Penulis: Faizal Basri Ngabalin*
Fakta bahwa pada tahun 2025 mendatang, makanan itu tidak pernah diberikan secara gratis. Melainkan harus dibayar dengan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Di dapur politik, janji manis seringkali menjadi bumbu yang memikat rakyat, namun sering pula berakhir sebagai kekecewaan.
Adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), seorang filsuf, politisi, dan penulis kenamaan dari Italia. Salah satu karyanya yang termasyhur ialah Il Principe (sang pangeran) yang ditulis tahun 1513 yang dipersembahkan untuk Lorenzo de’ Medici, penguasa Firenze.
Machiavelli dalam bukunya menuliskan resep mengenai politik kekuasaan imoril yang sedang atau sudah pernah terjadi. Politik kekuasaan yang diutarakan olehnya disesuaikan dengan praktik yang terjadi di lapangan. Yaitu praktik politik dengan menghilangkan bumbu moralitas dalam menggoreng antuasiasme orang banyak.
Resep Machiavellian yang mengutamakan kekuasaan atas moralitas telah menimbulkan kritik dari berbagai kalangan. Para kritikus berpendapat bahwa prinsip ini dapat membenarkan tindakan tidak etis dan merusak integritas pemimpin. Hal ini berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Tapi yang terjadi memang telah dirancang secara determinis oleh tukang masak kekuasaan.
“The end justifies the means (cara yang membenarkan akhir)“ Adagium itu tidak hanya menjadi sekedar metafora. Melainkan menjadi realita. Para tukang masak yang kini mengemban jabatan sebagai head chief (penguasa) tidak sungkan-sungkan untuk berbohong di hadapan penikmat hidangan. Tidak jarang, janji kampanye yang digelorakan begitu muluk-muluk dan menyentuh hati. Dengan balutan kosakata yang mudah dipahami dan program pelayanan suci, seorang calon penguasa bisa berhasil memikat atensi rakyat untuk membantunya berkuasa dan (tetap) mempertahankannya.
Di lain sisi, rakyat sebagai partisipan pemilu merupakan objek yang mudah dibius oleh ucapan-ucapan manis. Segala cara akan dilakukan untuk melancarkan rute politik calon pengusaha untuk duduk di kursi kekuasaan. Ini yang sedang terajadi di Negara Indonesia.
Masyarakat Indonesia tidak memilih calon penguasa berdasarkan kecerdasan kognitif. Pun masyarakat tidak memilih calon penguasa berdasarkan rekomendasi partai primer. Masyarakat condong memilih penguasa yang dianggap familiar.
Walaupun dengan track record yang diselimuti keraguan. Bekal tersebut dibumbui dengan ragam bahan penyedap rasa dan diolah tanpa resep yang benar. Akibatanya, alih-alih lezat, justru rasanya tak jelas. Bahkan hidangan itu bikin mual dan pemakannya keracunan.
Bagaimana itu terjadi? Karena mereka gunakan garam korupsi, gula kemiskinan, merica kebohongan, bahkan minyak pajak. Setelah dirasa cukup, hidangan itu akan dipersembahkan sebagai makanan gratis. Tak sadar, bahwa bumbu-bumbu yang diberikan sebagai penyedap rasa kampanye itu hanya menghasilkan kekecewaan.
Hal ini merupakan hal yang lumrah dan wajar bila kita sandingkan dengan prinsip politik kekuasaan. Mereka biasa gunakan resep:
- Campurkan bumbu korupsi, janji, dan kebohongan.
- Penggunaan bahan lainnya juga dilegalkan disini seperti penyedap nepotisme, cabai kolusi dan bawang penindasan
- Tambahkan minyak kepentingan.
- Goreng di atas antusiasme masyarakat.
- Sajikan dengan senyum manis dan janji kosong.
Realitanya, moralitas selalu dikesampingkan demi lancarnya hajat untuk berkuasa. Defisiensi moral sudah dapat dilihat juntrungannya di akhir tahun ini. Salah satu bumbu yang sengaja ditampakkan adalah garam korupsi dan minyak pajak.
Pada tanggal 31 Agustus 2024, statement bahwa bumbu itu akan diberikan perhatian serius menyeruak kembali. Prabowo Subianto, sebagai si tukang masak baru (penguasa) yang memasak hidangan, berjanji akan kejar koruptor hingga ke antartika. “Kalaupun dia (koruptor) lari ke Antartika, aku kirim pasukan khusus untuk nyari mereka di Antartika,” tuturnya.
Nyatanya, pada tanggal 19 Desember 2024, garam itu dipastikan berasal dari impostor yang secara diam-diam memberi di belakang layar. Tukang masak kita malah memberikan narasi lunak, “saya Minggu ini dalam rangka memberi kesempatan untuk tobat. Hey para koruptor atau yang pernah mencuri, kalau kembalikan yang kau curi akan saya maafkan.”
Belum lagi fakta bahwa pada tahun 2025 mendatang, makanan itu tidak pernah diberikan secara gratis. Melainkan harus dibayar dengan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Dari yang tadinya 11 persen naik menjadi 12 persen.
Tukang masak sebelumnya, Joko Widodo (Jokowi), menanggapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Ia mengatakan aturan itu sudah diputuskan DPR sehingga pemerintah harus menjalankannya.
Terkesan kejam, bukan? Tentu saja! Politik memang tidak bisa diterka semudah kita mencerna makanan gratis dari penguasa. Sejauh ini, masih ada suara optimis yang membela tukang masak di dapur kekuasaan.
Semoga saja apologi itu benar adanya. Bahwa semua kenyataan ini hanya salah satu hidangan pembuka yang rasanya kurang berkesan. Karena kalau nyatanya ini merupakan hidangan utama, maka tidak ada yang dapat kita lakukan selain menikmati hidangan tanpa rasa yang bisa membuat kita mengingat wajah Machiaveli.
Alhasil rakyat kecewa, kehilangan kepercayaan dan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, penting untuk menggantikan bahan racun dengan bahan alternatif yang sehat dan transparan.
Tukang masak sebagai simbol pemimpin, memiliki tanggung jawab besar dalam menyajikan hidangan lezat dan seimbang. Namun, ketika kekuasaan menjadi prioritas, hidangan tersebut dapat berubah menjadi racun politik! Racun itu akan mengontaminasi semua rakyat.
Sebagai pengingat, saya tutup tulisan ini dengan ayat logika pribadi “Tidak ada penilaian etis dalam obral janji politik. Penilaian etis hanya terjadi saat janji ditepati atau dilanggar!”
Referensi:
Banjarsari, Solo, dilansir detikJateng, Jumat (27/12/2024).
Surbakti, R. (2004). Politik dan Pembelaan Kepentingan
Russel, B. (1946). Sejarah Filsafat Barat
Machiavelli, N. (1513). Il Principe
Tempo.co
Kompas.com
YouTube: Sekretariat Presiden
Ilustrasi: Kenaikan Pajak 12 Persen, Penguasa, dan Bumbu Politik yang Kadaluarsa.(Indoklik)
*Seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri. Mulai menyukai tulisan sebagai bahan perenungan terhadap realita sejak duduk di bangku universitas, tepatnya tahun 2019. Tinggal di daerah Jatiluhur, Bekasi.