“Dara Memeta Kota”, tema singkat dan padat yang mewakili Kalisat Tempo Dulu (KTD) ke-9. Melalui Merpati Getakan, Sudut Kalisat mengajak dunia untuk melihat sejarah Jember dari perspektif yang lain.
Dengan metode empiris, sejarah tentang budaya-budaya asli Jember akan ditelusuri perlahan lewat Merpati Getakan. Menarasikan apa yang tak bisa disampaikan lewat kata. Dengan pendekatan ilmu sejarah, kartografi, dan juga toponimi.
Begitu sempalan narasi yang disampaikan Zuhana Anibuddin Zuhro, pegiat Komunitas Sudut Kalisat, tentang pagelaran Kalisat Tempo Dulu (KTD) yang digelar pada 9-10 November 2024.
“Di tahun ke-9 ini, Komunitas Sudut Kalisat mencoba mengeksplorasi tentang satwa asli Jember, Merpati Getakan,” kata Hana, begitu disapa, Minggu (10/11/2024).
Eksibisi digelar di Ruang Ingatan (RI), sebuah rumah kolektif yang berada di Kampung Lorstkal Jalan Ki Hajar Dewantara 16, sebelah utara Stasiun Kalisat. Pagelaran ini juga sekaligus sebagai cara untuk menyambut Hari Pahlawan.
Menurutnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, KTD adalah persembahan hasil riset Sudut Kalisat yang disajikan melalui pameran terbuka. Sebuah cara untuk memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat pentingnya riset.
Dia menjelaskan, studi arsip dan manuskrip-manuskrip lama yang Sudut Kalisat coba hadirkan pada KTD 9 terbilang lain dari biasanya. Tahun ini merpati, sementara tahun sebelumnya adalah benda mati, foto lama dan batuan. Sebenarnya sudah beberapa tahun terakhir gagasan untuk membahas dan mengulas merpati telah ada sebelum sebelum pameran digelar.
“Sudut Kalisat telah belajar dari banyak pihak tentang Merpati Getakan. Terutama warga lokal yang melestarikannya. Ada banyak informasi sejarah budaya asli Jember yang tersimpan di baliknya,” katanya.
Keyakinan bahwa Merpati Getakan adalah satu-satunya merpati di Jember yang memiliki produk- produk budaya semakin kuat, dengan melihat bentuk arsitektur rumahnya atau yang kerap dinamai pejodon atau pajhudhun. Rumahnya terbuat dari bambu yang menjulang tinggi.
Produk budaya lain yang sudah tak asing lagi bagi masyarakat Jember, jelasnya, adalah musik patrol. Alih- alih untuk menghibur manusia, pada masa awal musik patrol diciptakan untuk Merpati Getakan. Alat musik lain yang kemudian tercipta adalah glundengan. Sebuah inovasi alat musik tradisional yang biasa digunakan untuk mengiringi Merpati Getakan.
“Hal unik lain dari Merpati Getakan adalah suara sowangan alami dari pita suaranya. Jika pernah mendengar layang-layang sowangan saat terbang, begitulah suaranya,” ujar Hana.
Dia bilang, Jember menjadi satu di antara lima wilayah lain tempat Merpati Getakan berdomisili. Diantaranya ada di perbatasan Bangil dengan Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Kalibaru Banyuwangi. Muasalnya ada di dua wilayah Jember kecuali kota. Yang pada zaman dahulu disebut Merpati balungan (mengacu pada Kecamatan Balung dan sekitarnya) dan Merpati Kalisatan (Kecamatan Kalisat dan sekitarnya).
Hana mengungkapkan, morfologi Merpati Getakan pun merepresentasikan ciri khas wilayah asalnya. Di KTD, Merpati Getakan dihadirkan langsung dengan segala pernak pernik khasnya. Sebuah lagu untuk mewakili Dara Memeta Kota juga telah diciptakan sebagai soundtrack KTD 9. Publik akan melihat, mendengar, dan merasakan apa yang ada di dalam pameran.
“Ada berbagai suguhan yang akan memandu publik menyelami lebih dalam tentang Merpati Getakan. Melalui diskusi, tarian, nyanyian, dan sejumlah karya seni lain,” jelasnya.
Hana menegaskan, Sudut Kalisat telah berkomitmen tidak akan berhenti sampai di KTD. Riset tentang Merpati Getakan akan terus berjalan. Membuktikan secara nyata kepada khalayak bahwa isu Merpati Getakan menyimpan kekayaan budaya bukanlah sekadar spontanitas.
