Kesejukan Spiritual Kiai Nahrawi

Penulis: A. Dardiri Zubairi*

Kiai Nahrawi seorang kiai “nyentrik”. Jika orang tidak kenal dan tidak tahu, pasti menyangka beliau –mohon maaf –kurang waras. Malam bagi beliau adalah waktu yang sebenarnya.

Mendengar Kiai Nahrawi (ada yang menyebut wafat ada perasaan bersalah dalam batin saya. Sejak lama sebenarnya ada niat sowan sama beliau. Karena alasan yang tidak mau saya cari-cari, saya gagal sowan. Hingga akhirnya seorang mengirim chat mengabarkan bahwa beliau wafat. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un.

Kiai Nahrawi seorang kiai “nyentrik”. Beliau dari keluarga pesantren yang memilih tinggal di luar pesantren, jauh di sebuah wilayah kira-kira 20 km dari rumah beliau sendiri. Setiap hari beliau  bisa ditemui -dalam istilah Madura-di “bârung” (semacam pos ronda) yang ada di pinggir jalan dekat pasar, di sebuah desa di wilayah timur daya Kabupaten Sumenep.

Biasanya beliau pindah dari satu bârung ke bârung lainnya. Kadangkala beliau pindah ke bârungg lintas desa, tak jauh dari desa itu. Jika malam hari kadang berkunjung ke orang yang beliau kehendaki atau orang yang mengajak beliau. Itu pun selama beliau mau. Biasanya ketika bepergian beliau selalu boncengan naik motor.

Tampilan beliau juga bukan layaknya kiai,  pakai jaket, bertopi, dan celana 3/4. Jika orang tidak kenal dan tidak tahu, pasti menyangka beliau –mohon maaf –kurang waras. Beliau memang cenderung menyendiri, jauh dari kerumunan orang, tinggal dan tidur di bharung pinggir jalan, pakaiannya jauh dari bagus. Ketika bicara tak seluruhnya bisa ditangkap maksudnya. Saat bicara kadang-kadang diam secara tiba-tiba, seperti kembali asyik dengan “dunianya”. Dan tiba-tiba bicara lagi dengan topik berbeda.

Setiap hari beliau riyadhahnya puasa. Sambil puasa, beliau menggunakan siang untuk “tidur” di bârung yang menjadi tempat istirahatnya. Bârung yang menjadi tempat istirahatnya juga tidak tetap. Selalu berpindah-pindah. Jika malam maghrib tiba baru beliau berbuka dari makanan dan minuman yang disedekahkan kepada orang. Soal ini tak ada kesulitan, beliau menerima banyak sedekah makanan ketika hendak berbuka (juga rokok) karena berharap didoakan beliau. Tapi beliau tak pernah meminta-minta.

Malam bagi beliau adalah waktu yang sebenarnya. Karena di malam hari beliau tidak tidur. Entah munajat apa yang dipanjatkan. Mungkin beliau asyik dengan Tuhan.  Singkatnya, malam hari di saat yang lain tidur, beliau bangun. Siang hari, di saat orang lain bangun, beliau tidur.

Banyak orang percaya bahwa beliau wali majdub. Atau shahibul wilayah di daerah timur daya Kabupaten Sumenep. Sering dan banyak orang bercerita tentang karomah beliau.

Teman saya pernah bertemu beliau lagi duduk sendiri di sebuah bârung. Teman saya membatin, “Jika Kiai Nahrawi wali, pasti Kiai Nahrawi akan menjawab salam yang saya batinkan di hati”. Maka teman saya pas lewat di depannya mengucapkan “assalamu’alaikum” dalam hatinya. Ia kaget. Kiai Nahrawi menjawab dengan suara keras “waalaikum salam, moga selamat ya…” jawab beliau. Tentu saja kawan saya ini kaget.

Saudara saya punya cincin yang –atas ijin Allah–bikin kebal orang (boleh Anda percaya atau tidak). Saudara saya tahu khasiat cincin itu ketika datang ke dokter. Pas disuntik , jarum suntik tidak mempan dan tidak bisa nancep. Ketika cincinnya dibuka, baru dia bisa disuntik. Tadinya cincin ini mau dijual. Ada yang sudah menghargai mobil. Tiba-tiba, niat itu diurungkan ketika Kiai Nahrawi secara mendadak berkunjung ke rumahnya dan memintanya untuk tidak dijual. Tak ada yang tahu, termasuk saudara saya, dari mana beliau mendengar kabar soal cincin itu.

