai upaya preventif.

Pangapora, manabi respon melalui tulisan ini dirasa cangkolang. Selebihnya, besar harapan, Pilkada di Madura bisa berjalan lancar dan masyarakat dapat menentukan pilihannya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.Termasuk tidak tergoda calon pemimpin yang andalkan uang –tak jelas dari mana, dan mungkin saja ngutang sang tasangsang– untuk membeli suara masyarakat yang mahal itu.

Tapi, masih adakah calon pemimpin yang bertarung di Pemilu-Pilkada tak waswiswus dengan urusan itu? Nemmu? Dimma? Malarat!

Ilustrasi: Membela Pandangan “Kala’ Pessèna, Jhâ’ Pèlè Orènga” yang Biasa Ngalesser di Madura Saat Pilkada. (Indoklik-Gafur)

*Santri kampung yang tak bosan ngaji. Tinggal di Sumenep.

Anda mungkin juga suka...