“Dengan kekayaan ilmu pengetahuan yang ada di dalam Merpati Getakan, Sudut Kalisat akan menulis setidaknya tiga buku. Ini adalah upaya keberlanjutan yang tak terbatas waktu untuk mendalami Merpati Getakan,” katanya.
Menurut penuturan sang kurator pameran, Ahmad Hafid Hidayaturrahman, merpati sebenarnya bukan materi baru di acara yang digelar setahun sekali di kampung Lorstkal ini.
“Pada Kalisat Tempo Dulu 4 di tahun 2019, pernah juga menyelipkan arsitektur rumah merpati beserta produk-produk budaya lainnya seperti sawangan merpati, anting-anting, dan kentongannya. Namun waktu itu tidak murni bicara tentang merpati. Segala arsitektur masuk juga di dalamnya,” jelasnya, melalui keterangan tertulis.
Meskipun sama-sama dari keluarga Columbidae alias keluarga burung berparuh merpati, dan dari genus Columba livia, katanya, merpati getakan tidak bisa dijumpai di wilayah lain seperti di Eropa, Afrika, Amerika, hingga Australia.
Di Asia, ia hanya bisa dijumpai di Jawa, khususnya ujung timur Jawa. Paling banyak dijumpai di posisi geografis antara perbatasan Pasuruan – Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso hingga Situbondo.
Menurutnya, merpati getakan berbeda dengan merpati pos yang kini lazim disebut merpati pos racing, berbeda pula dengan merpati balap jarak pendek yang bila di Jember dikenal sebagai doro andukan. Perbedaan itu dapat dilihat dari ciri-ciri fisik. Merpati getakan rata-rata memiliki jambul di kepalanya, kedua kakinya berbulu.
“Meskipun ada pula beberapa jenis merpati getakan yang tidak memiliki keduanya. Paruh merpati getakan lebih pendek dari merpati pos dan merpati balap andukan,” jelasnya.
Hafid bilang, merpati getakan tidak bisa dijadikan merpati balap jarak pendek seperti merpati andukan, namun ia punya cara kerja seperti merpati pos. Sama-sama punya homing instinct.
Bedanya, jelas Hafid, merpati getakan tidak bisa dilepas sangat jauh seperti merpati pos, hanya bisa dilepas antar kecamatan atau antar kabupaten yang dekat, dan tidak bisa dilepas sendirian. Dia harus dilepas secara koloni. Bila dilepaskan sendirian, dia berpotensi mendarat di rumah koloni merpati lain.
Bila di Surabaya dan sekitarnya rumah merpati umum disebut pagupon, katanya, di wilayah Tapal Kuda rumah merpati getakan biasa disebut pejodon dan atau pajhudhun. Ia dipasang di tempat yang tinggi, menggunakan tiang pohon hidup dan tiang-tiang pancang dari bambu.
Hafid menjelaskan, tiang pohon hidup yang digunakan biasanya adalah pohon kapuk. Tiang pancang dari bambu disebut cangkek. Ketika si empunya merpati getakan memiliki keuangan yang cukup, pajhudhun yang menjulang tinggi di udara tersebut dilengkapi dengan ukiran dan pola hias di dheng-andheng di kiri-kanannya. Jika dilihat dari bawah, ia serupa gapura.
Di Jember ada dua motif untuk pola hias dheng-andheng, yaitu motif naga dan motif wayangan. Orang-orang Kalisat lebih suka menggunakan motif naga, sedangkan motif wayangan mudah dijumpai di Jember bagian barat hingga selatan. Paling banyak adalah motif Ontoseno.
Merpati pos, merpati balap andukan, dan merpati hias seperti merpati ekor kipas dan merpati-merpati import, mereka tidak dibuatkan pajhudhun. Cukup dibuatkan sebuah boks yang menempel di tembok rumah, biasa disebut ampik-ampik. Ada juga yang dibuatkan kombong dari bahan galvalum dan jaring kawat baja.
Beberapa merpati getakan memang ada yang memiliki kandang seperti kombong, namun terbuat dari bahan-bahan kayu dan bambu, dengan bilik dari anyaman bambu. Model pajhudhun bawah seperti ini kerap disebut leggin.