Ketika pukul 22.00, beliau minta diantar ke rumah kakak saya yang saat itu (tahun 2009) mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Sumenep. Kakak saya waktu itu tidak menggunakan money politic, di samping karena komitmennya tinggi, juga gak punya uang. Tapi sama saudara saya, Kiai Nahrawi bilang, kakak saya menang. Saudara saya sanksi, gimana bisa menang, wong gak ada duitnya? Sekali lagi beliau bilang kakak saya akan menang. Cuma beliau bilang, entah berapa tahun kakak saya akan jadi dewan.

Ketika pemilihan ternyata kakak saya menang. Selisihnya dengan calon separtai cuma 21 suara. Dan prosesnya agak panjang karena di-MK-an sama lawan politiknya, dengan menggugat PPS di satu tempat pemungutan suara. Tetap. MK memutuskan kakak saya menang. Dan Kuasa Allah, apa yang disampaikan Kiai Nahrawi ternyata benar, kakak saya cuma menjabat 1 tahun karena 2010 kakak saya wafat.

Saya mengenalnya ketika suatu malam beliau berkenan berkunjung ke rumah tetangga saya. Saya mendekati beliau dan memohon untuk mampir ke rumah saya. Beliau Alhamdulillah mau. Di rumah saya beliau lumayan lama, sejak sekitar jam 08.30 – 24.00. Habis itu beliau minta diantar “pulang”, maksudnya kembali ke bârung di area pasar.

Salah satu kesukaan beliau di malam hari setelah berbuka puasa, merokok. Beliau perokok (sangat) berat. Saat merokok tak ada putus-putusnya. Sisa rokok tinggal sedikit di jari, beliau sulut rokok baru. Begitu seterusnya. Saya memperkirakan, untuk sebungkus rokok ukuran 12 batang kira kira 1 jam habis. Jika dari berbuka hingga tiba waktu subuh, berapa rokok yang dibutuhkan? Silahkan hitung sendiri.

Suatu waktu ketika beliau berkenan hadir kembali ke rumah meninggalkan kesan lebih mendalam lagi. Langsung maupun tidak, beliau banyak menasehati saya. Tentang beratnya menjadi pemimpin, soal tidak perlu ikut arus, nyambung silaturrahmi, tentang tanda-tanda banyaknya manusia yang tamak dunia, dan banyak hal lain. Beliau sangat humoris, dan kadang memiliki kemampuan menertawakan diri sendiri. “Makana sèngko’ tak endâ’ dâdhdi kèaè, berrâ’, Dar (makanya saya gak mau jadi kiai, berat Dar)”,  kata beliau sambil tersenyum.

Di rumah saya kadang hingga pukul 2 dini hari. Saya memintanya untuk bermalam di rumah, tapi beliau tak pernah mau. Saya harus tahu diri, berarti beliau ingin kembali ke pasar, tempat beliau seperti biasanya. Di tengah perjalanan beliau berpesan, “Jâgâ bâ’ dhibi‘” (jaga diri sendiri). Sesekali beliau sambil ketawa bilang, “Buh…., bengko rajâ-rajâ ya, Dar….kèng tadâ’ orèngnga” (duh, rumah besar-besar ya, Dar. Cuma gak ada orangnya). Mungkin maksudnya rumah besar,  keluarga makin sedikit.

Ada banyak kenangan bersama beliau, seorang kiai yang sudah saya anggap sebagai orang tua sendiri, yang memberi keteduhan dan doa untuk saya dan banyak orang. Keteduhan wajahnya dan perilakunya yang tak butuh dunia serta tak butuh pencitraan, selalu memberikan kesejukan spiritual bagi siapapun yang ada di dekatnya.

Hingga sekarang ada perasaan kehilangan dan penyesalan, karena ketika ada keinginan untuk sowan selalu saya tunda-tunda hingga kabar terakhir saya terima, beliau sudah tiada.  Rabu, tanggal 17 Juli beliau menghadap Allah, yang tiap malam jaganya selalu beliau gemuruhkan Asma-Nya.

Selamat jalan, Guru. Selamat jalan, Orangtua.

Sumenep, 19 Juli 2024

Foto utama: Kiai Nahrawi (Foto.Dok. A Dardiri Zubairi-Desain by Canva-Gafur)

*Santri abadi. Tinggal di Sumenep.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *