Penulis: Erka Ray*
Aku yang masih belum membuka mata dengan sempurna akhirnya melek lebar. Apa aku tidak salah lihat. Bapak sepagi ini sudah sibuk di dapur? Keranjang besar di atas meja. Mangkuk, botol saus dan kecap, sendok dan garpu. Semuanya ada di atas meja makan.
Aduh, kenapa bapak baik sekali kepada orang. Lihat, mungkin sudah tak terhitung sepagi ini bapak memberikan semangkuk bakso pada pengemis yang lewat di warung kami. Padahal warung kami sepi karena banyak pesaingnya. Eh, bapak malah memberikan bakso gratis pada orang-orang.
“Silahkan dimakan, Bu. Semoga ibu suka dengan bakso di warung saya.”
Ah, lihat bahkan bapak menyuruh ibu-ibu pengemis itu duduk di warung kami, makan bakso secara cuma-cuma. Dan setiap kali aku bertanya, kenapa bapak selalu memberikan bakso kepada pengemis, kenapa tidak dikasih uang seribuan saja, kan sudah cukup. Atau bapak usir saja, bilang kita tidak punya.
“Tidak ada salahnya bersedekah, Dani. Toh bakso kita banyak kan.”
Begitu jawaban bapak.
Lalu aku menyanggah, “Tapi kan, pak, warung kita sepi. Tidak setiap hari rame.”
“Justru siapa tahu dengan bersedekah sehabis ini warung kita rame pembeli kan.”
Entahlah, bapak terlalu baik. Padahal belum tentu orang-orang baik pada bapak. Padahal bisa jadi pengemis tadi hanya berpura-pura, dan ternyata dia adalah orang kaya. Bukankah sudah banyak di berita-berita kalau pengemis-pengemis itu bisa berpenghasilan uang sekian juta dalam satu hari. Hanya dengan mengemis sudah sekian juta, warung bapak saja yang buka dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam saja belum tentu dapat penghasilan jutaan.
Tapi mana bolehkan, aku mengatakan itu, pasti setelah itu bapak akan bilang,
“Sudah tidak perlu banyak berkomentar, kau selesaikan saja cucian piringmu.”
Dan setelahnya aku hanya bisa mendengus sebal.
Aduh, tapi kalian-kalian jangan menganggap aku kikir dan pelit ya. Aku sebenarnya tidak keberatan bapak bersedekah, hanya saja sepagi ini sudah ada beberapa mangkuk berisi bakso yang bapak berikan, lihat aku saat ini sedang mencuci mangkuk-mangkuk itu.
Bapak memang selalu mengajarkan kami anak-anaknya, aku dan kak Burhan untuk selalu bersedekah. Tapi bapak kami ini terlalu baik. Pernah sampai tertipu dulu, uang sekian juta rupiah. Uang yang akan dijadikan biaya Operasi ibu. Jadilah ibu gagal dioperasi, dan entahlah Tuhan berkata lain dan ibu lebih dulu diambil Tuhan.
“Pak, baksonya 3 mangkuk ya. Makan di sini.” Seorang pembeli menyebutkan pesanan.
“Cepat bereskan mengelap mangkuknya, Dan. Kau tidak lihat ada pembeli.” Begitu kata bapak yang sudah berlalu dan mulai meracik bumbu di mangkuk.
Entahlah setelah pembeli pertama itu datang dengan pesanan tiga mangkuk baksonya, menyusul dua orang setelahnya, tiga orang setelahnya, empat orang setelahnya, sampai warung kami penuh dan ada beberapa orang yang tidak kebagian kursi dan harus berdiri atau terpaksa meminta bakso pesanannya dibungkus untuk dimakan di rumah saja.
Aku mengelap keringat di dahi. Lihat, warung kami tiba-tiba jari ramai sekali. Wah apa mungkin benar kata bapak tadi, boleh jadi setelah bersedekah beberapa mangkuk berisi bakso tadi pagi ke para pengemis itu, warung bapak jadi ramai. Emmm … Bisa jadi.
