Penulis: Gafur Abdullah
“Saya kira, orang Jember itu bisa dan asyik ngobrol berbahasa Madura. Tapi, saya kok, ketemu mereka serasa masuk alam lain. Dengar obrolan berbahasa Jawa yang ada kata “Melu”nya, kadang saya mau nyahut dengan tasrifan ala santri dan plintir dikit; mala-melu-milo-malem-molotan-wamaleman-fahuafamilo-mon bâdâ palotan-èkibââ molè ka roma-untuk makan malam è musholla- polana lama ta’ ngakan palotan- lama ngidam-èber- latmolatan.”
Plonga-plongo. Diam. Sok sibuk balas chat-fokus ke gadget. Sesekali nyeletuk dengan Bahasa Indonesia.
Itulah yang saya alami awal-awal hidup dan setiap berkumpul dengan beberapa kawan di Jember. Khususnya di Jember kota. Baik dengan kawan-kawan jurnalis atau kawan-kawan tongkrongan non jurnalis, ketika mereka ngobrol pakai Bahasa Jawa.
Sebagai orang yang, dari rèmbi’ (lahir) sampai berkumis berjenggot-meski tak selebat ilalang pas musim hujan-di Madura, awalnya saya merasa tenang ketika akan hidup di Jember. Pikiran awal saya “Tenang, nanti pasti bisa cepat adaptasi dengan kawan-kawan di Jember. Di sana kan ngomongnya pasti pakai Bahasa Madura.”
Pikiran itu bukan tanpa dasar. Dalilnya sangat shahih pula. Cuma memang periwayatnya tidak jelas siapa. Sebab katanya, orang Jember mayoritas keturunan Madura, dan gunakan, atau paling tidak, ngerti Bahasa Madura dalam kesehariannya.
Daaaann…,ternyata oh ternyata.
Ibarat mimpi. Pikiran saya itu bisa jadi mimpi indah-nyata ketika nimbrung dengan kawan-kawan di sekitar sekitar UIN Khas, yang sebagian mahasiswa menyebut akrab UIN Mangli. Sebab, mau nongkrong di kafe-kafe, beli ini itu di warung pinggir jalan, atau sekadar beli bensin, saya biasa pakai bahasa Madura. Dan lawannya bicara, yesss, nyambung sukaliiih.
Tapi, ketika agak ke timur dikit, tengah kota, secara lokasi ya, di sekitaran Alun-alun sampai UNEJ, pikiran itu jadi mimpi buruk. Bagaimana tidak. Boleh dibilang; saya serasa masuk alam lain. Sebab kawan-kawan di sekitaran dan tempat tongkrongan di sana nyaris diksinya pakai: Mbuh. Ketok. Metu, Kabeh. Suwe. Gawe. Budal. Ngenteni. Mlebu. Njaluk. Melu. Dan kata per kata berakhiran huruf vocal- asli Jawa lainnya.
Saya kira, orang Jember itu bisa dan asyik ngobrol berbahasa Madura. Tapi, saya kok, ketemu mereka serasa masuk alam lain. Dengar obrolan berbahasa Jawa yang ada kata “Melu”nya, kadang saya mau nyahut dengan tasrifan ala santri dan plintir dikit; mala-melu-milo-malem-molotan-wamaleman-fahuafamilo-mon bâdâ palotan-èkibââ molè ka roma-untuk makan malam è musholla- polana lama ta’ ngakan palotan- lama ngidam-èber- latmolatan. Haha.
Pernah suatu saat, saya dengan rasa percaya diri bahwa ; benar-benar nol Bahasa Jawa, nanya ke seorang kawan apa arti dari kata “Ketok”.
“Eh, kamu tadi bilang Ketok. Apa itu Ketok?” Kawan itu tidak langsung jawab pertanyaan saya. Justru dia nanya balik.
“Loh, kamu gak ngerti Jawa?”
Saya pun mengangguk kecil, tersenyum, dan menggeleng sambil bergumam; “Kalau ngerti, ngapain nanya, wahai manusia alam lain?” Haha.
Kawan saya tidak berikan jawaban. Justru dia lanjut obrolan dengan kawan lainnya dan pakai Bahasa Indonesia campur Jawa. Mungkin karena lupa, atau anggap pertanyaan saya tidak penting. Sampai menulis keresahan ini, saya tak menemukan jawaban; apa arti dari kata “ketok” itu. Dan saya tidak mau ribet soal itu.
Wahai pembaca yang mulia dan rela luangkan waktu untuk khataman tulisan ini, dan mahir-paling tidak paham Bahasa Jawa, tolong bantu komen tulisan ini, koreksi-terjemahkan beberapa kata di atas. Atau, balas esai keresahan ini. Hehe. Dengan senang hati bila ada yang komen: ayo kapan-kapan ngopi, tak ajari Bahasa Jawa. Yesss. Sihaaaapppp.
