Beranda » Krisis Iklim Semakin Nyata di Jawa Timur

Krisis Iklim Semakin Nyata di Jawa Timur

Catatan Walhi Jawa Timur

Krisis iklim merupakan tantangan bersama yang membutuhkan kerja sama lintas sektor. Langkah-langkah adaptasi dan mitigasi harus segera dilakukan untuk melindungi masyarakat Jawa Timur dari dampak yang semakin parah.

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang semakin mendesak. Dampaknya dirasakan secara nyata, termasuk di Jawa Timur, yang menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang paling rentan terhadap perubahan pola cuaca ekstrem. Peningkatan suhu global akibat aktivitas manusia telah memengaruhi pola hujan, suhu atmosfer, dan kejadian bencana alam.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa kejadian cuaca ekstrem, seperti banjir dan kekeringan, akan semakin sering terjadi di masa yang akan datang, semua ini bisa semakin cepat terjadi, saat. langkah mitigasi yang signifikan tidak segera diambil (IPCC, 2023).

Perubahan ini mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial yang besar, termasuk di sektor pertanian, infrastruktur, dan mata pencaharian masyarakat. Menurut laporan CRED (2015), lebih dari 50% kerugian finansial global yang tercatat akibat bencana terkait iklim, seperti banjir dan kekeringan. Hal ini menjadi ancaman serius, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki ketergantungan tinggi pada sumber daya alam.

Bukti Krisis Iklim  di Jawa Timur

  1. Kekeringan Akut

Pada tahun 2024, sebanyak 27 kabupaten/kota di Jawa Timur mengalami kekeringan. Kekeringan ini tidak hanya menyebabkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air bersih tetapi juga berdampak serius pada sektor pertanian. Empat kabupaten, yaitu Jombang, Blitar, Lumajang, dan Pacitan, bahkan menetapkan status tanggap darurat kekeringan. Beberapa daerah lain dengan jumlah desa terdampak signifikan meliputi: Sampang, 102 desa; Pamekasan, 72 desa; Ponorogo, 3 desa; Trenggalek, 24 desa; Lamongan, 12 desa; Kabupaten Malang, 20 desa.

Kekeringan tersebut disebabkan oleh perubahan pola curah hujan dan suhu atmosfer yang meningkat, yang memicu penguapan air secara lebih cepat, sehingga memperburuk kekeringan di wilayah yang sudah rentan. Studi yang dilakukan oleh Zhao dkk. (2020) menunjukkan bahwa kejadian kekeringan ekstrem semakin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu atmosfer, yang berdampak pada gangguan sistem hidrologi (Zhao et al., 2020).

  1. Banjir

Sementara itu, banjir menjadi ancaman serius di Jawa Timur. Sepanjang tahun 2023, 13 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur dilanda banjir besar. Banjir ini disebabkan oleh tingginya curah hujan yang menyebabkan sungai-sungai utama meluap. Wilayah yang terdampak yaitu Wilayah DAS Bengawan Solo, yakni Ngawi, Madiun, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Luapan sungai Bengawan Solo menjadi penyebab utama banjir di wilayah ini.

Tidak hanya Bengawan Solo, wilayah DAS Brantas yaitu Jombang dan Mojokerto Raya juga diterjang banjir. Banjir di wilayah ini disebabkan oleh meluapnya anak-anak sungai sungai Brantas dan disebabkan oleh kerusakan tanggul.

Sementara di Pulau Madura, seperti Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan juga tidak luput dari sergapan banjir. Luapan sungai utama di Madura menjadi pemicu banjir yang melanda tiga dari empat kabupaten di pulau ini.

Banjir ini tidak hanya berdampak pada kerusakan infrastruktur, tetapi juga mengganggu aktivitas ekonomi, terutama sektor pertanian. Data menunjukkan bahwa pada Desember 2024 saja, banjir telah merendam 1.138,61 hektare lahan persawahan, dengan 46,40 hektare mengalami puso (gagal panen). Secara kumulatif, sepanjang tahun 2024, total 15.842,02 hektare lahan pertanian terdampak banjir, dengan 1.331,65 hektare puso. Kabupaten yang paling parah terkena dampaknya adalah:

  1. Lamongan: 978,80 hektare terdampak, dengan puso 398,30 hektare
  2. Jombang: 838 hektare terdampak
  3. Sidoarjo: 96 hektare terdampak, dengan puso 6 hektare.
  4. Mojokerto Raya: Total 102 hektare terdampak, dengan puso 41,40 hektare

Salah satu dampak perubahan iklim yang semakin nyata adalah adanya pola cuaca ekstrem yang saling berinteraksi. Wilayah yang rentan kekeringan sering kali juga menghadapi banjir dalam waktu singkat. Fenomena ini diperparah oleh kerusakan ekosistem lokal, seperti hilangnya daerah tangkapan air, sedimentasi sungai, dan degradasi lahan gambut. Studi yang dilakukan oleh Wieder dkk. (2022) menunjukkan bahwa gangguan sistem hidrologi akibat perubahan iklim meningkatkan risiko kejadian kekeringan dan banjir secara bersamaan (Wieder et al., 2022).

Mengulangi Lagi Tawaran Solusi

Sudah berulangkali kami mengatakan hal ini kepada pemangku kepentingan, bahwa dalam menghadapi krisis iklim di Jawa Timur, diperlukan langkah-langkah konkret yang mencakup mitigasi dan adaptasi. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Peningkatan Kapasitas Infrastruktur
  2. Perbaikan tanggul, rehabilitasi saluran irigasi, dan pembangunan daerah resapan air untuk mengurangi risiko banjir.
  3. Pengelolaan air secara terpadu untuk memastikan ketersediaan air di musim kering.
  4. Rehabilitasi Ekosistem seperti reforestasi di daerah tangkapan air dan penanaman mangrove di wilayah pesisir untuk mengurangi risiko abrasi dan banjir rob.
  5. Pendidikan dan publik dengan melakukan edukasi ke masyarakat mengenai dampak perubahan iklim dan cara mengurangi risiko bencana.
  6. Penguatan kebijakan berupa integrasi mitigasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan daerah, termasuk penerapan praktik pertanian adaptif dan perlindungan terhadap daerah aliran sungai.

Kami tegaskan, krisis iklim merupakan tantangan bersama yang membutuhkan kerja sama lintas sektor. Langkah-langkah adaptasi dan mitigasi harus segera dilakukan untuk melindungi masyarakat Jawa Timur dari dampak yang semakin parah.

Foto: Beberapa anak sedang asyik bermain di tengah banjir rob di depan Masjid Al Musthofa, (13/06/2022). [Zulfikar/alfikr.id]

Referensi

IPCC. (2023). Summary for Policymakers. In: Climate Change 2023: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing Team, H. Lee and J. Romero (eds.)]. doi: 10.59327/IPCC/AR6-9789291691647

Gutiérrez, J. M., et al. (2021). The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Sixth Assessment Report of the IPCC. Cambridge University Press. doi: 10.1017/9781009157896.001

CRED. (2015). The Human Cost of Natural Disasters: A Global Perspective. Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED). https://www.researchgate.net/publication/317645955

Zhao, Y., Weng, Z., Chen, H., Yang, J. (2020). Analysis of the evolution of drought, flood, and drought-flood abrupt alternation events under climate change using the daily SWAP index. Water. doi: 10.3390/w12071969

Wieder, W. R., et al. (2022). Pervasive alterations to snow-dominated ecosystem functions under climate change. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 119(30). doi: 10.1073/pnas.2202393119

Tulisan ini merupakan republikasi dari laman resmi Walhi Jawa Timur

Admin