Beranda » Membaca Konflik di Sampang Sekaligus Menjawab Tantangan Rumail Abbas

Membaca Konflik di Sampang Sekaligus Menjawab Tantangan Rumail Abbas

Penulis: Ahmad Khoiri*

Rumail harus tahu, bahwa pembacokan dan pengeroyokan di Ketapang Laok kemarin bukanlah carok dalam arti yang sesungguhnya. Saya tegaskan juga, carok  bukan tradisi.

Rumail sudah minta maaf. Tetapi, di X, dia masih sesumbar; tidak ada penyesalan atau rasa bersalah atas cuitan kemarin. Dia, pake huruf kapital, mengatakan tidak ada “SATUPUN” yang membahas korban, pembacokan, pengeroyokan, keberpihakannya pada apa yang seharusnya dilakukan pasca-peristiwa di Ketapang kemarin.

Rumail juga membatin, katanya, “Kok sikap mereka justru memvalidasi apa yang saya tweet-kan?” Innalillah, dia kok gitu banget ya memandang orang Madura.

Saya tafsirkan, maksud kalimat tadi itu dia mau bilang bahwa orang Madura memang peradabannya terbelakang gitu? Lalu apa gunanya minta maaf kemarin? Jadi benar kan kata saya bahwa dia tidak sedang menggeneralisasi, melainkan menstigmatisasi?

Generalisasi itu kesalahan namun bisa dimaafkan. Tapi stigmatisasi? Oh tidak. Apalagi orangnya masih sesumbar. Tentu, saya tidak kesal hingga ingin men-carok-nya. Saya hanya heran, ternyata penilaian saya selama ini keliru: dia tidak well-educated amat.

**

Baik saya tanggapi tentang konflik kemarin. Saya mulai dari kuasa masyarakat di Madura.

Di Madura, wahai mas-mas Jepara, kuasa masyarakat itu dipegang oleh dua elemen: blatèr/bâjing (preman) dan kèyaè (kiai, ulama). Kepatuhan masyarakat memusat pada keduanya. Sebagian, kalau bâjing bilang A, maka A. Sebagian lainnya, kalau kèyaè bilang B, maka B.

Bâjing dan kèyaè punya perangkat kepengaruhannya sendiri. Bâjing berpengaruh lewat uang dan kejagoan, kèyaè berpengaruh karena doa dan karismanya. Posisi mereka beroposisi-biner. Tetapi andai didudukkan secara vis-à-vis, pengaruh mereka untuk masyarakat sama, dan loyalitas masyarakat untuk mereka juga tidak berbeda.

Karena itulah, dalam Pilbup di Madura, dua kuasa tadi sama-sama memainkan perannya sendiri. Pernah dengan istilah “doa versus uang” saat perhelatan Pilbup? Iya itu personifikasi kèyaè versus bâjing. Namun, apakah bâjing dan kèyaè selalu berlawanan? Belum tentu. Inilah yang menarik ditelisik dalam Pilbup Sampang.

Sekali lagi, di sini saya menyorot Sampang. Di kabupaten lain: Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep, boleh jadi keadaannya berbeda. Itu harus digarisbawahi.

Pilbup Sampang hari ini cukup menarik. Calon incumbent, Cabup 02, H. Idi, adalah representasi bâjing. Cawabupnya, RKH. Mahfuzh, adalah representasi kèyaè. Sebaliknya, paslon 02, Cabupnya, KH. Muhammad bin Muafi Zaini adalah representasi kèyaè, dan Cawabupnya, H. Ab, adalah representasi bâjing.

Artinya, di Sampang hari ini, Pilbupnya diwarnai oleh pertarungan “sengit” antara bâjing (01) vs bâjing (02) dan kèyaè (01) vs kèyaè (02). Lalu, mengapa menarik? Karena di situlah panasnya Pilbup Sampang bersumber. Konflik kemarin adalah residu dari hawa panas konstelasi Pilbup Sampang itu sendiri.

Penting dicatat, bahwa hal-ihwal ketaatan/kepatuhan kepada bâjing maupun kèyaè, masyarakat Madura itu rela mati. Rumail harus catat ini, dan tentu juga sudah dibahas di sejumlah literatur mengenai militansi orang Madura kepada bâjing dan kèyaè.

Apakah militansi yang dimaksud haruslah carok? Oh, tentu tidak. Yang jelas, militansi tersebut beririsan erat dengan fanatisme. Fanatisme buta, kadang. Dan trajektori carok dapat ditelisik dari situ.

**

Carok itu, sebagaimana saya katakan kemarin, bukan tradisi. Sekali lagi, bukan tradisi. Saya memang tidak mungkin meluruskan semua kesalahkaprahan orang memahami apa itu carok, karena memang semua media melabelisasinya demikian.

Tetapi paling tidak, saya bisa menjamin kepada Rumail, bahwa sebagai orang Madura, saya tegaskan, carok bukanlah tradisi. Andai ia tradisi, maka Rumail sudah saya tebas.

Carok memang khas, karena hanya ada di Madura. Namun ia bukan tradisi, dan jika ditelisik secara historis akan terang-benderang bahwa carok itu semula adalah “simbol perlawanan terhadap kolonialisme”. Masyhur bahwa Pak Sakera melawan kolonial pakai celurit? Betul, itu manifestasi perlawanan kaum pribumi.

Lalu, yang tradisi itu apa? Nah, ini bagian yang menarik. Saya melihat, memang, ada kristalisasi di situ. Semula, anasir carok (celurit, baju khas Pak Sakera, dll) memang simbol perlawanan, namun lambat-laun ia mengkristal sebagai identitas ke-Madura-an itu sendiri.

Identitas ke-Madura-an tersebut kemudian diinternalisasi ke dalam tradisi lokal. Misalnya, pencak silat. Dulu saat masih kecil, saya sering dibawa alm. bapak nonton pencak silat pegang celurit, saling mau tebas dan adegan mengerikan lainnya. Namun itu hanya seni dan tradisi belaka.

Selain itu, peleburan antara identitas ke-Madura-an dengan tradisi lokal telah mengonstruksi satu fenomena baru yang menjadi makna carok paling asli: pertarungan duel. Iyalah, sama-sama ahli pencak silat, ketika mau tarung sungguhan, maka harus fair. Makanya, kata para sesepuh, dahulu, carok itu benar-benar duel secara adil.

Cara mainnya, satu lawan satu, hingga tewas salah satunya. Tidak ada perilaku nyèlèp (menyergap musuh). Mirip tinju yang kita saksikan sekarang. Kalau capek, ada jeda istrahat. Kalau sudah siap, mulai lagi. Begitu terus sampai salah satunya tewas.

Dalam konteks ini, mungkin Rumail akan kembali berujar, kalau begitu orang Madura memang suka kekerasan? Tidak. Kita harus melihat itu sebagai dinamika hukum masyarakat. Bagi orang Madura zaman dulu, tèngka (masalah perempuan dan tanah warisan) itu penyelesaiannya memang demikian.

Prinsipnya satu: ètèmbhâng potè mata, angoan potèa tolang (daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati saja).

Barbar? Ya tidak lah. Kan sama halnya dengan hukuman ekstrem dalam sejarah: brazen bull ala Yunani Kuno, crucifixion ala Romawi, lingchi ala Cina Kuno, scaphism ala Persia Kuno, pengulitan ala Persia, dsb.

**

Lalu bagaimana dengan konflik di Ketapang kemarin? Rumail harus tahu, bahwa pembacokan dan pengeroyokan di Ketapang Laok kemarin bukanlah carok dalam arti yang saya uraikan tadi. Sekali lagi, bukan carok.

Ada peyorasi, ada reduksi makna, yang harus kita perhatikan ihwal carok. Sebagai orang Madura, saya menyayangkan peyorasi makna tersebut karena memperburuk citra Madura di mata orang Jawa yang memang kerap suka menstigma orang Madura.

Ironisnya, peyorasi tersebut juga tidak disadari oleh segelintir masyarakat Madura itu sendiri. Misalnya, ada orang Madura yang bangga bilang, bahwa “carok itu budaya kami, jangan macam-macam”. Kalau Anda bertemu orang Madura yang berkata demikian, pahamilah bahwa itu lahir dari ketidaktahuan semata.

Jadi, menurut saya, mengenai carok, hari ini telah terjadi peyorasi makna yang cukup parah yang merugikan masyarakat Madura itu sendiri. Pada saat yang sama, sebagian masyarakat, terutama Ketapang, Banyuates, dan Robatal—ketiganya kecamatan di Sampang—belum mengenyam pendidikan yang cukup untuk memahami yang sebenarnya.

Orang yang tahu bagaimana keadaan Ketapang, pasti paham bagaimana kompleksnya masalah tersebut. Pendek kata, di sana, pendidikan belum merata. Kesadaran hukum dan moralitas kerap tersendat oleh hal itu, yang akhirnya memuncak menjadi tragedi meresahkan semisal kemarin.

Tragedi Ketapang mesti dilihat, secara akademis, sebagai perkawinan antara peyorasi makna carok di satu sisi dan ketidakmerataan pendidikan di sisi lainnya.

Maka, tidak ada yang bisa menghentikan itu kecuali pemerataan pendidikan. Namun, yang jelas, dan sebagai penutup tulisan ini, anggapan bahwa Madura itu tidak berperadaban, seperti yang takut-takut Rumail ucapkan, adalah anggapan stigmatis yang tidak dapat ditoleransi dan apalagi dibenarkan.

Madura memang masih tengah berbenah, dan perlu terus berbenah, soal pemerataan pendidikan. Tapi tolong jangan stigma dengan sesuatu yang Anda sendiri tidak tahu-menahu soal itu. Anda boleh maju dan cerdas, Rumail. Tapi tidak berarti selain Anda semuanya terbelakang.

Ilustrasi: Membaca Konflik di Sampang; Menjawab Tantangan Rumail Abbas. (Indoklik-Gafur)

*Orèng Madhurâ Delles. 

Admin