Jakarta – Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Donggoran, Raymundus Rikang, dan Stefanus Pramono, jurnalis Tempo dapat Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau, Rabu 31 Januari 2024.
Kelima jurnalis cetak yang siaran di podcast “Bocor Alus” itu dinilai berani masuk ke media siaran guna menerangkan berbagai manuver hukum dan politik dari Istana Merdeka.
Mereka juga dinilai kritis meliput berbagai usaha Presiden Joko Widodo konsolidasi kekuasaan.
Yuliana Lantipo dari Yayasan Pantau mengatakan, “Dari liputan jurnalis di lapangan, dorang buang suara dalam Bocor Alus,” katanya, dalam keterangan tertulis.
Dia bilang, program Bocor Alus miliki Majalah Tempo itu penting, termasuk buat kitorang di Tanah Papua, karena jurnalis biasa turun ke lapangan, wawancara banyak sumber, bukan sekadar omon-omon.
Menurutnya, liputan soal Presiden Jokowi, bukan pekerjaan mudah karena Jokowi bergerak tertutup. Lewat komunikasi pribadi maupun perantaraan orang kepercayaan dan keluarganya, namun canggih dalam public relations. Jokowi mampu membentuk citra dirinya.
Tentang “Bocor Alus”
Bocor Alus adalah podcast milik majalah Tempo lewat YouTube maupun Spotify, terbit setiap hari Sabtu, guna menyebarkan informasi kepada masyarakat.
Pada 2023, Bocor Alus dapat penghargaan dari YouTube sebagai kanal paling laju pertumbuhannya, serta kanal paling populer di Spotify Indonesia.

Sejak periode kedua, tahun 2019, Presiden Jokowi melakukan berbagai manuver guna mencapai berbagai ambisinya, termasuk bangun ibukota Nusantara di Pulau Kalimantan.
Bocor Alus, ujar Lantipo, mencoba menerangkan sesuatu yang masih berlangsung. Ini bukan pekerjaan mudah karena perlu waktu lama guna menilai berbagai manuver Jokowi. Dan waktu adalah barang mewah dalam jurnalisme.
“Intinya, Jokowi diduga melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, mendorong pembuatan omnibus law yang melanggar hak buruh. Lakukan hilirisasi tambang tanpa perlindungan lingkungan hidup serta masyarakat adat,” jelasnya.
Dia bilang, Jokowi juga diduga meresmikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan puluhan pasal yang melanggar standar hak asasi internasional. Membuat revisi aturan pemilihan umum dimana gubernur, walikota, dan bupati langsung selesai masa jabatan, sesuai waktu, dan pejabat diangkat Presiden Jokowi tanpa pemilihan.
Presiden Jokowi, ungkapnya, juga membuat aturan dimana pejabat militer dan polisi bisa dijadikan sebagai pejabat sipil –praktik yang sama dengan pemerintahan Presiden Soeharto dalam apa yang disebut “Dwifungsi ABRI.”
Dia menilai, langkah Presiden Jokowi yang paling kontroversial adalah membuat anaknya, Gibran Rakabuming Raka, jadi calon wakil presiden pada 2023.
“Jokowi beri kontribusi besar dalam menciptakan situasi tersebut, diduga lewat iparnya, Anwar Usman, selaku ketua Mahkamah Konstitusi, membengkokkan persyaratan calon presiden dan wakil presiden agar Gibran, yang baru umur 36 tahun, bisa mengatasi syarat usia minimal 40 tahun,” katanya.
Bocor Alus, katanya, bahas peranan Iriana, istri Presiden Jokowi, dalam membuat Gibran, bisa jadi calon wakil presiden, bersama dengan Anwar Usman.
Beberapa kritisi soroti cara Bocor Alus, maupun Tempo, mengedepankan Iriana, seakan-akan Iriana bergerak sendiri, sebagai tindakan yang menyudutkan perempuan.
“Kritik harus diperhatikan dan Tempo perlu bikin evaluasi agar tak ada lagi liputan yang merendahkan perempuan,” kata Lantipo.
Berbagai manuver ini, dinilai sebagai “pengkhianatan reformasi 1998” dengan slogan melawan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Nepotisme dalam politik Indonesia sebenarnya barang umum di Indonesia.
Perbedaannya, politisi lain, termasuk mantan presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, tak mengguncangkan stabilitas negara lewat tindakan yang menimbulkan keraguan terhadap legitimasi lembaga-lembaga demokrasi, menurut pengamat politik Bill Liddle dari Ohio State University.
“Seberapa jauh Jokowi bertanggung jawab terhadap kemerosotan demokrasi di Indonesia? Bagaimana menilai berbagai pembangunan infrastruktur, dari kereta api sampai jembatan, dari bendungan sampai jalan raya? Ini akan menjadi pekerjaan sejarawan dalam beberapa dekade mendatang. Namun sejarah takkan menilai Jokowi dengan baik bila dia terus mengganggu proses demokrasi,” jelasnya.
Dia mengatakan, Jokowi resminya anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang mendukungnya sejak calon walikota Solo pada 2004, namun secara real dia adalah tokoh penting, dalam Partai Solidaritas Indonesia.
Pada September 2024, putra bungsunya, Kaesang, bergabung dengan PSI dan dua hari kemudian diangkat jadi ketua umum. Ini takkan terjadi bila Kaesang bukan putra Jokowi.
Gibran, katanya, sebagai calon wakil presiden dari Prabowo Subianto, sulit berharap Presiden Jokowi bersikap netral dalam pemilihan umum.
“Bocor Alus memberikan contoh bahwa media seyogyanya menerangkan kepada masyarakat kemungkinan Jokowi memakai kekuasaan kepresidenan untuk berbuat curang dalam pemilihan umum,” terangnya.
Tentang Tempo
Tempo berdiri di Jakarta pada 1971 oleh beberapa jurnalis muda termasuk Goenawan Mohamad sebagai pemimpin redaksi. Janet E. Steele dalam buku Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia (2005) menerangkan jatuh-bangun Tempo, termasuk ketika ia dibredel pada 1994.
Goenawan ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen serta Institut Studi Arus Informasi pada 1994 dan 1995. Goenawan ikut bangun kembali Tempo, ketika terbit lagi pada 1998, sesudah Presiden Soeharto mundur.
Independensi dari sumber, maupun kekuasaan politik, militer, ekonomi, agama, dan lainnya, kata Yuliana, adalah elemen jurnalisme. Tempo, juga Bocor Alus, punya tradisi buat selalu mempertanyakan independensi mereka.
“Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Verifikasi itu perlu agar kitorang berpikir, agar kitorang kasih turun lewat komputer jadi tulisan. Tulisan di layar komputer bisa dibaca ulang, disunting dan dibuat sebetul-betulnya. Bocor Alus adalah omon-omon dengan dasar verifikasi,” kata Lantipo.
Kelima jurnalis ini, katanya, sudah bekerja buat Tempo setidaknya delapan tahun. Stefanus Pramono, yang paling senior dari mereka, sudah bekerja 18 tahun.
Profil Penerima Penghargaan Oktovianus Pogau
Dalam keterangan tertulis dijelaskan, Egi Adyatama, kelahiran Garut tahun 1992, lulusan dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, bergabung dengan Tempo pada 2015.
Francisca Christy Rosana, kelahiran Yogyakarta tahun 1992, lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bergabung dengan Tempo pada 2014.
Hussein Abri Dongoran, kelahiran Jakarta tahun 1991, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, bergabung dengan Tempo pada 2014.
Raymundus Rikang, kelahiran Bandung, tahun 1991, lulusan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, bergabung dengan Tempo pada 2014.
Stefanus Pramono, kelahiran Jakarta tahun 1981, lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, bergabung dengan Tempo pada 2005.
Tentang Penghargaan Oktovianus Pogau
Nama Oktovianus Pogau, diambil dari nama seorang jurnalis Papua. Lahir di Sugapa, tahun 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura. Penghargaan ini diberikan setiap tahun guna mengenang keberanian Pogau.
Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang asli Papua ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Dia merekam suara tembakan. Tiga orang Papua meninggal dan lima orang dipenjara dengan vonis makar. Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau bikin Suara Papua pada 10 Desember 2011.
Juri Penghargaan Pogau terdiri dari Andreas Harsono (Jakarta), Alexander Mering (Pontianak, Bogor), Coen Husain Pontoh (New York, Bolaang Mongondow), Made Ali (Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jayapura).
Lantipo, kini redaktur Tabloid Jubi di Jayapura, pernah bekerja buat harian Sinar Harapan di Jakarta. Tugasnya, adalah liputan Balai Kota Jakarta ketika Jokowi jadi gubernur pada 2012-2014. Jokowi mengenal Lantipo, boleh jadi sebagai satu-satunya jurnalis Papua, yang ditugaskan di Balai Kota.
*Artikel ini dibuat berdasarkan siaran pers di website resmi Yayasan Pantau.