“Berapa baksonya, Dek.” Seorang pembeli membuyarkan lamunanku, dia hendak membayar. Menyebutkan apa saja pesanannya, lalu aku total dan menyebutkan nominalnya. Pembeli itu merogoh uang di saku celananya. Dalam sepersekian detik uang sekian puluh ribu rupiah telah berpindah tangan.
“Jangan lupa kembali lagi ke warung bakso kami, Bapak ibu.”
Aku nyengir melihat uang ditangan.
Alhamdulillah, aku bersyukur untuk hari ini.
“Kau tidak mau makan, Dan? Ambil satu porsi bakso sana!”
Saat ini kami sudah santai. Tadi keributan pecah. Eh bukan keributan berantem ya, hanya saja aku dan bapak kewalahan melayani pembeli. Karena di warung ini yang berjualan hanya aku dan bapak. Itupun aku datang dari pagi karena hari ini hari libur, perayaan Isra’ Mi’raj. Kalau di hari-hari lain aku sekolah SMA. Baru setelah pulang jam 2 siang dari sekolah, bisa membantu bapak jualan sampai malam. Sedangkan kak Burhan yang sudah lulus sekolah, bekerja di pabrik rokok tidak ikut bapak jualan.
Waktu semakin berlalu. Siang sore malam, Alhamdulillah warung ini entah kenapa rame hari ini. Mungkin memang manjur betul pengemis tadi pagi. Aku hanya nyengir.
“Sudah pukul sembilan, Dan. Kita tutup warung. Ayo cepat beres-beres.”
“Siap, Pak.”
Sudah jam sembilan malam, saatnya menutup warung. Aku bertugas mengelap bangku dan meja serta mencuci piring. Sedangkan bapak membereskan bahan-bahan dengan memalsukan ke laci-laci di dekat gerobak. Setelahnya kami menutup rolling warung. Eh, iya rolling. Kalian pikir warung bapakku ini warung yang memakai tenda berbeda buru. Oh jelas tidak, itu hanya dipakai saat baru pertama kali bapak jualan. Karena sudah sekitar 7 tahun bapak berjualan bakso, dan dari hasil menyisihkan uang jualan, bapak berhasil menyewa ruko yang tidak terlalu besar yang berada di jalan pertigaan dekat tugu monumen. Dan diberikan plang nama besar-besar di depan warung. WARUNG BAKSO JALALUDDIN. Itu diambil dari nama bapak sendiri, Jalaluddin.
***
Keesokan harinya aku tidak bisa membantu bapak jualan. Maka aku hanya bisa mengantar bapak beserta barang-barang jualan sekitar jam 6 pagi menggunakan sepeda motor. Setelahnya aku pulang, untuk bersiap-siap pergi sekolah. Sedangkan kak Burhan sudah berangkat dari jam 5 pagi ke pabrik rokok.
Siangnya setelah pulang sekolah sekitar jam 2 siang aku baru bisa membantu bapak jualan.
“Dua mangkuk bakso plus tetelan, Dan. Dibungkus ya, aku mau makan di rumah.”
Itu suara kak Bakri pelanggan tetap warung bakso bapak.
“Siap.” Aku mengacungkan jempol.
Segera mengambil bakso dari dalam kuali dan memasukannya kedalam plastik, menuangkan kuah, tetelan, saos kecap dan pernak-pernik bakso yang lain. Bapak sedang sholat ke masjid dekat sini, jadi aku yang melayani.
“Wahh wangi bakso ini selalu enak.” Kak Bakri menyerahkan uang sekian ribu rupiah.
“Jelaskan lah kak, bapak sendiri yang buat baksonya. Dijamin pakai daging dan tepung yang berkualitas.”
Setelah basa-basi satu dua kalimat, kak Bakri menyalakan motornya lalu tancap gas.
Tak lama dari itu bapak datang dari shalat di masjid. Dan berdatangan juga orang-orang yang membeli bakso di warung kami. Sepertinya bersedekah pada pengemis waktu itu masih manjur sampai sekarang.
“Jangan banyak bengong, Dan. Cepat ambil mangkuknya,” perintah bapak. Aku langsung siap balik kanan mengambil mangkuk.
