OPINI,ULASAN

Kekhawatiran Setelah Pilkada Sumenep: Perampasan Ruang Hidup Akan Semakin Masif

Penulis: Wahyu Eka Styawan*

Sumenep juga banyak mengalami alih fungsi di kawasan pesisir, mulai dari alih fungsi pesisir, juga kawasan mangrove untuk tambak garam, serta beberapa tambak udang.

Perhelatan Pilkada telah usai, tetapi masih menyisakan beberapa kekecewaan. Terutama calon pemimpin yang benar-benar berasal dari dukungan rakyat tumbang. Salah satu yang saya soroti adalah Pilkada Sumenep, di mana calon yang berasal dari bawah diusung, dia adalah KH. Alif Fikri dan Kiai Unais Hisyam yang familiar dengan akronim Final.

Ribuan relawan, santri dan masyarakat biasa benar-benar total mendukungnya. Meski begitu, Final harus kalah saat penghitungan akhir, mereka mendapatkan suara sebesar 249.597, terpaut 130.261 dari lawannya yang juga petahana.

Kekalahan Final benar-benar menjadi catatan penting, hingar bingar dukungan begitu masif dan sang calon didukung oleh banyak teman-teman, senior dan guru penulis yang notabene aktivis pergerakan. Terutama mereka yang terafiliasi dengan Pondok Pesantren Annuqayah dan beberapa perjuangan perlawanan seperti Barisan Ajaga Nak Poto (Batan) serta Forum Ulama Hijau, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan alih fungsi pesisir dan kawasan karst.

Lantas melihat rekam jejak petahana tak seindah bayangan. Karena sebelumnya tercatat dengan seenaknya sendiri merevisi RTRW Sumenep. Revisi tersebut membuka ruang untuk eksploitasi tambang dan alih fungsi pesisir. Mengapa seenaknya sendiri? Karena RTRW dibuat tanpa partisipasi publik, tanpa kajian, tiba-tiba kebijakan tersebut jadi.

Hal itu menunjukkan jika kemenangan petahana cukup meresahkan mereka yang sebelumnya berjuang menolak RTRW atau luasnya kebijakan yang akan merampas ruang hidup warga Sumenep. Sebab, sang petahana akan terus melanjutkan eksploitasi ruang di Sumenep, termasuk tambang fosfat hingga tambak. Apalagi, kita paham ongkos Pilkada tidaklah murah.

Yang Ditakutkan Atas Kekalahan Final

Kemenangan petahana tidak semulus dibayangkan. Elemen yang sebelumnya serius menolak aneka kebijakan perusak alam di Sumenep bersatu dibarisan Final. Mereka mendorong perubahan, agar ke depan Sumenep tidak hancur lebur, meninggalkan rusaknya sumber daya alam untuk generasi yang akan datang.

Perlu diketahui, Sumenep di era petahana benar-benar seperti pasar yang dibuka lebar untuk investor. Menurut catatan Walhi Jawa Timur, Sumenep menjadi wilayah yang paling banya diobral untuk tambang fosfat, kurang lebih ada sekitar 10 konsesi dengan luasan mencapai 758 hektar lebih.

Selain itu, Sumenep juga banyak mengalami alih fungsi di kawasan pesisir, mulai dari alih fungsi pesisir, juga kawasan mangrove untuk tambak garam, serta beberapa tambak udang. Jika diperkirakan alih fungsi ini dapat mencapai 200 hektar lebih, tetapi angka tersebut bisa lebih sehingga perlu pendalaman serius.

Lalu, terkait dengan sumber mata air di Sumenep, kondisinya juga tengah dalam keadaan kritis, banyak sumber mata air yang tidak teridentifikasi, bahkan beberapa mati akibat kawasannya rusak dan dieksploitasi berlebihan. Di Guluk-guluk misalnya, sumber mata air yang eksis tinggal Sumber Payung, sumber terbesar di wilayah tersebut. Debitnya pun kini mulai menurun, apalagi saat kemarau panjang. Bahkan PDAM Sumenep mengakui penurunan debit, terutama saat kemarau yang menurun hingga 10-15 cm.

Ini belum termasuk rencana tambang pasir kuarsa, belum lagi soal migasnya dan aneka ekstraktivisme yang akan terus digencarkan di Sumenep, bahkan pulau-pulau kecilnya. Kita tahu sendiri sumber daya laut di sekitar Masalembu, Kangean hingga Sapeken mengalami penurunan keanekaragaman hayati. Bukannya ada upaya untuk diselamatkan, minimal menghambat kerusakan, yang terjadi sebaliknya.

Eksploitasi semakin dibuka lebar. Potensi tambang pasir laut, penangkapan ikan besar-besaran sampai perluasan migas mungkin akan semakin masif pada hari-hari ke depan. Apalagi benteng terakhir di daerah, yakni Bupati dipimpin oleh orang yang nir-komitmen terhadap pelestarian alam di Sumenep.

Suudzonnya adalah implikasi dari Pilkada yaitu ongkos politik, berupa biaya selama pemilu yang tinggi, salah satuhya berupa politik uang. Tanda-tanda tingginya ongkos politik ialah ditemukannya politik uang oleh tim Final, berbentuk serangan fajar, sebagaimana yang mereka laporkan ke Bawaslu Sumenep.

Jika memang benar demikian, penulis yakin jumlahnya tidak sedikit. Tentu implikasinya adalah yang memberikan ongkos atau sponsor tidak akan tinggal diam, mereka akan minta pengembalian. Inilah yang disebut ijon politik, sejumlah uang ditukarkan kebijakan, izin eksploitasi alam, tender hingga pengaruh politik.

Gerakan Sosial di Sumenep Jangan Kendor

Memang sudah tepat menjuluki pesta demokrasi menjadi pesta oligarki. Meski gaungnya adalah memilih untuk demokrasi, tapi ada yang dilupakan bahwa dalam proses pemilihan kecurangan terus dirawat. Politik uang dibiarkan, dari proses pencalonan sampai pemilihan.

Tidak ada satupun yang diusut atau diputuskan dengan tegas oleh penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu. Walaupun kampanyenya tolak politik uang, tapi amplop seolah-olah jadi pemandangan yang wajar, menjadi sebuah kejahatan yang dinormalisasi.

Kecuranganpun semakin ditampilkan tanpa punya malu, banyak cara yang dilakukan selain amplop, salah satunya ada kecurangan berbentuk sembako dengan dalih bantuan sosial.

Sementara, kita paham masyarakat kita belum memiliki literasi politik dengan baik. Apalagi kondisi ekonomi dan kultural menjadi faktor yang melegalkan aneka praktik kecurangan. Seperti karena ia miskin, maka ia butuh bantuan. Karena sering dibantu maka akan ada tanda terima kasih, yakni ia akan merasa tidak enak untuk tidak memilih seorang calon, walaupun ia tahu bahwa ia benar-benar tidak tulus dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Kondisi demikian menjadi sebuah gambaran utuh, betapa pesta demokrasi bukan lagi pestanya rakyat, melainkan “oligarki.” Karena pasca pemilihan politik balas jasa pada sponsor akan dilakukan.

Jika benar demikian, tentu penulis sangat khawatir akan masa depan sumber daya alam di Sumenep. Karena implikasi dari politik uang adalah masifnya eksploitasi sumber daya alam, lalu dari hal tersebut akan memicu munculnya konflik agraria. Jangan-jangan Sumenep akan mengalami hal demikian, semoga ini hanya kekhawatiran dan ketakutan penulis saja.

Sebagai refleksi, yang perlu digarisbawahi, bahwa semangat dalam mengusung Final harus terus dilanjutkan. Penulis yakin semangat tersebut adalah semangat menjaga Sumenep agar tidak hancur lebur oleh ekstraktivisme.

Selain menuntut keadilan atas politik curang dan tidak etis, seperti politik uang serta aneka tindakan tidak beradap lainnya. Para pejuang demokrasi di Sumenep harus terus menguatkan barisan.

Gerakan sosial di Sumenep harus tetap solid, terutama dalam menjaga dan menjadi lawan sepadan bagi oligarki di Sumenep yang akan merampas sumber daya alam secara habis-habisan. Juga, sebagai perjuangan menjaga warisan alam untuk generasi yang akan datang.

Ilustrasi: Paslon Pilkada Sumenep berlatar Masjid Jamik Sumenep.(indonesiaexpat.id)

 

*Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur

Anda mungkin juga suka...