Melihat Peran Perempuan dalamTransisi Energi

Ilustrasi: Tri Mumpuni berhasil menciptakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH) yang telah diterapkan di 65 desa di Indonesia, serta 1 desa di Filipina.(https://daaitv.co.id) (Foto: Instagram @tri_mumpuni)

Perempuan adalah penyedia utama kebutuhan energi dalam rumah tangga, yang kadang dilihat secara tidak proporsional, sehingga terdampak ketika krisis energi terjadi. Perempuan sebagai pencari sumber energi alternatif, ketika ketiadaan energi terjadi.

Ketika krisis energi terjadi dampaknya bagi Perempuan sangat luas (keamanan, ekonomi, kesehatan, sosial). Segala sesuatu yang berkaitan dengan energi masih dilihat sangat maskulin, sehingga gerakan perempuan di sektor energi narasinya sangat kecil dan terbatas. 70 % siklus hidup perempuan setiap harinya bersentuhan dengan energi.

Bila hendak menulis buku tentang ‘Peran Perempuan dalam Transisi Energi’, beberapa poin di atas barangkali layak dimasukkan dalam draft bahasan di dalamnya. Poin-poin tersebut sebagaimana disampaikan Mike Verawati, Koordinator Pekerja Reformasi Kebijakan Publik cum Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, dalam dialog publik  yang diselenggarakan oleh Habibie Center, Kamis, 7 Maret 2024.

Mike bilang, dalam konteks energi, perempuan hanya diposisikan sebagai konsumen untuk memenuhi kebutuhan keseharian atau ranah domestik. Kemudian, energi bukan dianggap pengetahuan untuk perempuan. Sehingga,  perempuan dianggap tidak paham, tidak sampai, atau tidak dapat menyumbang pemikiran.

“Selain itu, pengalaman perempuan belum menjadi analisis dalam tata kelola energi. Ketika berbuat sesuatu, menemukan, mengelola dan memroduksi energi allternatif, tidak direkognisi sebagai bagian yang penting ketika membicarakan kebijakan dan tata kelola energi,” jelasnya.

Dia menilai, kemiskinan di kalangan perempuan semakin tampak disebabkan kebijakan energi tidak berperspek tif gender, krisis energi, dan tata kelola energi yang buruk. Akibatnya, perempuan semakin jauh dari persoalan energi. Perempuan sulit memperjuangkan kebutuhan atas energi bersi terbarukan. Kerentanan Perempuan mengalami kekerasan. Pengetahuan perempuan terus terbatas. Partisipasi mpuan Perempuan yang minim.

Dia menyebut,  partisipasi perempuan dan kelompok rentan belum bermakna jadi tantangan tersendiri. Sabab hanya diliaht secara kehadiran. “Sisi lain, melihat aspek kerentanan tetapi tidak dibarengi aspek resiliensinya. Pengetahuan dan pengalaman perempuan tentang energi belum dipandang sebagai basis untuk mengambil keputusan,” katanya.

Menurutnya, dalam konteks energi terbarukan perempuan punya peran dalam  mengusahakan bahan bakar pengganti minyak dengan sumber energi seperti surya (matahari), air,  angina, sumber energi seperti biomassa dan biofuel yang berasal dari hasil pertanian dan hutan.

Dia mengungkapkan, perempuan di tiga wilayah ; Halmahera, Salatiga, Kep, Seribu, memilih tidak menggunakan elpiji, kalaupun ada sering hilang dipasaran dan harga yang mahal. Bahkan, katanya, hampir semua ibu rumah tangga, khususnya perdesaan masih  di wilayah tersebut menggunakan kayu bakar sebagai ganti energi.

Tangkapan layar Dialog Publik Perspektif Perempuan dan Transisi Energi yang diselenggarakan oleh Habibie Center, Kamis, 7 Maret 2024.