Sebenarnya, itu satu kejadian, lebih tepatnya; secuil keresahan saja. Lain daripada itu, banyak kejadian yang bikin saya serasa ada di alam lain saat nongkrong sama kawan-kawan di Jember yang mereka gunakan Bahasa Jawa. Baik yang pendatang-selain Madura, maupun dia, yang asli Jember, tapi masih ada darah-keturunan-sebenarnya ngerti Bahasa-Madura, dan mereka yang memang asli Jember dan tidak mengerti Bahasa Madura.
Sampai suatu saat, saya balik ke Madura dan sempat nongkrong sama orang Madura tulen juga, tapi sempat hidup lama di Jawa. Pertemuan itu, bikin saya benar-benar merasa jengkel dan rasanya pengen apèsoan (ngata-ngatain). Faktanya, saya beneran ngata-ngatain.
Ceritanya, dia ini orang Madura, jelas mengerti Bahasa Madura. Ngobrol dengan saya yang, Madura depan belakang luar dalam, dan sudah paham betul Bahasa Madura dari yang paling halus, kasar, sampai diksi apèsoan (ngata-ngatain), pun saya hafal luar kepala. Tapi, entah sok pamer atau nyoba saya, dia ngobrol pakai Bahasa Jawa.
Dialognya saya lupa. Ngapain juga ngapalin dialog yang waktu itu bikin saya apèsoan (ngata-ngatain): Ambu, jhâ bâmajhâba! Romana èbâbâna perrèng sala ghir songai. Bâ’ân rèng Madhurâ. Engko’ rèng Madhurâ. La acaca angghuy Bhâsa Madhurâ bhâi. (A-R-T-I-N-Y-A: Sudah, tak usah sok ngomong Jawa. Rumahnya di bawah pohon bambu, tepi sungai lagi. Kamu orang Madura. Saya pun orang Madura. Mending bicara pakai Bahasa Madura saja)
Kalimat-kalimat itu itu hanya sindiran-ejekan garis lucu di kalangan orang Madura, ketika ada satu rekan yang Madura Tulen sok-sokan pakai Bahasa Jawa.
Atau kalau pakai Bahasa Inggris-Arab, itu tinggal diubah: GrismaInggris-RabmaArab, Romana èbâbâna perrèng sala ghir songai. Bâ’ân rèng Madhurâ. Engko’ rèng Madhurâ. La acaca angghuy Bhâsa Madhurâ bhâi. (Sudah, tak usah sok ngomong Inggris-Arab. Rumahnya di bawah pohon bambu, tepi sungai lagi. Kamu orang Madura. Saya pun orang Madura. Mending bicara pakai Bahasa Madura saja)
Kembali ke teman saya tadi. Dia masih dengan percaya dirinya-bebal-dan tidak jera dengan sindiran saya, justru sindir-ejek balik: “Katanya hidup di Jawa. Masa gak ngerti bahasa Jawa!”
Saya tidak merespon ejekan dia. Saya hanya apèsoan (ngata-ngatain) tadi. Dan akhirnya dia ngobrol pakai Bahasa Madura. Lega rasanya.
Memang sih, katanya, ada yang bilang: Jember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo, Lumajang, itu-bagian dari-Madura. Tapi Madura Swasta. Madura Negerinya; Ya, Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Ah, saya tak mau panjang lebar soal itu. Mari kembali ikuti cerita saya di Jember lainnya.
Suatu hari, saya pernah kumpul sama kawan-kawan jurnalis di sebuah tempat. Lupa berapa orang. Tapi yang jelas, hanya saya yang tidak bisa-ngerti-berbahasa Jawa. Kalau mereka ngobrol dengan rekan lain pakai Bahasa Jawa, saya hanya diam seribu bahasa-atau pasang telinga lebar-lebar sambil mengernyitkan dahi dan bergumam: mereka ngobrol apaan sih?
Waktu itu, ngobrolnya berbahasa Jawa. Mereka asyik-cas-cis cus-wajlawa satu sama lain. Sementra saya, hanya plonga-plongo. Akhirnya, saya minta satu kawan untuk terjemahkan.
“Mbak, saya tidak mengerti apa yang diobrolin. Apa sih katanya?” kawan ini, tidak jawab pertanyaan saya. Dia justru ngasih saya trik:
“Gini Fur, ke depan, kalau lagi kumpul gini, dan kawan-kawan ini ngobrolnya berbahasa Jawa, kamu langsung acungkan tangan kayak interupsi gitu dan bilang: A-R-T-I-N-Y-A! Sambil senyum. Biar obrolan Bahasa Jawanya diubah atau ditranslate ke Bahasa Indonesia.”