Masing-masing material pajhudhun dipilihkan dari kayu-kayu khusus seperti kayu pohon pinang, burnih, pace, juwet, jambu biji, dan beberapa lagi. Akan baik bila diambilkan kayu dari pohon yang memproduksi biji-bijian.
Hakim mengatakan, merpati getakan menghasilkan produk-produk kebudayaan. Selain arsitektur pajhudhun yang penuh filosofi, masih ada sawangan yang dapat menghasilkan bunyi bila si merpati getakan terbang di udara, anting-anting, hingga musik. Ada musik tradisional yang tidak dipersembahkan untuk manusia melainkan untuk para merpati peliharaan, yaitu musik tradisional glundengan.
Dulu, katanya, musik tradisional patrol mula-mula juga digunakan untuk merpati, sama seperti glundengan. Bermula dari kentongan untuk memanggil merpati pulang di jam-jam makan, atau menuntun merpati getakan pulang saat mereka terjebak embun.
“Kemudian ia berevolusi, ada inovasi, dan mencapai bentuk terbaiknya sebagai musik patrol yang fungsinya bergeser. Membangunkan orang untuk sahur di bulan Ramadhan, juga perform,” jelas Hakim.
Dia bilang, musik glundengan biasa tampil ketika ada pelepasan merpati getakan secara bersama-sama di tempat yang telah disepakati. Pelepasan ini disebut totta’an.
Tak hanya itu, dunia merpati getakan mengenal sebuah peristiwa yang layak untuk dijadikan alasan untuk bikin pesta kecil. Peristiwa itu bernama nyatta, yaitu ketika si pemilik pajudhun menyadari ada merpati asing yang datang ke pajhudhun miliknya. Sebagai penanda bahwa dia mendapatkan merpati bandangan maka dimainkanlah musik glundengan. Karena terdiri atas banyak personil dan butuh waktu untuk itu, setidaknya pemilik pajhudhun harus membunyikan tek-tek sebagai legitimasi atas merpati yang baru tiba tersebut.
Malam harinya, ketika semua sudah siap, baik musik glundengan maupun hidangan buat para tetangga dan handai tolan yang hadir, maka irama glundengan itu pun segera dimainkan.
“Musik glundengan dimainkan oleh sekitar sepuluh orang. Masing-masing ada di posisi tek-tek, tong-tong, dan dung-dung. Tiga-tiganya adalah alat musik pukul yang terbuat dari kayu. Biasanya berbahan kayu nangka, tapi bisa juga dari bahan kayu yang lain seperti bayur,” katanya.
Khusus dung-dung, jelasnya, alat musik kentongan yang paling besar, dia bisa dibuat dengan menggunakan bahan kayu kelapa. Sama seperti di musik tradisional patrol, dung-dung berfungsi sebagai bass. Ukuran medium adalah tong-tong, dan kentongan paling kecil adalah tek-tek.
Menurutnya, pola hubungan antara merpati getakan dengan pemiliknya, produk-produk budaya yang muncul dari persahabatan itu, juga identifikasi merpati lokal di masing-masing kabupaten di ujung timur Jawa dan di empat kabupaten di Pulau Madura.
“Mengapa banyak orang di ujung timur Jawa menyukai merpati getakan? Sedangkan bila dilihat dari harga merpati, dia jauh lebih terjangkau dibanding merpati pos dan atau merpati balap andukan. Jawabannya adalah tentang urusan eksistensi. Maka dari itu, di dunia pencinta merpati lokal getakan tumbuh mitologi, mantra-mantra, dan lestari pula metodologi leluhur seperti astrologi lokal, primbon, katuranggan, serta ilmu memperhatikan,” beber Hakim.
Dia mengungkapkan, beberapa merpati getakan lokal Jember juga akan ditampilkan di pameran ini, seperti merpati getakan jenis krey alias doro balung, songkop, dan bangget. Ia tentu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Jember yang kaya akan keanekaragaman hayati.
“Dengan menggunakan berbagai perkakas ilmu pengetahuan seperti kartografi, toponimi, petite histoire, serta menjadikan pedagang merpati dan para pencinta merpati getakan sebagai mahaguru, kiranya pameran Kalisat Tempo Dulu 9 menjadi menarik. Melihat perjalanan peradaban kota Jember dari perspektif yang berbeda,” jelasnya.
Foto: RZ Hakim dan beberapa pegiat Komunitas Sudut Kalisat sedang bermain bersama sejumlah ekor merpati. (Dok. Sudut Kalisat)