Komunitas Tanoker luncurkan karya berupa buku, video dokumenter dan film tentang pola pengasuhan gotong royong anak-anak pekerja migran di Ledokombo, Jember dan sekitarnya melalui, Selasa (15/10/2024).
Komunitas ini didirikan oleh Farha Ciciek dan Suporahardjo serta anak-anak di lingkungan sekitarnya, pada 10 Desember 2009 di Kecamatan Ledokombo, Jember. Kata “Tanoker” berasal dari Bahasa Madura yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti kepompong. Komunitas ini memiliki semboyan “bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”.
Tanoker memiliki fokus pada pendampingan anak-anak terutama setingkat SD dan SMP untuk dapat mengembangkan potensi dan karakter mereka. Anggota Tanoker pada umumnya adalah putra-putri buruh migran (TKW/TKI), buruh tani, tukang ojek, supir, pedagang kecil, guru, pekerja rumahtangga dan pegawai negeri/swasta.
Keberadaan pekerja migran Indonesia yang bekerja ke berbagai negara selalu melahirkan dan dikuti beragam kisah, kisah baik maupun sebaliknya. Kisah baik terbukti sebagaimana mereka para pekerja migran sangat membantu mengatasi masalah perekonomian dan bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga, sementara kisah sebaliknya cenderung tidak menyurutkannya, itu fenomena.
Kecenderungan itu tampak dimana pilihan sebagai pekerja migran masih menarik bagi masyarakat Indonesia, termasuk di Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada Juni 2023, 1.357.91 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja di berbagai negara di dunia.
Farha Ciciek, pendiri Tanoker mengatakan, pertimbangan pilihan menjadi PMI karena dinilai itu berkontribusi positif bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Namun dibaliknya, itu menyisakan sejumlah masalah yang dihadapi keluarga PMI yang ditinggalkan, termasuk masalah pengasuhan anak.
“Keadaan itu menyebabkan anak harus menghadapi resiko multi-kerentanan dalam pengasuhan dari berbagai segi, baik akses pendidikan (putus sekolah), kesehatan (tidak terjaganya pola hidup bersih dan sehat), sosial (salah pergaulan, kekerasan, perkelahian, penyalahgunaan narkoba, kehamilan yang tidak diinginkan) dan perencanaan masa depan (nikah di usia anak),” terang Ciciek, dalam keterangannya.
Di tengah problematika situasi pengasuhan anak tersebut, jelasnya, sejak tahun 2009, Tanoker Ledokombo merespons dengan mengembangkan satu model pengasuhan, pengasuhan gotong royong.
Dia menjelaskan, pengasuhan gotong royong itu berbasis komunitas, dengan keterlibatan semua elemen dan kehadiran negara di dalamnya yang mana kemudian kepengasuhan anak tidak lagi terbatas hanya dilakukan keluarga, melainkan dilakukan bersama-sama dan berkembang menjadi tanggungjawab bersama.
Model pengasuhan ini, katanya, telah diterapkan secara adaptif di banyak tempat termasuk beberapa pesantren, antara lain di Pesantren At-Tanwir, Jember, Pesantren Nurussalam, Bondowoso dan Pesatren As-Shofiyah, Banyuwangi.
“Pengalaman mengembangkan pengasuhan gotong royong dengan berbagai pola dan latar belakang komunitas itu menginsipirasi Tanoker untuk mendokumentasikannya dalam bentuk buku, video dan film sebagai prasarana pembelajaran bersama yang inklusif,” ujarnya.
Dia bilang, secara spesifik peluncuran tiga karya tersebut untuk menyebarluaskan produk pendokumentasian pengasuhan gotong royong kepada masyarakat dan para pihak; memberi kesempatan bagi orang muda untuk menunjukkan peran kepeloporan dan keragaman karya yang telah dihasilkan sebagai proses pembelajaran bersama.
Proses pendokumentasian tersebut telah rampung diselesaikan dengan beragam cerita pengalaman yang menarik di dalamnya sebagai jejak upaya menggerakkan perubahan dari desa.
Selain itu, jelas Ciciek, pendokumentasian ini juga memberikan solusi alternatif dalam pengasuhan pada anak yang ditinggalkan orang tuanya sebagai PMI. Di sisi lain hal tersebut dapat memperkaya khazanah pola pengasuhan anak, yang dapat direplikasi di daerah lain secara adaptif.
Peluncuran ini dilakukan bertepatan dengan pergelaran karya-karya Tanoker yang lain; dari jambore/festival karya orang muda Power to Youth, produk Kampung Wisata Damai, dan para eyang. Dari muda sampai lansia.
Ciciek membeberkan, peluncuran tiga karya tersebut menandai rekam jejak perjuangan Tanoker bersama lembaga pesantren dan masyarakat dalam mengukir ketangguhan dan menyerbuk perubahan dari desa. Mewujudkan pemuliaan desa damai yang memberikan ruang aman dan nyaman bagi perempuan, anak, disabilitas dan lansia, yang mengejawantah, sejalan dengan program KemenPPPA dalam bentuk Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Sementara Jambore Orang Muda, katanya, diharapkan dapat menjadi sarana apresiasi dan rekognisi unjuk karya orang muda yang menggambarkan inisiatif dan kepeloporan mereka dalam menggerakkan perubahan di tengah masyarakat menuju zero perkawinan anak.
Selain itu, acara tersebut juga dapat menjadi ruang dan kesempatan bagi orang muda untuk membagi dan menunjukkan karya-karya yang telah dihasilkan untuk didiseminasikan dan diiinformasikan kepada khalayak pengunjung sebagai pembelajaran bersama. Sementara produk Kampung Wisata Damai dan Sekolah Eyang menjadi refleksi pemuliaan desa damai.
Dia berharap, acara gelar karya ini diharapkan secara kualitatif dapat menambah bobot kesemarakan dengan ragam sajian acara yang advokatif dan edukatif. Sedangkan secara kuantitatif dapat menarik minat pengunjung dari lintas usia dan generasi. Sehingga peluncuran ini akan menjadi tempat perjumpaan yang membahagiakan semua orang dari bermacam latar belakang yang berbeda, baik masyarakat umum, orang muda, pemerintah, lembaga pendidikan, dunia usaha serta media dan lainnya.
Acara ini dihadiri oleh segenap lapisan dan stratifikasi sosial masyarakat serta unsur pemerintah. Dari Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya, tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, organisasi masyarakat sipil, lembaga pendidikan, media, kaum muda serta pemerhati isu Pekerja Migran Indonesia yang datang dari 3 kabupaten, yakni Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.
Data yang diterima Indoklik, acara ini dimulai sejak pukul 08.00 sampai 12.00 WIB di Ledokombo. Kegiatan diawali pemutaran video Tanoker dan pameran karya.
Acara dibuka dengan lagu kebangsaan, lalu penampilan tari egrang dan sambutan dari Pembina Tanoker, dari Pemerintah Kabupaten dan dari KemenPPPA. Kemudian sambutan sekapur sirih dari penulis buku dan pembuat video pengasuhan dilanjutkan pemutaran video Pengasuhan Gotong Royong dan penampilan dari Forum Anak Desa.
Kegiatan ini juga menghadirkan sejumlah tokoh lintas generasi dan lintass isu terkait; Yuniyanti Chuzaifah, Septi Peni Wulandari dan Kalis Mardiasih sebagai penanggapnya, Eko Novi Arianti.
Foto: Farha Ciciek, Pendiri Komunitas Tanoker sedang bermain bersama anak-anak di sekitar tempat tinggalnya di Ledokombo, Jember. (Dok. Tanoker)