Penulis: Gafur Abdullah*
Apa yang ada dalam benak Anda bila mendengar kata “Madura”? Satenya yang enak, manusianya ulet dan pemarah, Warung Madura, orangnya jadi tukang cukur di perantauan, Karapan Sapi, Sakera, atau bahkan Carok?
Suatu ketika, saya pernah ditanya oleh salah satu kawan asal luar Madura. “Fur, katanya, kalau orang Madura ada masalah, itu langsung main celurit dan carok. Benar nggak, sih? Nah, kan, kamu asli Madura. Aku pengen tahu langsung dari Orang Madura, soal itu.”
Mendengar itu, saya yang Madura luar dalam depan belakang, tersenyum mendengarnya. Tidak langsung menanggapi pertanyaan tersebut.
“Apa lagi yang ada di benak kamu ketika mendengar kata Madura?” saya coba menyusuri lebih jauh tentang isi pikiran kawan itu tentang Madura.
“Selain carok, saya tahu Madura dikenal dengan satenya yang enak, orang-orangnya ulet, Warung Madura, orang Madura banyak jadi tukang cukur di perantauan, Karapan Sapi. Lagi, yang kudengar, orang Madura itu pemarah.” Andai jadi buku, mungkin ia akan jadikan beberapa poin itu, sebagai daftar isinya.
Saya sering terlibat dalam obrolan semacam itu selama beberapa tahun terakhir ketika bertemu dengan kawan jurnalis, penulis, aktivis, kawan dengan ragam profesi lainnya di luar Madura. Baik melalui kegiatan diskusi, pelatihan tentang jurnalistik, fellowshipan atau melakukan peliputan.
Pada banyak kesempatan itu, saya merasa punya peluang untuk menjelaskan Madura apa adanya. Sekaligus untuk merobek stereotip yang dibuat-buat oleh orang yang tidak bertangungjawab.
Cerita lain, saya pernah dengar salah satu kawan di Pamekasan yang dapat perlakuan rasis dan diskriminatif. Sebut saja, kawanku itu bernama Ropi.
Semasih kuliah, ia pernah ikut kursus di salah satu kabupaten di luar Madura, yang masih masuk wilayah Jawa Timur.
“Fur, kamu tahu nggak, saya malu jadi orang Madura.”
“Lho, kenapa?”
“Gara-gara saat perkenalan saya menyebut dari Madura, saya dijauhi oleh rekan-rekan di tempat kursus kemarin.”
“Masa sih. Dari mana kamu tahu, alasan mereka jauhi kamu karena kamu dari Madura? Kenapa kalau dari Madura?” saya menyambut penuturan Ropi dengan dahi mengernyit sembari seruput kopi.
“Ya, ada satu rekan yang saya sempat tanya. Dan dia jawabnya gitu. Ya, kamu tahu, kan, orang Madura dikenal oleh orang luar, sebagai orang berwatak keras lah, caroklah, dan lainnya.”
Itulah secuil cerita yang saya coba kais kembali di dinding ingatan dan dituliskan disini.
Saya sebagai yang sejak lahir langsung hirup oksigen di pulau ini, tentu punya tugas untuk meluruskan tentang anggapan-anggapan keliru (keraslah, caroklah, pemarahlah dan lainnya) yang dilekatkan pada orang Madura.
Carok bukan hanya soal berkelahi pakai celurit
Banyak beberapa sumber yang menyebut bahwa carok adalah cara terakhir yang dipakai oleh orang Madura untuk menyelesaikan masalah. Anggapan itu sah-sah saja.
Tapi oh tapi, tidak semua masalah di Madura selesai karena carok. Alih-alih menyelesaikan masalah. Carok justru kerap kali menimbulkan masalah baru. Boleh dibilang, terkadang Carok jadi tradisi mewariskan masalah. Bagi saya, itu tidak perlu dibanggakan. Titik.
