Sabtu (25/1/2025) malam, Yayasan Studi Arsip Sudut Kalisat atau lebih dikenal dengan Komunitas Sudut Kalisat membedah tradisi rokat yang biasa dilakukan di Kabupaten Jember. Kegiatan ini dikemas dengan sarasehan bertajuk “Merokat Kenangan: Mengenal Tradisi Rokat di Kawasan Jember” dan pertemukan lintas generasi serta profesi.
Zuhan Anibuddin Zuhro, penggiat Sudut Kalisat mengatakan, rokat adalah tradisi syukuran yang biasa dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah, terutama Jember. Salah satu tujuannya adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat dan berkah yang diterima.
“Selain itu, tradisi ini juga sebagai sarana mempererat tali silaturahmi antar sesama. Jember, dengan nilai-nilai multikulturalnya, memiliki tradisi rokat dengan berbagai macam. Seperti apa rokat di Jember? Diskusi ini diniatkan untuk mengenalkan tentang macam-macam rokat dan bagaimana rokat bertahan sampai hari ini,” katanya, dalam keterangan tertulis.
Dia bilang, kegiatan ini sebagai bagian dari rangkaian menuju Kalisat Tempo Dulu 10, kegiatan ini didukung oleh Dana Institusional untuk Lembaga melalui Dana Indonesiana, LPDP, dan Kementerian Kebudayaan.
Kegiatan ini menghadirkan : Jergian Jordi, selaku praktisi manuskrip dari Komunitas Kulit Pohon (bicara tradisi rokat dan hubungannya dengan manuskrip nusantara). Abdur Rasyid (Cak Sid) dari Sanggar Umah Wetan Biting (bicara tradisi rokat dan beberapa penerapannya di berbagai wilayah. Imam Jazuli selaku Jupel Disparbud Jember (bicara dari perspektif arkeologi- Prasasti Kranjingan 2 yang ditemukannya 2022 lalu). Ahmad Badrus Sholihin, pengajar di Universitas Islam Negeri UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (bicara dari perspektif Islam).

Direktur Program Yayasan Studi Arsip Sudut Kalisat, Muhammad Iqbal mengatakan, dalam konteks budaya Jember, tradisi rokat hadir dengan beragam bentuk dan cerita, mencerminkan kekayaan nilai lokal yang terus hidup di tengah arus modernisasi.
“Kami angkat tema yang lebih dari sekadar ritual. Pada dasarnya kami ingin belajar banyak hal, terutama tentang tradisi rokat , manuskrip dan semua hal tentang kampung halaman kami. Mengingat kami sekarang memfokuskan diri pada kearsipan, ini merupakan hal penting yang harus kita pelajari,” jelasnya.
Kilas Balik Tradisi Rokat
Jergian Jodi, Peneliti Naskah Kuno menjelaskan, rokat dan ruwat memiliki pemahaman yang sama yakni “selamat” yang bertujuan agar terhindar dari malapetaka.
“Penggunaan istilah ‘Rokat ’ digunakan oleh masyarakat Madura sedangkan ‘Ruwat’ penyebutan bagi orang Jawa,” katanya.
Dalam praktiknya, kata Jerjian, merokat atau meruwat berbeda-beda. Perangkat ritual yang digunakan lebih spesifik dan filosofis.
Dia mengungkapkan, pelaksanaan rokat terkemas dengan ragam kemasan. Nama dan prosesnya juga berbeda. Di antaranya: Rokat Pandhâbâ (Pandawa), Rokat Dhisa (Desa), Rokat Tingkepan, Rokat Rumah, dan Rokat Isra’ Mi’raj.
Jegian bilang, dalam Naskah Pandawa Songgon, Banyuwangi tertulis bwah Rokat dalam Keterangan bahwa cerita ‘Yusup’ berguna untuk: rokat mapar meratakan) gigi perempuan sebelum nikah (rokat sebelum akad nikah), rokat
rumah, rokat angadek radja, golek kandung (agar memiliki anak), dan lain untuk keperluan ogem (meramal).
“Tjator Pendawa berguna untuk rokat (ruwat) Pendawa atau Pandhaba. Sedangkan “Tjator Nurbuat” digunakan untuk khataman (mungkin yang dimaksud seperti khataman Al-Qur’an),” katanya.
Menurutnya, seiring perkembangan zaman dan pengaruh keagamaan, rokat alami perubahan dan inovasi. Seperti prosesi rokat pandhâbâ saat ini sebagian ke khataman Qur’an. Peringatan Isra’ Mi’raj dengan mengundang tokoh agama. Adanya inovasi dari seni mamaca beralih ke seni pertunjukkan.

Ahmad Badrus Sholihin, pengajar di Universitas Islam Negeri UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember menjelaskan, Rokat adalah ritual berdoa memohon perlindungan Allah dari segala marabahaya.
“Tahapannya meliputi: Pertama, tawassul Kepada Nabi Muhammad, Sahabat, keluarga Nabi, para wali, ulama, bângeseppo (-Madura: sesepuh). Kedua, pembacaan ayat suci Al-Quran. Ketiga, pembacaan macapat. Keempat, ritual bersuci (siraman). Kelima, ritual pembayaran ijab kabul. Keenam, ritual penebusan (segala macam sajhin: sesajen).
Badrus membeberkan, Tradisi Rokat berangkat dari kesadaran masyarakat Madura mengenai ketidakmampuan mereka dalam melihat apa yang akan terjadi kepada dirinya di masa yang akan datang, terutama dalam kaitannya dengan penderitaan, bencana, mara bahaya, penyakit dan sejenisnya.
Dia menyebut, Orang Jawa menyebutnya ruwat. Orang Osing menyebutnya lukat. Akademisi menafsirkan tradisi itu sebagai upaya menyeimbangkan makrokosmos-mikrokosmos.
Menurut Badrus, di Madura ada banyak bentuk rokat: Rokat Pandhâbâ (anak tunggal atau pandawa), Rokat Bhumi (pekarangan, lahan), Rokat Bâliuni (setelah 7 hari kematian), Rokat Ngallè (pindah rumah), Rokat Tasè’ (petik laut), Rokat Dhisah (selamatan desa).
Badrus cerita, punya koleksi naskah kuno tentang rokat. Naskah itu lengkap dengan garis sanadnya tersambung ke Kiai Muhammad di Lampeji, Mumbulsari, Jember.
Rinciannya: Abdus Shomad (Kalisat) dari ayahnya yang bernama Sami’an (Sumberkejayan, Mayang) dari ayahnya yang bernama Nuriman (Sumberkejayan, Mayang) dari gurunya yang bernama Kiyai Muhammad (Lampeji, Mumbulsari).
Rokat dalam Perspektif Islam
Badrus bilang, Tradisi Rokat dalam pandangan hukum Islam diartikan sebagai salah satu bentuk permohonan dan pengharapan warga kepada Allah Swt. Allah lah yang menjadi penentu keberkahan dan kebaikan di masa yang akan datang.
“Dengan bertawassul, membaca Al-Quran dan tahlil, berdzikir dan berdoa, serta bersedekah kepada jamaah yang diundang pada acara rokat , Allah Swt akan memberikan kemudahan dan jalan keluar atas problem warga, baik problem di dalam rumah tangga, pendidikan, karier, ekonomi, dan sebagainya,” jelasnya.

Karena itu, katanya, rokat yang rutin digelar setiap ada momen tertentu, tidak melenceng dari agama Islam.
Dalil Al-Quran yang dipakai, katanya, adalah (QS. Al-Qashash: 77) :
Artinya: Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
“Imam Ibn Katsir menafsirkan وَأَحْسِنْ dalam ayat itu sebagai berbuat kebaikan kepada sesama, seperti berbagi rezeki, baik saat hasil bumi, dan rokat lainnya yang tentunya menyediaan makanan dan minuman yang disedekahkan pada jamaah,” katanya.
Menurutnya, hidangan makanan dalam rokat disandarkan pada dalil Hadits tentang persoalan sedekah makanan yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal. Artinya: Diriwayatkan dari Mu’adz Jabal Ra, dari Nabi Muhammad Saw bersabda: “Siapa memberikan makan orang mukmin sehingg ia ke yang dari kelaparannya, maka Allah Swt akan memasukkannya ke satu pintu dari pintu-pintu surga, tidak ada lagi yang masuk yang masuk pintu tersebut kecuali orang yang serupa dengannya.” (HR. Thabrani)
Hukum Sajhin (sesajen) seperti penyembelihan hewan ternak yang dilakukan saat rokat (ayam, kambing dan sapi) acap kali dikatakan bid’ah. Padahal, penyembelihan hewan ternak yang dagingnya disedehkan pada jamaah rokat adalah upaya seseorang dalam mendekatkan diri kepada-Nya, dan terhindar dari gangguan jin atau setan.
Sementara sembelihan hewan ternak di acara rokat tasè’ (petik laut) yang sebagian anggota tubuhnya dilempar ke laut, agar dagingnya dimakan oleh hewan laut.
“Hukum dari melempar kepala sapi ke laut adalah boleh. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ramli. Artinya: Apa yang terjadi saat ini dengan melempar roti ke laut untuk binatang laut ikan adalah tidak haram meskipun memiliki harga. Sebab hal itu termasuk sedekah kepada hewan. (Nihayatul Muhtaj, 7:367),” jelas Badrus.
Foto Utama: Ragam makanan olahan dan buah-buahan yang disajikan dalam pelaksanaan rokat. (Dok. Jergian-Komunitas Kulit Pohon)
Penulis : Abd Gafur
Editor : Abd Gafur