Sontak saya pun mengiyakan dan merasa diberi petunjuk dari semesta. “Baik, Mbak.” Jawab saya singkat, tak lupa sumringah.
Bagi saya, peristiwa itu sepertinya layak saya maknai sebagai nikmat luar biasa yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Yesss, itu nikmat-Min haitsu la yahtasib (rezeki yang tak terduga) dari Tuhan melalui Si Mbak tadi. Alhamdulillah.
Ketika menulis ini, saya pun baru sadar, bahwa peristiwa plonga-plongo waktu itu kemudian bisa jadi alarm bagi saya untuk lebih bersyukur dan jadi ingat ayat fabiayyi ala irobbikuma tukadziban (Maka nikmat-nikmat Tuhan kalian yang manakah yang kalian berdua (jin dan manusia) dustakan?)
Beberapa detik dari Si Mbak ini ngasih trik. Kawan-kawan menoleh ke arah saya dan satu dari mereka bilang: “Wala, kamu bilang dong. Oke, deh. Ke depan kalau ada kamu, kita ngobrolnya pakai Bahasa Indonesia saja.” Sontak semua yang ada di tempat itu ketawa. Saya pun ikutan tertawa malu-malu kucing.
Faktanya, murni semurni-murninya, ketika satu kawan bilang gitu. Saya menduga, mereka baru sadar kalau pas ngumpul terus mereka pakai Bahasa Jawa, saya merasa langsung kayak santri baru: Lebih banyak diam. Mau bicara takut gak nyambung. Tak bicara nanti dikira introvert-pelit-hemat suara.
Hari itu juga, saya merasa lega dan istimewa: Pertama, karena dapat trik tadi. (meskipun sampai menulis ini, saya belum pernh praktikkan. haha). Kedua, tidak akan plonga-plongo lagi kalau ngobrol sama kawan-kawan tadi. Sebab mereka sudah bikin kesepakatan, anggapan saya: PAKTA INTEGRITAS (haha) yang isisnya: mereka akan bicara dengan Bahasa Indonesia kalau lagi kumpul, dan saya ada di situ.
Lagian, saya memang tidak pernah kursus Bahasa Jawa. Untuk bisa nyambung ngobrol dengan rekan di Jawa, termasuk di Jember, saya pakai Indonesia.
Kejadian lain, saya nongkrong di kafe. Ketemu rekan baru. Dia pakai Bahasa Indonesia dari menit-menit awal. Sekitar sejaman lebih ngobrol, dia pakai Bahasa Jawa. Lagi dan lagi, seketika saya serasa masuk alam lain.
Saya bilang, tidak mengerti Bahasa Jawa. Dia pun seketika pakai Bahasa Indonesia. Sebenarnya, waktu itu juga, saya curiga. Iseng-iseng saya nanya lahir besar di mana, tinggal di Jember mana? Dia bilang Jember Tulen; tinggal di Jember pinggiran. Dia masih berdarah–keturunan Madura. Tapi tidak pernah menghirup oksigen di Madura.
“Tapi, Abang ngerti Bahasa Madura?”
“Ma’ ta’ ngartèa, Pur! È romana engko’ sarat Madhurâ kabbhi. Bhâsana yâ campor, Mon acaca, Jhâbâ Madhurâ. Padâ ngartè kabbhi. (Masak gak ngerti, Fur! Di rumah saya nyaris Madura semua. Bahasanya ya campur. Jawa Madura. Sama-sama ngerti semua.)
Duuuwaaaaaarrrrr…..
Dia sampai panggil nama dengan akhiran “Pur”. Semakin memperjelas bahwa dia paham nama saya “Gafur” yang bagi orang Madura dipanggil “Gâpur”.
Tunggu! Ini belum selesai. Ada cerita lain yang terjadi pada pertengahan 2022 saat liputan di sekitar Pantai Payangan, Ambulu. Tepatnya, di sekitar Teluk Love. Orang Jember, saya yakin, banyak tahu tempat ini.
Bagi saya, kejadian di Payangan itu adalah kelucuan, lebih ke kekonyolan sih mungkin. Ya, saya ceritakan ini sebagai daftar pustaka, atau paling tidak footnote keresahan saya.
Ceritanya, debur ombak begitu deras siang itu. Angin pun kencang. Saya mendekati dan menyapa narasumber (Pak Bapak) dengan sok sok-an pake Bahasa Jawa diawali salam dulu.
“Pak, punten, jhenenge sinten? nganu opo, Pak?” (Pak, maaf ganggu, namanya siapa? lagi ngapain, Pak?). kira-kira begitu artinya. Saya tahu bahasa itu, bukan belajar. Tidak juga dengar di Jember. Tapi itu obrolan lawak Putra Buana; Sukur dan Buarto. Nempel aja di otak obrolan itu. Padahal, saya nonton lewat TV-VCD sekitar sekitar tahun 2005-2006 gitu. Waktu itu, saya duduk di kelas 4 atau 5 madrasah ibtidaiyah.
Nah, Si Bapak ini tidak menjawab salam dan sapaan saya, tapi wajahnya menghadap ke saya dan tersenyum. Karena Si bapak ini tidak jawab. Saya ulangi lagi sampai tiga kali. Saya memaklumi itu. Mungkin suara saya kekecilan, atau kabur karena angin kencang tadi. Blio mendekat. Dan tahu bilang apa?
“Non?” kata yang tak asing di telinga saya. Sebab sering dengar ketika ngobrol dengan orang Jember di bagian utara; Arjasa, Kalisat, Sukowono. Wawancara pun berlangsung gunakan Bahasa Madura halus.
Yessss, kata itu merupakan sahutan Bahasa Madura halus sekaligus pertanyaan bermakna : apa kata Anda? Atau kalau dalam bahasa inggris ya, semacam kata “Pardon?” (maaf?) bentuk formal dari kata “sorry” gitulah.
Dalam Bahasa Madura, khususnya di kampong halaman saya, Pamekasan, sering kita dengar: Kainto? Artinya ya, sama, pertanyaan untuk memastikan apa yang sebenarnya lawan bicara bilang.
Nah, kan, kan, kan…., haarrrrrraaa! Apa saya bilang? Ternyata, saya semakin yakin seyakin-yakinnya kata orang-orang bahwa, sebenarnya Jember itu Madura. Haha.
Saya tidak tahu, berapa persentase pengguna Bahasa Madura pun berapa banyak pengguna Bahasa Jawa di Jember dalam komunikasi sehari-harinya. Lagian, saya tidak sedang melakukan sensus. Coba nanti cek faktanya di sini, ya.
Tapi yang jelas, ayolah kawan-kawan di Jember tercinta. Kalau mengerti Bahasa Madura dan ngobrol dengan saya kafe-kafe atau warkop, plissss, dengan segala kerendahan hati, tolong gunakan Bahasa Madura. Itung-itung, bikin saya mengerti apa yang hendak-sedang jadi obrolan.
Sehingga, saya tetap bisa merasa ketemu trètan thibi’ alias serasa hidup –moytamoyan dhâ’kandhâ’ân (serasa nongkrong-bersenda gurau) seperti di kampung halaman. Tidak merasa masuk alam lain. Kan, lerres engghi, trètan? Haha.
Untuk kawan-kawan yang tidak mengerti Bahasa Madura, ayolah-jangan bikin ribet perkawanan kita ini karena bahasa. Mari Kembali ke Sumpah Pemuda yang isinya sudah kita hafal luar kepala itu sejak ESDEH atau EMIIH bahkan biasa dibaca pas upacara hari Senin dari ESDEH hingga ESEMAH.
- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Nah, apa yang ketiga? Saya ulang, ya. Dan baca bareng-bareng. Kata “Kami” ganti jadi “Kita”.
“Kita, putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Terima kasih sudah berkenan mengeja-baca bareng. Ets, belum khatam loh.
Sesungguhnya keasyikan ngobrol itu hak semua orang dan harus datang dari segala arah. Maka, ngobrol lah dengan bahasa yang dimengerti satu sama lain. Oleh sebab itu, maka pemaksaan penggunaan bahasa itu harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan peri persahabatan dan prinsip keasyikan tongkrongan.
Dan perjuangan saya untuk bisa terus nyambung dengan kawan-kawan di Jember, yang biasa pakai Bahasa Jawa telah hampir sampai pada di sekitar pintu gerbang Kecamatan Patrang keputusasaan.
Atas dasar kesadaran dan kerendahan hati, sebelum kawan-kawan ada yang sedia ajari saya Bahasa Jawa, sebagai Madura Tulen, saya ingin asyik ngobrol dengan kawan-kawan di Jember dengan bahasa persatuan saja; Bahasa Indonesia.
Kemudian daripada itu, sebagai penguatan dan kredibilitas menyatakan; KTP saya masih warna biru dan di belakangnya tertulis jelas: KARTU TANDA PENDUDUK REPUBLIK INDONESIA.
Terakhir, dari lubuk hati paling dalam saya sampaikan: saya warga negara Indonesia dan bangga Bahasa Indonesia serta siap belajar Bahasa Jawa dan Bahasa daerah lainnya.
* Penulis akrab disapa dulghâpur. Asli Madura Tulen depan belakang luar dalam alias Rèng Madhurâ dhoddho’.