Saya perlu memberikan garis bawah soal carok. Pertama, orang berkelahi gunakan celurit, meskipun itu terjadi di Madura atau dilakukan oleh ia yang berdarah Madura, tidak serta merta bisa disebut carok.
Sebab, orang akan lakukan carok biasanya dipicu oleh permasalahan yang menyangkut harga diri: rebutan sumber air atau irigasi, warisan/harta, kedudukan, perempuan (ibu, istri, anak, saudara perempuannya) diganggu oleh orang.
Tapi sejauh ini, yang kerap terjadi lebih ke poin yang ketiga; perempuannya (khususnya istri) diganggu oleh orang lain. Saya menyebut ini bukan lantas perempuan penyebab carok. Tidak. Tapi, lebih ke “laki-laki Madura itu sangat cinta dan untuk jaga martabat perempuan”. Lebih tegas; harga diri perempuan, bagi lelaki Madura, juga harga dirinya yang tidak boleh diganggu oleh siapapun.
Kedua, senjata yang digunakan untuk carok, itu bukan asal celurit. Ada celurit khusus, baik hasil warisan sesepuh, atau beli sendiri dan itu sudah èjâsâ’ (dimandikan kembang pada malam tertentu, dibacakan mantra sesuai kepercayaannya). Bahkan, celurit itu disimpan di tempat khusus. Baik di lemari, digantung di belakang pintu, dan tempat-tempat yang menurut tuannya aman dan sakral.
Bentuk celurit Madura umumnya melengkung serupa tanda tanya. Tapi, ada memang celurit yang sampai dituliskan bacaan tertentu. Pun, dengan gagang celuritnya ada yang sampai diukir dengan gambar tertentu. Ada yang serupa kepala ular, burung, ayam dan lainnya. Tergantung selera. Bijinya (besi yang melengkung) pun sampai dituliskan lafadz-lafadz tertentu.
Jadi, celurit yang digunakan untuk carok. Bukan celurit untuk ngarit rumput pakan ternak. Bagi orang Madura, kepemilikan dan kegunaan celurit tidak hanya untuk carok. Tapi ada juga sebagai senjata bila ada serangan dari orang yang niat jahat.
Ketiga, carok tidak terjadi begitu saja. Ada tahapan yang akan-harus dilalui oleh orang hendak melakukannya. Mulai dari masalahnya harus jelas, diketahui oleh keluarga besar kedua belah pihak untuk melakukan musyawarah, hendak duel dimana, harus satu-satu (yang bersengketa) bukan keroyokan, sampai ada perjanjian lainnya.
Carok dianggap selesai, bila salah satu dari dua orang yang berduel itu sudah mati. Tidak boleh ada balas dendam apalagi dibantu oleh sanak familinya saat duel. Pemenangnya akan menyerahkan kepada pihak berwenang.
Jadi, carok pada hakikatnya adalah pertaruhan harga diri. Tidak dilakukan sembarangan. Pada poin musyawarah sebelum duel, bila masalah yang dimaksud masih bisa dikomunikasikan, maka tidak akan sampai terjadi carok.
Tetapi pada poin pemicu carok yang akan dilakukan ketika berkenaan dengan martabat perempuan (khususnya istri), itu mayoritas sampai terjadi.
Saya sendiri, sebagai orang Madura, tidak begitu respect dengan hal-hal berbau carok itu. Sebab, masalah tidak akan bisa diselesaikan dengan kekerasan, apalagi sampai mengalirkan darah bahkan bikin nyawa melayang.
Jadi, carok itu bukan berkelahi pakai celurit ketemu di jalan lalu ujuk-ujuk sabet sana sini ngawur, apalagi main belakang. Bukan ramai-ramai petantang-petenteng bawa celurit seperti saat Pilkadesan seperti yang pernah viral.
Pun, tidak semua orang Madura punya celurit khusus carok itu apalagi bawa ke sana kemari seperti ponsel. Apalagi, bawa sajam ke sana kemari sudah dilarang oleh hukum.
Tidak semua orang Madura menyelesaikan masalahnya dengan cara carok. Terlebih, hari ini, sudah banyak orang mulai sadar karena pendidikan–dan kesadaran nurani.
Bila mengacu pada beberapa tahapan diatas, bisa dibilang, hari ini carok sudah tidak ada. Yang ada hanya berkelahi gunakan celurit saja dan masalahanya pun kadang sepele bahkan kesalahpahaman saja. Kejadian-kejadian perkelahian semacam itu tidak bisa disebut carok.
Ada yang bilang, carok itu warisan jahiliyahnya Madura. Sebab cara itu disebut menyelesaikan persoalan dengan kekerasan.
Stereotip watak orang Madura “keras” itu buatan orang tak bertanggungjawab
Seperti manusia pada umumnya, orang Madura itu, bisa ramah juga bisa marah. Mau orang Madura, mau orang luar Madura, kalau diganggu, ya, akan marah. Ambil contoh, kita mau dibegal, ya, tentu akan melawan dan marah. Atau, tetiba, ketemu orang dijalan langsung meludah ke muka kita.
Logika sederhananya, semut saja, hewan yang dalam kepercayaan penciptaan, itu tidak dibekali akal, jika diganggu, ya jelas menyerang balik. Minimal, akan gigit pada bagian yang dapat dijangkau.pun dengan hewan-hewan lainnya.
Atau, kalau tidak percaya, coba pembaca pergi ke sarang lebah untuk ambil madu. Lsayakan dengan pakaian–alat selengkap mungkin. Lebah akan lsayakan perlawanan. Atau kalau mau uji nyali, coba lsayakan dengan pakaian seadanya. Coba lihat, apa yang akan dilsayakan lebah-lebah itu? Saya jamin, bisa saja dapat Madu plus bonusnya; bengkak akibat sengatan.
Pun ketika bicara orang Madura maupun orang luar Madura. Jika harta, atau apalah yang jadi miliknya diganggu, dibully fisik maupun non fisik, direndahkan, dan bentuk gangguan lainnya, atau tubuhnya tiba-tiba disakiti dengan sengaja, pasti akan bereaksi. Minimal, bentuk reaksinya berupa umpatan.
Namanya juga manusia, mau dari suku langit ketujuh, atau suku bumi lapis kesembilan, kalau sudah diganggu, jelas akan menunjukkan sikap melawan dengan daya yang dimiliki.
Bicara watak orang Madura, ya, yang pemarah ada, yang ramah ada, yang ketar-ketir hadapi gertakan bahkan perampokan ada, yang nangisan atau ketemu begal langsung pucat bahkan sampai kencing di celana, itu juga ada.
Intinya, anggapan “manusia Madura itu pemarah, kalau ada masalah sepele ujuk-ujuk langsung main celurit langsung carok” itu tidak bisa dibenarkan. Asumsi itu bila ibarat hadist, ya hadisnya palsu, periwayatnya dhoif.
Pun, anggapan orang Madura itu tipikal pekerja keras. Halah, itu juga bisa dibantah. Sebab, ya, manusiwa Madura itu beragam. Pemalas ada, pekerja keras ada, penjilat ada, cerdas juga ada, kurang cerdas ada, taat ibadah ada, rajin belajar ada, pintar ada, sampai yang pintar mengakali juga ada, serta ia yang mungkin pencuri juga ada.
Apakah tipikal-tipikal manusia seperti diatas, tidak ada di daerah lain alias hanya ada di Madura? Tidak usah jawab, ini bukan teka-teki berhadiah! Haha.
Madura bukan pulau gersang
Banyak yang bilang, secara geografis, tanah di Madura keras dan kering atau kekurangan air. Plisss, jangan percaya begitu saja hal-hal demikian. Asumsi, seperti hendak makan telur. Kalau ditelan bulat-bulat, besar kemungkinan akan keselek. Ya sama, Madura seperti di pulau-pulau lain di Indonesia ini. Ada wilayahnya yang kekurangan air, apalagi musim kemarau. Ada juga yang meskipun kemarau, air tidak henti-hentinya mengalir.
Saya ambil contoh, di daerah Kecamatan Pakong, Pamekasan. Di sana, ada wilayah yang luasnya saya belum sempat hitung, punya sumber mata air yang melimpah. Bahkan, air mengalir di belakang dapur-rumah warga meskipun musim kemarau melanda. Lahan-lahan di sana sangat subur. Ketimur dikit, ada daerah bagian utara di Kecamatan Guluk-guluk Sumenep. Di sana, sumber mata air sangat melimpah.
Pun, ketika bicara kontur tanahnya. Ada daerah yang tanahnya memang keras bahkan berbatu. Ini terdapat di daerah pegunungan maupun lembah. Ambil contoh, di Daerah Kecamatan Batumarmar, Pamekasan. Di sana, ada wilayah yang tanahnya tidak cocok digunakan untuk pertanian padi. Cocoknya, jagung. Itu pun tidak begitu tumbuh subur. Alasannya, karena berbatu. Maka warga yang punya tanah di wilayah tersebut manfaatkan lahannya untuk penambangan batu bata untuk bahan bangunan.
Di Kecamatan Waru, tanah kelahiran saya, ada wilayah yang sampai beli air ketika musim kemarau. Baik untuk pertanian maupun untuk kebutuhan minum, mandi dan lainnya. Di desa yang masih masuk kecamatan yang sama, justru air melimpah. Warga bisa airi lahan pertaniannya dengan gembira.
Artinya, kalau mau ngomong Pulau Madura adalah tanahnya gersang, pliss pikir-pikir dulu. Lagian, coba deh, sesekali kalau ke Madura, ya, pergi ke pedesaan yang masih sejuk dan asri. Jangan hanya sampai ujung Suramadu doang, Tangkel, hanya untuk cicipi kuliner bebek dengan segala mereknya.
Madura, besi tua dan toko kelontong “Warung Madura”
Sekitar medio 2023 lalu, saya ngopi-ngopi di sekitar Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Sekira 30 menit menikmati kopi dan camilan, ada tiga orang mendekat.
“Dari mana, mas?” sembari menyalakan korek, lalu menghisap sebatang rokok.
“Madura, Om.” Saya menjawab singkat.
“Warungnya di mana?” mendengar itu, saya tersenyum.
Sambil menggeleng pelan, saya jawab “Nggak punya warung, Om”
“Oh, atau usaha besi tua? Di mana?” Tampaknya orang itu semakin kepo. Saya pun memberikan jawaban yang sama, hanya diganti konteks jadi besi tua.
“Tapi, biasanya, orang Madura itu kalau ke Jakarta, ya kalau tidak kuliah, ya, buka warung atau usaha besi tua.” Orang itu menjelaskan asumsinya tanpa jeda dan ketawa bersama kawan-kawannya. Saya pun ikut tertawa kecil dan menjelaskan, habis perjalanan hendak mau pulang ke Madura.
Obrolan itu, sekilas memang lucu. Pada poin ini yang juga perlu saya luruskan. Bahwa, tidak semua orang Madura itu kenal dengan konsep warung kelontong (Warung Madura) yang katanya buka 24 jam dan tutupnya hanya saat kiamat. Itu pun akan buka setengah hari. Begitupun dengan usaha besi tua.
Orang yang merantau ke Jakarta pun, tidak semua buka dua usaha itu. Ada yang jualan sayur, kuliah, kerja kantoran, bahkan jadi dosen dan lainnya.
Disclaimer dulu. Bahasan dua hal di atas, tidak bermaksud untuk menyepelekan usaha besi tua atau warung kelontong. Tidak. Bagi saya, pekerjaan atau usaha apapun, yang penting halal. Itu sah-sah saja, bahkan wajib bagi siapapun bila mampu sebagai bentuk ikhtiar cari nafkah. Baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga.
Apalagi warung Madura itu adalah usaha yang modalnya cukup besar, yang digagas sejumlah trètan Madura di banyak tempat. Bukan hanya di Jakarta. Bahkan, dari saking lancarnya usaha tersebut, kemarin sempat ramai bahwa warung Madura di Bali, dapat atensi oleh pemerintah agar tidak buka 24 jam. Ya, meskipun pemerintah keluarkan kebijakan itu mungkin terdesak oleh oknum pengusaha serupa tapi lebih besar dan kalah saing dalam bisnisnya.
Bahkan, netizen banyak yang bela keberadaan warung Madura di banyak tempat.pasalnya, warung Madura jadi pos pantau gratis bagi pengendara yang kerap pulang larut. Jadi, adanya warung yang buka, jadi tidak begitu sepi di perjalanan.
Komentar lain, ada yang bilang bahwa warung Madura selain harga lebih murah, dapat bantu orang-orang di perkotaan yang butuh sesuatu pada dini hari. Entah obat lah, makanan instan lah.
Pemilik warung Madura, juga bisa buka peluang kerja untuk pengangguran. Baik itu warga di sekitar lokasi warung itu, bahkan memanggil sanak saudaranya di kampung halaman untuk jagain warung tersebut.
Pun dengan usaha besi tua yang tidak bisa dianggap remeh. Saya tahu sendiri, di desa sebelah, ada yang ekonominya meningkat sampai berada diatas rata-rata berkat usaha besi tua di Jakarta.
Pada pon ini, yang ingin saya tegaskan adalah, ya, kalau ngomongin orang Madura di Jakarta, tidak semuanya buka warung kelontong dan usaha besi tua saja. Dan melalui tulisan ini, saya mengajak kepada pembaca, mari doakan trètan Madura yang buka usaha itu diparingi lancar dan berkah.
Sakera bukan pahlawan Madura dan baju pesa’annya bukan baju adat Madura
Aneh bin ajaib, Sakera dirumorkan sebagai Pahlawan Madura. Baju Pesa’an lengkap odhengnya dianggap sebagai baju adat Madura.
Menganggap Sakera atau sosok bernama asli Sadiman itu sebagai pahlawan orang Madura, itu sah-sah saja. Namanya anggapan. Tapi, itu anggapan yang salah. Untuk lebih jelas, saya coba ulas sedikit tentang dia dan baju pesa’annya.
Nama Sakera merujuk pada kata “kerah” yang punya arti bertarung. Sehingga dikenal dengan Sang Kerah (petarung), yang diakronimkan jadi Sakera. Ia berjuang melawan penindasan di sekitar pabrik gula Hindia Belanda di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, bukan di Madura.
Ya, meskipun ia dalam banyak catatan disebut memperjuangkan orang-orang (buruh) Madura di perkebunan tebu pada abad ke-19 tersebut, tidak lantas layak disebut Pahlawan Madura. Terlebih, ia sampai jadi simbol kepahlawanan orang Madura dalam beberapa literatur.
Mirisnya lagi, buku-buku-atlas yang memuat baju adat Nusantara, mencatut baju pesa’annya Sakera sebagai baju adatnya atau pakaian tradisional Madura.
Saya, yang asli Madura, tidak pernah melihat sesepuh saya memakai baju pesa’an dalam pelaksanaan tradisi di Madura. Coba dipikir dengan logis; baju adat, pada masyarakat adat-suku lain, biasanya dipakai dalam pagelaran tradisi tertentu. Termasuk, ketika pernikahan.
Dalam hal ini, saya ingin tegaskan, anggapan bahwa baju loreng merah putih, kemeja tipis warna hitam sampai odhengnya itu bukan baju adat Madura. Lalu, baju adatnya Madura itu seperti apa? Madura tidak punya baju adat.
Pakaian orang Madura; Perempuannya ada yang pakai kerudung, sarung atau sampèr. Pakai baju biasa, bukan kebaya apalagi daster. Ada juga yang tidak pakai kerudung. Laki-lakinya; sarungan, pakai peci, baju hem biasa atau kaosan. Tidak ada warna atau motif khusus.
Bila ingin tahu cara berpakain tradisional perempuan Madura, bisa lihat Maliyeh, Konten Kreator Emmak Tapai. Sementara pakaian laki-laki Madura, bisa intip gaya Badrus Zeman, Musisi Band Lorjhu’. Coba intip juga cara berpakaian Kiai Faizi, salah satu sastrawan sekaligus tokoh santri asal Guluk-guluk, Sumenep. Lagi, coba lihat cara berpakain Kiai Dardiri, salah satu pemimpin pondok pesantren di Sumenep.
Pakaian semacam itu tidak-belum ada yang sebut sebagai baju adat Madura. Kenapa? Ya, karena baju adat Madura sudah kadung disematkan kepada Baju pesa’annya Sakera dan kebaya Marlena.
Yang sangat saya sayangkan, beberapa lembaga pemerintahan di Madura, dengan bangga sampai bikin aturan agar ASN, pakai baju itu pada hari tertentu. Bahkan, ada lembaga pendidikan negeri yang meminta siswa pakai baju itu pada hari tertentu. Alasannya, sebagai upaya merawat warisan budaya.
Pertanyaan saya, warisan budaya mana? Siapa yang jamin itu adalah warisan Budaya Madura? Coba dipikir, Sakera yang bajunya dijadikan rujukan anggapan tersebut, itu berjuang di mana? Dia itu orang Mana? Kan, tidak jelas juga asal-muasal kesukuan dia. Apalagi asal muasal Sakera yang dibilang dari Madura, itu dapat bantahan dari banyak sumber.
Mungkin saja, pembaca ada yang berpikir : “Ini fafifu soal Madura, tapi tidak cantumkan referensi tentang Madura. Banyak kan, jurnal atau buku-buku yang mengulas tentang Kemaduraan?”
Baik, saya jawab: Saya asli Madura; luar dalam depan belakang. Jadi, yang saya tulis di ini adalah Madura alami. Saya memang tidak respect pada jurnal-jurnal bahkan buku-buku yang mengulas tentang Madura. Apalagi, peneliti-penulisnya bukan orang Madura.
Kenapa? Ya, karena jurnal-jurnal bahkan buku-buku itu hanya proyekan yang, penulisnya banyak kebelet ingin dapat pengakuan. Tanpa mempertimbangkan keluasan penelitiannya, mengabaikan kebijaksanaan dalam menggambarkan tentang Madura, mengabaikan Madura dari banyak sisi, bahkan mengaburkan keMaduraan yang sebenarnya.
Bila ingin baca tentang Madura dalam bentuk buku, saya sarankan baca buku “Madura Niskala” karya Royyan Julian. Di sana, ada ulasan tentang bagaimana Madura telah banyak dikaburkan oleh sejumlah peneliti asal luar Madura. Termasuk kebudayaanya.
Wahai pembaca yang budiman, mator sakalangong sudah sudi khatamkan tulisan ini. Pertanyaan saya sekarang, bagaimana setelah membaca tulisan ini, masihkah Anda akan memelihara anggapan-anggapan keliru tentang Madura; manusianya pemarah dan suka carok, tanahnya gersang, Sakera pahlawan Madura, baju Pesa’annya Sakera dan kebaya Marlena sebagai baju Adatnya?
Bila itu tetap dipelihara, secara tidak langsung, Anda memelihara kekeliruan seumur hidup. Sebab, stereotip pada kelompok tertentu itu tidak sesuai dengan kebhinekaan dan prikemaduraan yang alamiah.
Ilustrasi : Asumsi tentang Madura -Desain by Canva-Gafur
*Orang Madura asli luar dalam depan belakang.