Hari ini berjalan lancar, kami tetap tutup pukul sembilan malam. Tapi saat kami akan menutup rolling warung, ada bunyi letusan. Persis di depan warung bapak, ban mobil Pajero meletus. Pemiliknya keluar dari dalam mobil, seorang bapak-bapak berjas dan berdasi. Sepertinya dia pejabat.
“Ada apa, Pak?”
Bapak sudah basa-basi bertanya menghampiri pemilik mobil yang sedang kebingungan melihat ban belakang mobilnya, batal menutup rolling warung.
“Ini ban mobil saya meletus.” Begitu kata pemilik mobil itu sambil menggaruk-garuk kepalanya, mungkin dia kutuan.
“Waduh, bengkel di sini jauh, Pak.” Itu kata bapak.
Sayang sekali bapak itu sial ban mobilnya meletus di sini. Sedangkan bengkel di sini jauh. Harus ke perempatan yang jaraknya cukup jauh. Kalau mendorong mobil, bisa ngos-ngosan.
“Atau bapak membawa ban serep?”
Bapak bertanya, pemilik mobil itu bilang ada. Lalu membuka bagasinya. Karena bapak dulu pernah menjadi montir sebelum akhirnya jualan bakso. Jadilah sekitar 10 menit bapak membantu pemilik mobil itu mengganti ban mobil.
Sepuluh menit berlalu, akhirnya mobil itu selesai juga.
Bapak menyuruh pemilik mobil itu duduk di warung. Malah memaksa menghidangkan semangkuk bakso yang masih tersisa dari jualan sepanjang hari. Jadilah aku membuatkan semangkuk bakso untuk pemilik mobil itu dan bapak bercakap-cakap dengannya. Duh, padahal peralatan sudah masuk semua, dan mangkuknya sudah bersih kinclong. Ya sudah, tidak apalah.
Jadilah mereka bercakap-cakap sekitar satu jam, entah bercakap-cakap apa aku tidak mendengarkan, aku duduk agak menjauh sambil terkantuk-kantuk.
“Tidak usah bayar, Pak,” kata bapak sambil mencegah pemilik mobil itu yang hendak mengulurkan uang.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya ingin membayarnya. Bapak sudah baik sekali membantu mengganti ban mobil saya.”
“Tidak usah, Pak. Saya ingin bersedekah pada bapak. Tidak perlu dibayar.” Kata bapak kemudian.
Terjadilah adu mulut soal bayaran bakso itu. Hingga akhirnya pemilik mobil itu mengalah pada bapak. Dan dia pergi setalah pamit pada bapak dan aku yang sedang mengantuk.
Bapakku ini baik sekali, lihat pemilik mobil itu berjas dan berdasi, sepatunya kinclong, wajahnya bersih, perutnya buncit, mobilnya Pajero, beda dengan bapak yang memakai celana bahan, sandal jepit, kaos yang sudah berubah warna, dan bertopi anyaman. Tapi bapak malah tidak mau menerima bayaran dari pemilik mobil itu. Katanya sedekah, katanya itu sisa bakso jualan seharian. Eh, mana ada sisa, bakso itu kubuat yang baru, masih harus menyalakan kompor.
Tapi apa kata bapak kemudian,
“Sudah, tidak apa-apa. Hitung-hitung sedekah. Tidak ada salahnya bersedekah. Itu perbuatan yang baik dan terpuji. Siapa tahu dengan bersedekah kepada bapak-bapak tadi besok-besok warung kita jadi bertambah rame pembeli.”
Aku sudah tidak berani membantah, maka dengan mata yang sudah mengantuk aku mulai menyalakan motor, lalu bapak naik di jok belakang, dan motor pun melaju menuju rumah.
Entah sudah berapa lama aku terpejam. Samar-samar aku mendengar ada yang mengetuk pintu rumah kami.
“Pak Jalal, Pak…, Pak Jalal.”
Berulang kali orang itu mengetuk pintu setengah menggedor agar penghuni rumah bangun. Tak lama dari itu terdengar berjalan bapak untuk membuka pintu.