Menurut Mike, perempuan  di wilayah tersebut tidak punya akses ke teknologi energi terbarukan. “Perempuan mungkin memahami sumber-sumber energi baru tetapi minim pengetahuan atau skill teknis,” katanya.

Koalisi Perempuan merekomendasikan agar; Pertama, memastikan kerangka analisis gender equality, disability, and social inclusion (GEDSI) dalam kebijakan dan tata kelola energi di Indonesia. Kedua,  pengorganisiran. Khususnya perempuan, kelompok marjinal/rentan memiliki kesadaran kritis tentang hak atas energi bersih yang berkelanjutan. Mendorong mereka bersuara. Ketiga, penguatan dan Percepatan Pembangunan di sektor Energi: PUG dipastikan, terukur, terevaluasi di sektor energi, menempatkan gender specialist dalam program-program energi.

“Namun, selama paradigma transisi energi hanya untuk mengatrol pertumbuhan ekonomi, maka perempuan dan kelompok rentan masih menjadi bagian yang terpinggirkan,” kata Mike.

Dia menegaskan, perhitungan dampak transisi energi harus melihat banyak aspek, dan penyelesaian berbasis hak. Kemudian, tambah Mike, mengedepankan prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi bermakna dalam artian: pemenuhan, perlindungan HAM, keadilan ekologis, keadilan ekonomi dan sosial

Mouna Wasef, Head of Division Research & Advocacy Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan, partisipasi perempuan harus dijamin dalam mengawal transisi energi.

Jaminan tersebut, katanya, terdapat dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2021. “Enhanced NDC  2021 menegaskan kembali komitmen ini untuk mengurangi emisi dengan menjamin partisipasi para pemangku kepentingan seperti sektor swasta, masyarakat sipil, kelompok rentan, perempuan, masyarakat adat atau Masyarakat Hukum Adat, dan masyarakat lokal, baik dalam perencanaan maupun tahapan implementasi,”

Kemudian, katanya, Bali Energy Transition Roadmap G20. Dalam Pilar Dua isu prioritas peningkatan teknologi energi cerdas dan bersih, salah satu strateginya dengan mengadopsi prinsip-prinsip dan pedoman utama untuk transisi energi yang adil dan inklusif pada aspek; Pertama, ketenagakerjaan dan pekerjaan, pembangunan sosial dan ekonomi, serta pelibatan masyarakat; Kedua, kesetaraan gender dan aspek perilaku serta kualitas hidup.

Mouna bilang, jaminan tersebut juga terdapat dalam Comprehensive Investment and Policy Plan Just Energy Transition Partnership Indonesia (CIPP JETP) 2023. CIPP merupakan dokumen strategi yang akan digunakan oleh pemerintah Indonesia sebagal dasar perencanaan dan pembuatan kebijakan dalam kerangka JETP. Dalam dokumen ini, transisi berkeadilan didefinisikan sebagai berikut:

“Transisi energi di mana risiko dan peluang sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dihasilkan didistribusikan secara adil di antara para pemangku kepentingan sesuai dengan kapasitas dan kondisi mereka. Sehingga para pemangku kepentingan yang rentan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat memitigasi risiko dan mendapatkan manfaat dari peluang yang ada,” jelas Mouna.

Menurutya, ada dua pilar alam kerangka transisi berkeadilan. Pertama, Leave No One Behind atau tidak satupun yang tertinggal. Kedua, Keberlanjutan dan ketahanan.  “Pondasi dari kedua pilar itu, adalah hak asasi manusia, kesetaraan gender & pemberdayaan masyarakat, dan akuntabilitas,” kata Mouna.

Dia mengusulkan, agar komunitas untuk transisi energi berkeadilan punya prinsip meningkatkan kapasitas perempuan dan kelompok rentan lainnya di sekitar proyek transisi energi. Kemudian, adanya  gender budget tagging untuk kelompok perempuan di tingkat lokasi.

