Penulis: Taufiqurrahman*
Sekitar tahun 2003, saya sowan ke almarhum al-maghfurlah RKH. Abdul Hamid Bata-Bata. Di sebuah surau kecil sekira ukuran 4×4 meter, saya ditemui beliau. Burung-burung dara, hinggap dan pergi di depan halaman.
Secangkir kopi sudah dihidangkan oleh hadam beliau. Agak lama saya menunggu beliau, karena beliau masih mengisi pengajian di kampung karena diundang masyarakat. Sayapun tidak berani menempati surau itu dalam keadaan menunggu beliau, meskipun hadam sudah mempersilakan. Saya lebih nyaman duduk beralaskan sandal di bawah pepohonan rindang di samping surau.
RKH. Abdul Hamid langsung menanyakan asal usul saya datang sowan ke beliau. Setelah tahu saya santri Nurul Jadid, beliau langsung minta naik ke atas surau, tapi saya tetap memilih tetap duduk di kursi panjang depan surau.
Satu persatu beliau mulai bercerita tentang Bata-Bata dan Nurul Jadid. Ada dua sosok yang sering disebut beliau, yakni almarhum KH. Zaini Abdul Mun’im dan almarhum KH. Hasan Abdul Wafi Miftahul Arifin
Saya mulai dari KH. Zaini terlebih dahulu.
Saat mondok di Bata-Bata, Kiai Zaini sudah masyhur sebagai santri yang alim. Bahkan gurunya, RKH Abd Majid , ketika hendak mengajari Kiai Zaini, harus mutola’ah terlebih dahulu. Sebab, kealiman Kiai Zaini melebihi kealiman gurunya.
“Kiai Majid, kalau mau ngisi pengajian santri-santri lain tidak pernah mutola’ah. Tapi beda kalau mau ngajari K. Zaini, Kiai Majid harus mutola’ah terlebih dahulu. Meskipun duduk di atas dokar, kalau sudah waktunya ngajari K. Zaini, ya mutola’ah,” kata Kiai Hamid.
Bahkan, Kiai Hamid menyebut, satu-satunya santri Kiai Majid yang paling alim adalah Kiai Zaini. Karena kealimannya, Kiai Majid menyarankan agar Kiai Zaini melanjutkan pendidikannya ke Makkah.
Usai menceritakan soal sosok Kiai Zaini, Kiai Hamid kemudian mengajak saya jalan-jalan mengitari sebuah musala kayu di depan surau yang jadi perjamuan itu. Musala itu agak lebar. Sekitar 8×8 meter. Tiang-tiang kayu masih sangat terlihat sangat kokoh. Papan yang menempel di pinggir musala, juga terlihat tekstur bangunan tua.
“Langgar ini peninggalan Kiai Zaini Mun’in. Beliau sendiri yang membangunnya. Wasiat nenek moyang saya, langgar ini tidak boleh rusak apalagi dirusak. Kalau rusak sedikit, langsung saya perbaiki,” kata Kiai Hamid.
Perbincangan tentang Kiai Zaini, saya akhiri. Kemudian pindah pada sosok almarhum KΗ. Hasan Abdul Wafi.
Waktu mondok, Kiai Hasan (begitu santri Nurul Jadid menyebutnya), tidak langsung tinggal di Bata-Bata, namun masih mengaji di Banyuanyar kepada gurunya, RKH Abd Majid .
Kiai Hasan, salah satu santri yang banyak berperan dalam kepindahan Kiai Majid dari Banyuanyar ke Bata-Bata. Yang memindah kitab-kitab Kiai Majid dari Banyuanyar ke Bata -bata adalah Kiai Hasan.
“Dulu yang angkut kitab Kiai Majid adalah Kiai Hasan. Kendaraannya pakai dokar,” tutur Kiai Hamid.
Bahkan, Kiai Hasan juga membantu menjual dagangan batik Kiai Majid dalam menopang ekonomi dan pembangunan pesantren Bata-Bata.
Saat mondok di Bata-Bata, Kiai Hasan dikenal sangat tekun belajar. Bahkan, kata-kata yang disampaikan Kiai Majid saat ngaji, dihafalkan oleh Kiai Hasan. Hampir tidak ada ruang kosong di pinggir kitab beliau dari catatan- catatan yang disampaikan oleh gurunya.
Dalam satu kesempatan, Kiai Hasan sudah 3 hari tidak hadir ikut pengajian bersama Kiai Majid. Tentunya meninggalkan tanya di benak Kiai Majid. Satu persatu santri yang hadir, ditanyakan soal keberadaan Kiai Hasan. Semua santri kompak menjawab, bahwa Kiai Hasan sudah 3 hari tidak keluar kamar karena tidak henti-henti mutola’ah kitabnya.
Lampu minyak di kamarnya, tetap menyala meskipun siang hari. Dan Kiai Hasan tidak pernah tidur, melainkan terus membaca kitabnya.
Mendengar hal itu, Kiai Majid tidak jadi melanjutkan pengajian dan memilih beranjak untuk mendatangi kamar Kiai Hasan.
Betul saja, dari jauh sayup-sayup bacaan kitab Kiai Hasan dari dalam kamar, terdengar Kiai Majid. Pintu kamar Kiai Hasan kemudian diketok.
“Cung, Cung, kalau mau jadi santri saya, bukan begini caranya. Nanti kamu bukan jadi manusia,” ucap Kiai Hamid menirukan kata- kata Kiai Majid.
Sontak, Kiai Hasan sadar bahwa di luar kamar yang memanggil-manggil adalah gurunya. Kiai Hasan kemudian membuka pintu kamar dan meminta maaf kepada gurunya.
Setelah ditanya mengapa melakukan hal itu, Kiai Hasan merasa bahwa yang dilakukannya tidak sadar. Bahkan tidak tahu jika sudah sampai 3 hari.
“Kiai Hasan ini dikenal orang tamak, tapi bukan tamak kepada urusan dunia, tapi tamak kepada ilmu. Makanya kalau mutola’ah, sampai menembus waktu,” ungkap Kiai Hamid.
Suatu kesempatan, setelah Kiai Hasan menjadi alumnus, diundang untuk mengisi pengajian di pesantren Bata-Bata. Saat tiba di Bata-Bata, beliau menegur pengurus, para ustad dan undangan yang hadir. Teguran itu karena yang hadir, semuanya uduk di atas kursi.
“Kalian ini tidak tahu Akhlaqul karimah. Di tanah yang kalian tempati ini, bersemayam guru kita RKH Abd Majid , sementara kita duduk di atas kursi,” kata Kiai Hasan waktu itu.
Serentak, para undangan yang hadir, para ustad dan para santri, tidak ada yang berani duduk di atas kursi. Semuanya duduk lesehan di tanah tanpa alas.
Bahkan, Kiai Hasan pun tidak berani naik panggung. Dan juga, Kiai Hasan tidak mengisi pengajian, namun beristighosah karena merasa dirinya tidak pantas berpidato dan mengisi pengajian di tanah Bata-Bata.
Di Haul Kiai Isbat Banyuanyar beberapa hari yang lalu (30/3/2024), saya menerima kiriman foto sosok laki-laki berpakaian serba putih yang enggan duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan oleh panitia. Deretan kursi-kursi itu terlihat kosong.
Beliau adalah Kiai Zuhri Zaini, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton. Beliau merupakan putra kelima dari pasangan Kiai Zaini Mun’im dan Nyai Nafi’ah.
Terima kasih guru-guruku. Engkau telah menjadi teladan bagi kami, bagi umat.
*Taufiqurahman, santri abadi Nurul Jadid, Paiton Probolinggo.