Orang yang mengetuk pintu itu langsung berkata,
“Warung bapak kebakaran.”
Aku yang setengah sadar, masih mengantuk, langsung melek. Hilang sudah rasa kantuknya. Aku dan kak Burhan berbarengan ke luar. Yang mengetuk pintu tadi ternyata kak Bakri tetangga kami yang sekaligus pelanggan tetap warung bakso bapak.
Jadilah kami langsung kocar-kacir menuju warung. Sesampainya di sana, api sudah membumbung tinggi. Ganas melahap habis apapun yang ada di sana. orang-orang sudah ramai saat aku sampai di sana. Beberapa orang membawa ember berisi air, mencoba memadamkan karena sejak jadi menelpon pemadam kebakaran tak kunjung datang.
Bapak sudah ikut bersama yang lain memadamkan api. Aku dan kak Burhan segera ikut membantu.
Ada lima ruko berjejer di sana. Ruko yang dijadikan warung bapak, di sebelahnya ada warung foto kopi, dan di sebelahnya ada warung lalapan, di sebelahnya lagi kedai roti, dan di sebelahnya lagi warung Seblak prasmanan.
Naas sekali, malam ini ruko berjejer itu harus dilalap api dalam hitungan menit. Penyebabnya adalah konsleting listrik, begitu yang kudenger dari suaranya nyaring kak Bakri yang sedang mengangkut ember.
Orang-orang datang lebih banyak. Sebab api tak kunjung bisa dipadamkan, salah satunya mengusulkan untuk memakai selang seadanya, maka segeralah dia ngacir ke rumahnya yang ada di seberang jalan ruko untuk mengambil selang.
Sedangkan aku dan yang lain masih terus membaca ember-ember untuk memadamkan api. Tiga menit kemudian bapak-bapak yang menyarankan memakai selang datang terbirit-birit. Selang-selang segera dipasangkan pada kran air yang ada diseberang jalan ruko, rumah bapak itu. Air mulai disemprotkan. Tapi itu tidak membantu banyak nyala api masih berkobar.
Aku melirik sekilas muka sayu bapak. Muka leleh, berpeluh habis mengangkut air. Tak lama dari itu terdengar sirena mobil pemadam kebakaran datang dari kejauhan, barulah setelahnya api dapat dipadamkan.
Bapak duduk di depan warung depan baju yang basah akibat membawa ember berisi air. Wajahnya lelah, sayu. Ah, terlihat ada kesedihan di sana. Bagaimanalah tidak sedih, warung kami, maksudku warung bapak habis dilalap api dalam sekejap. Padahal baru beberapa jam yang lalu, tepatnya jam 10 malam kami tutup karena ada bapak pemilik mobil itu.
Lihatlah, warung bapak hitam legam menjadi abu. Atap, dinding dengan batu bata dan semen, rolling warung, bangku meja, dan gerobak yang ada di dalam warung, habis terbakar. Begitupun dengan warung yang ada di sebelah warung bapak. Hanya warung Seblak prasmanan itu yang terbakar sedikit karena berada di paling ujung, sedangkan titik kebakarannya persis berdada di warung bapak.
Tak lama kemudian terdengar suara adzan dari masjid dekat warung. Ternyata sudah subuh. Bapak masih tetep duduk di tanah menatap warung kami yang telah hangus. Orang-orang mulai beranjak pergi satu dua. Sisanya yang merupakan pemilik warung di sebelah, memilih menyingkirkan puing-puing bangunan.
***
Sudah hampir sebulanan bapak tidak lagi berjualan bakso. Dia hanya diem di rumah. Makan, tidur. Galau setiap saat. Bangunan warung sisa kebakaran itu belum direnovasi sampai sekarang. Puing-puing hitam membisu di dekat pertigaan tugu monumen itu.
Setiap hari aku hanya melihat bapak berdiam diri di rumah, tidak lagi membuat bakso untuk dijual, atau melihat bapak yang pagi-pagi sudah sibuk kesana-kemari membungkus keranjang besar berisi bakso yang siap dibawa ke warung.
Aku kira bapak hanya akan berdiam diri satu atau dua hari, atau paling lama seminggu. Eh, ini malah hampir sebulan. Bapak benar-benar berkabung tentang warung kita yang terbakar itu.
“Bapak tidak mau mencoba jualan bakso lagi?”
Aduh, padahal tadi sudah memikirkan basa-basi yang paling oke untuk memulai percakapan, karena sejak tadi aku dan bapak hanya duduk membisu di teras rumah. Sedangkan kak Burhan masih bekerja di pabrik rokok.
Bapak hanya diam, tidak menjawab apapun. Matanya lurus menatap ke depan. Mungkin sedang menghitung anak ayam milik tetangga yang lagi lewat di depan rumah.
“Uhukkk uhukk.” Aduh mau bicara malah kelepasan batuk.
“Minum, Dan.”
Kan kan jadi malu sendiri sama bapak.
“Pak.”
Aku masih berhenti menghela napas. Bapak mulai menoleh padaku.
“Aku tahu bapak bersedih akibat warung kita yang kebakaran itu. Tapi, Pak …. Bukankah tidak sebaiknya bapak bangkit lagi. Tidak baik bapak terus terpuruk seperti itu. Aku tahu warung kita kebakaran, aku pun ikut sedih. Apalagi kak Bakri yang sering makan bakso kita, Pak. Dia berulang kali bertanya kapan bapak jualan lagi.
“Kami semua sedih, Pak. Aku, Kak Burhan dan pelanggan bapak juga ikut sedih atas kebakaran itu. Juga pemilik warung disebelah kita, Pak. Mereka harus memulai usahanya dari nol lagi. Ayo, Pak. Bapak bisa bangkitan lagi, jualan lagi. Eh tunggu sebentar, Pak.”
Aku tergesa-gesa pergi ke kamar.
“Ini, Pak.” Aku menyerahkan celengan ayam kepada bapak.
“Aku tidak tahu isinya ada berapa. Tapi pastilah lumayan, sebab aku rajin menabung, Pak.”
“Bapak bisa menggunakan uang tabunganku untuk memulai berjualan lagi. Ya meksipun aku tahu uang bapak di dalam kaleng wafer pastilah lebih banyak dari pada ini.”
“Kau tahu dari mana soal kaleng wafer itu?”
Bapak langsung menoleh. Dan aku hanya bisa nyengir sambil salah tingkah.
“Hehe…, aku tidak sengaja melihatnya saat membersihkan kamar, Bapak. Bapak lupa ya aku kan yang siang malam menyapu rumah. Atau jangan-jangan bapak memang lupa. Duhh, sungguh malang sekali nasibmu, Dani.”
Bapak ternyata diam lagi. Sia-sia ternyata aku melawak.
Bapak tiba-tiba berdiri. Aduh kenapa bapak berdiri, lalu bagaimana dengan tawaran celengan ayamku ini. Aku sampai rela mempertaruhkan celengan ayam kesayanganku ini. Dan bapak, aduh dia setidak merespon apapun.
“Bapak tidak mau uangmu, Dan. Uangmu adalah uangmu. Kau pakai saja uangmu untuk membeli kebutuhanmu atau apapun yang kau inginkan,” kata bapak diambang pintu kamarnya. Kemudian dia masuk.
Aku hanya bisa menelan ludah.
Sore harinya Kak Burhan pulang dari pabrik rokok tempatnya bekerja.
Malam pun tiba, setelah makan malam bapak kembali masuk ke kamarnya. Mungkin hendak melanjutkan kegalauannya.
“Bagaimana, Bapak?”
Kak Burhan bertanya, saat ini kami berdua sedang duduk di teras luar menikmati angin malam yang berhembus pelan. Membuat sejuk.
Aku hanya bisa menjawab dengan mengangkat bahu. Kak Burhan tentu sudah tahu sendiri keadaan bapak.
***
“Dan. Dani. Bangun, Dan. Bantu bapak cepat!”
Aduh kenapa sepagi ini bapak berteriak sih. Ada apa. Aku masih mengantuk. Memang sih tadi malam aku tidur lebih cepat, tadi pun selepas sholat subuh tidur lagi. Duh, tapi ini masih pagi. Kenapa pula bapak berteriak.
Aku dengan berat hati akhirnya bangun keluar dari kamar.
Aku yang masih belum membuka mata dengan sempurna akhirnya melek lebar. Apa aku tidak salah lihat. Bapak sepagi ini sudah sibuk di dapur? Keranjang besar di atas meja. Mangkuk, botol saus dan kecap, sendok dan garpu. Semuanya ada di atas meja makan.
“Kau mau diam saja atau mau membantu, Bapak?” Bapak tersengal-sengal membawa keranjang besar untuk diletakkan di atas meja. Keranjang berisi bakso.
“Kapan bapak membuat bakso?” Aku malah kebingungan melihat bakso-bakso yang sudah siap di dalam keranjang.
“Sejak kau dan Burhan tidur tadi malam.”
Bapak berjalan menghampiriku.
“Kau benar, Dan. Tidak seharusnya bapak terus bersedih akibat kebakaran warung itu. Kau benar sekali bapak harus bangkit. Mungkin si Bakri juga sudah rindu makan bakso buatan bapak kan.” Bapak nyengir di depanku yang masih kaget.
“Bapak juga harus membangunkan Burhan. Lihat, dia kalau hari libur begini malah tidur sampai siang. Dan kau, Dani. Keluarkan gerobak lama kita yang ada di dapur belakang. Kau bersihkan itu, kau lap sampai kinclong. Mulai hari ini kita akan jualan bakso lagi di depan rumah dengan gerobak seadanya. Jangan lupa kau kabari Bakri dan yang lain kalau kita sudah jualan lagi.”
Bapak sudah berlalu menuju kamar kak Burhan sambil mengeraskan suaranya agar kak Burhan bangun.
Aku langsung semangat pagi ini. Lupakan mengantuk. Aku bergegas ke dapur mengeluarkan gerobak lama bapak. Membersihkannya sampai kinclong seperti perintah bapak. Pagi ini matahari bersinar terang. Pagi yang indah, satu dua burung pemakan padi hinggap di dahan-dahan pohon milik tetangga. Berkicau sumbang.
Lihatlah, Bapak. Wajahnya berseri-seri sambil mengangkat keranjang berisi bakso keteras depan. Butuhnya yang sepagi ini berpeluh karena kesana kemari mengeluarkan mangkuk dan sendok-sendok dari dalam lemari terlihat ceria. Wajah galau akibat kebakaran itu sempurna hilang. Entah apa yang terjadi semalam hingga pagi ini bapakku yang dulu, bapak yang semangat berjualan akhirnya kembali. Kak Burhan juga senang melihat bapak. Dia semangat sekali mengelap mangkuk-mangkuk yang berdebu. Siangnya kak Bakri datang sambil nyengir memesan bakso untuk dimakan ditempat.
Alhamdulillah, aku ikut bersyukur atas kejadian hari ini. Pun bersyukur karena bapak tidak mengungkit celengan ayam yang aku berikan kemarin siang. Tabunganku selamat.
Sumenep, 09-23 Februari 2024
Ilustrasi: The glowing sun rising over mountains range on a cold winter day, the landscape of mountains on the morning mist. Inspiration, positive thinking concepts. Soft focus. (https://media.istockphoto.com )
Erka Ray adalah nama pena dari Hikmatul Kamilah. Nama pena itu tercipta sejak 2020. Cerita singkatnya, karena nekat ngebet mau jadi penulis terkenal, mau ngalahin Tere Liye sama Habiburrahman El shirazy. Sekarang lagi ngelanjutin S1nya di IAIN Madura, Prodi Hukum Tata Negara. Dari TK sampai SMA nimba ilmu di pesantren Al-Ihsan. Tidak mondok loh ya, kalau kata orang Madura sebutannya nyolok. Orangnya sering gabut, galau, mager, halu dan jenis-jenis sifat purba lainnya.