Chandra Sugarda, Senior gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI)  Advisor mengatakan, transisi energi membutuhkan investasi yang besar. Dalam upaya menuju energi bersih atau terbarukan. Untuk mencapai efisiensi konservasi, dan aksesibilitas energi.

“Sementara, ketika bicara transisi energi berkeadilan, maka yang harus mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam suatu proses transisi energi ini,” katanya.

Dia bilang, ada tiga implikasi besar dalam  proses transisi energi yang perlu dipertimbangkan; Pertama,   sistem energi. Artinya, implikasi dari pensiun dini PLTU Batubara, yaitu terhadap fisik atau sistem energi yang ada. Seperti kelistrikan dan sebagainya. Kedua, konomi; yakni terhadap industri yang akan terdampak.  Munculnya kebutuhan  untuk menumbuhkan dan aktivitas ekonomi baru di lokasi terdampak.

Ketiga, sosial budaya: di mana ada kemungkinan tenaga kerja yang terdampak. Ada sektor atau kegiatan pendukung lain yang ada di lokasi tersebut yang terdampak. Munculnya  migrasi baru. Dampak terhadap kesehatan dan lain-lain.

Menurutnya, dalam penanganan proses transisi energi, baik dampak dan pembiayaan aspek GEDSI harus selalu dapat perhatian.  Karena disana ada perempuan, kelompok rentan, masyarakat adat yang terdampak secara tidak proporsional dan kesulitan untuk bangkit tanpa ada dukungan dari pemerintah dan pihak terkait lainnya, jika ada perubahan dalam kesehariannya.

Di Indonesia sendiri, katanya, pengarusutamaan gender (PUG) bukan hal yang baru. PUG sudah berjalan selama ini. an saat ini, juga dijalankan dalam konteks transisi energi. Namun jika melihat dalam pemerintahan dalam pengambilan keputusan masih didominasi laki-laki.

“Meskipun secara keseluruhan komposisi ASN sedikit lebih banyak perempuannya, namun laki-laki  mendominasi pada tingkat keputusan. Termasuk dalam sektor transisi energi. Berdasarkan badan kepegawaian negara 2023: contohnya, di KESDM. Kepemimpinan perempuan hanya berkisar 10 %,” ungkapnya.

Dia bilang, analisis gender dalam proses perencanaan terangkum dalam PPRG atau perencanaan penganggaran responsif gender. Di dalamnya meliputi identifikasi kesenjangan, dari akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat. Serta memunculkan dan rencana aksinya.

Pengarusutamaan gender dalam tahap pembangunan juga berlaku untuk penyusunan kebijakan dan program terkait transisi energi sehingga inklusif dan berkeadilan. Hal itu sudah dilakukan dari tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporannya.

“Sebelum 2024, katanya, masing masing KL dan pemerintah daerah diminta untuk menyiapkan secara terpisah. Hal ini berdasarkan Berdasarkan PMK no.62/2023 tentang perencanaan pelaksanaan anggaran serta akuntansi dan pelaporan keuangan,” jelas Chandra.

Dia menegaskan, KAK atau kerangka acuan kerja kegiatan harus harus sudah mencakup analisis gender dan gender action budget. Bukan dokumen terpisah lagi.  Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan ada tambahan pekerjaan. Karena untuk semua program yang direncanakan dan dianggarkan sudah ada KAKnya.

Kemudian, tambahnya, untuk mengukur akuntabilitas dan efektifitas penggunaan anggaran serta  mengidentifikasi keluaran terkait beberapa prioritas nasional, pemerintah sudah melakukan penandaan anggaran atau budget tagging.  Ini mulai tahun 2019. Berdasarkan PMK No. 136 2014.

Dia jelaskan, ada 8 tematik yang ditentukan, 3 diantaranya; Mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, dan anggaran responsif gender. Dimana kementerian dan lembaga bisa melakukan penandaan ganda atau double tagging.

Tangkapan layar Dialog Publik Perspektif Perempuan dan Transisi Energi yang diselenggarakan oleh Habibie Center, Kamis, 7 Maret 2024.

Menurut Chandra, dari segi kebijakan, mekanisme, dan alat bantu untuk pengarusutamaan gender, sebenarnya sudah lengkap bahkan sudah ada pedman pendandaan anggaran perubahan iklim yang responsif gender di Kementerian Keuangan.

Namun pada praktiknya, implementasi PPRG pada perubahan iklim, termasuk transisi energi, masih beragam. Pertama, sistem perencanaan penganggaran sebenarnya cukup memadai untuk mengimplementasikan tema gabungan anggaran perubahan iklim yang responsif gender. Kedua, rendahnya implementasi. Artinya, jumlah output anggaran perubahan iklim responsif gender yang disusun oleh K/L masih rendah.

Ketiga,  pelaksanaan PPRG belum optimal karena minimnya anggaran perubahan iklim yang responsif gender disebabkan belum optimalnya pelaksanaan regulasi dan mekanisme yang ada. Keempat, penyelarasan dengan Sektor Prioritas NDC: Integrasi isu gender dalam anggaran perubahan iklim perlu merujuk pada strategi implementasi Enhanced NDC yang telah menetapkan sektor-sektor prioritas

Kelima, akselerasi PPRG di perubahan iklim langkah akselerasi jumlah output tema gabungan anggaran perubahan iklim yang responsif gender perlu dilakukan. Keenam, perlu menyusun alat pendukung untuk perbaikan implementasi penandaan anggaran tema gabungan perubahan iklim dan gender

“Sisi lain, Pengarusutamaan GEDSI dalam transisi energi masih ada tantangan tersendiri. Seperti terbatasnya data terpilah gender, kurangnya kompetensi gender, hambatan institusional, rendahnya pelibatan pemangku kepentingan, inkonsistensi kebijakan, dan pemantauan dan evaluasi,” jelasnya.

Dia merekomendasikan, agar pemerintah melakukan; Satu, menyusun kebijakan yang mempromosikan GEDSI dalam transisi energi dan EBT serta mengintegrasikan aspek GEDSI ke dalam peraturan dan standar yang mengatur proyek energi.

Dua, mendorong partisipasi perempuan dan kelompok rentan lain dalam proses pengambilan keputusan serta mendorong keberagaman dalam posisi kepemimpinan. Tiga, memberi pelatihan vokasi kepada kelompok yang kurang terwakili dalam sektor energi dan menginformasikan peluang kerja bagi perempuan dan kel rentan.

Empat, menerapkan praktik perekrutan non- diskriminatif di sektor energi dan mendukung inisiatif kesetaraan upah dan kesempatan jenjang karir.

Lima, pelibatan masyarakat lokal yang terdampak proyek energi, memastikan manfaat proyek EBT dan transisi energi terdistribusi secara adil dan merata

Enam, melakukan pengumpulan data terpilah GEDSI untuk  menganalisis kesenjangan yang ada dan enetapkan mekanisme pemantauan responsif GEDSI.

Tujuh, mempromosikan pengembangan teknologi EBT yang aksesibel dan bermanfaat untuk semua, serta mempertimbangkan kebutuhan energi spesifik ketika merancang desain.

Delapan, mendorong kolaborasi antara semua pemangku kepentingan untuk pengarusutamaan GEDSI secara kolektif dan mendorong kemitraan publik swasta untuk promosi GEDSI dalam proyek EBT.

Sembilan, memberikan perempuan dan kelompok rentan lain untuk mengakses pembiayaan bagi proyek terkait transisi energi.

“Terakhir, perlu evaluasi dampak inisiatif GEDSI secara berkala, mendorong budaya penyempurnaan berkelanjutan agar GEDSI tetap menjadi prioritas dalam transisi energi,” papar Chandra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *