Karnaval Purna Siswa di Madura, Hajatan Segelintir Orang yang Ganggu Hajat Banyak Orang

Penulis: Ach Jazuli*

Selain punya musim  kemarau dan penghujan, Madura punya musim kemacetan. Musim itu karena adanya arak-arakan karnaval purna siswa yang digelar sejumlah lembaga pendidikan di tempat yang kurang tepat.

Sabtu, 29 Juni 2024 kemarin, saya lakukan perjalanan dari arah Kota Sumenep menuju Al-Amien Prenduan. Tiba di satu titik, tepat sepanjang jalan Karduluk-Prenduan, saya terjebak macet yang amat panjang. Andai bawa alat pengukur (meteran) saya -mungkin saja- mengukur panjang kemacatan itu. Saya kira, ada insiden atau perbaikan jalan, tapi usut punya usut, arak-arakan karnaval purna siswa adalah biang kerok dari kemacetan itu.

Dalam hati saya seketika menggerutu, “Bagaimana nasib para pengendara ini, seandainya yang berada di dalam (salah satu) mobil tersebut ada orang sakit yang harus segera dilarikan ke Puskesmas, atau ada ibu-ibu yang sedang ingin melahirkan dan harus segera butuh pertolongan, atau terdapat penumpang yang sedang memiliki kepentingan mendesak untuk segera sampai pada tujuan”.

“Apakah para panitia tidak pernah memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuknya? Kira-kira jalan jenis apa yang telah ‘semena-mena’ digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Jika alasannya sudah bayar pajak dan sudah mengantongi izin dari pihak kepolisian, mereka (para pengendara) juga sudah bayar pajak, dan bahkan lebih berhak melintas karena memang jalan raya itu, kegunaan ‘utamanya’ untuk kendaraan bermotor dan tidak bermotor, bukan untuk arak-arakan karnaval.

Saya pribadi bukan tidak suka pada karnaval–termasuk karnaval-karnaval yang diadakan oleh lembaga pendidikan–yang biasanya menampilkan tema besar kebudayaan.

Alih-alih tidak suka karnval, saya justru mengapresiasi. Hanya saja, terkadang tempatnya yang kurang tepat, salah satunya mencari rute jalur yang tidak mengganggu (menzalimi) kepentingan umum.

Atau jika tujuannya sebagai ajang kreativitas dan prestasi peserta didik, seharusnya masih banyak konsep-konsep acara yang tidak mengganggu (menzalimi) kepentingan khalayak umum. Tidak mesti berwujud arak-arakan karnaval di jalan-jalan raya.

Setiap kali musim bulan-bulan ‘purna siswa’, seringkali beberapa pengamat sosial, praktisi budaya menyoroti hal-hal demikian. Tentang dampak negatif dan positifnya kegiatan yang menggunakan jalan raya.

Karena fenomena itu, tak berlebihan jika dibilang ; selain punya musim  kemarau dan penghujan, Madura punya  musim kemacetan. Musim itu karena adanya arak-arakan karnaval purna siswa yang digelar sejumlah lembaga pendidikan di tempat yang kurang tepat.

Sekitar sepekan yang lalu, saya sempat baca salah satu postingan Kiyai Dardiri di beranda Facebooknya, beliau dengan begitu apik memposting kegiatan siswanya pada acara akhir sanah atau purna siswa. Kegiatannya begitu khidmat. Pun tidak meninggalkan nilai-nilai agama dan kebudayaan. Dan yang terpenting tidak mengganggu fasilitas umum (jalan raya).

Hal ini sungguh menjadi (salah satu) contoh yang ‘keren’ bagi pengelola lembaga-lembaga pendidikan. Namanya juga lembaga pendidikan, akan mencetak generasi yang terdidik, berpikir kritis, dan terbuka pada setiap hal-hal yang baru.

Seluruh bentuk kegiatan tidak mesti dibuat pakem dan ‘kaku’. Jika kegiatan yang gelar ‘hanya’ sekedarnya meramaikan dan ajang ‘ikut kaprah’. (Mohon maaf) lalu di mana letak berpikirnya. Di mana bentuk kreativitas berkembangnya.

Kalau kata salah satu kawan saya, Ramzi, andai semangat orang-orang–khususnya orang tua murid dalam memajukan dan mendukung pembangunan lembaga pendidikan, sama halnya saat ingin mengadakan karnaval dan arak-arakan sejenisnya, tentu ketimpangan di lembaga pendidikan akan berkurang.

Bayangkan, betapa begitu totalitasnya (hampir) semua orang tua murid ketika menjelang perayaan semacam karnaval dan pawai. Bahkan, tidak jarang sampai mengeluarkan uang puluhan juta untuk menyewa (mendatangkan) grup kesenian seperti, drum band, saronen lengkap dengan kuda mainya, odong-odong, musik tong-tong, dan kostum-kostum kebudayaan.

Tapi, mari kita lihat bagaimana respon wali murid tatkala dihadapkan dengan ‘sumbangan’, SPP, uang gedung, serta administrasi pendidikan lainnya. Tidak sedikit dari mereka yang mengeluh, menggerutu, tidak mau bayar, bahkan sampai ‘menghujat’ dengan berkata bahasa-bahasa yang tidak pantas.

Sekali lagi, saya bukan tidak setuju sepenuhnya dengan perayaan semacam karnaval dan arak-arakan pawai. Tapi mari kita sama-sama berpikir cerdas. Jangan sampai kegiatan dan program yang dijalankan oleh lembaga pendidikan terkesan menghambur-hamburkan, foya-foya, dan tidak mengandung nilai-nilai edukasi. Maslahah dan mafsadahnya harus benar-benar dipertimbangkan.

Masukan wali murid, masyarakat sekitar memang bagus dan harus terus diterima. Hanya saja, bukan lantas langsung diamini semua. Kontrol tertinggi tetap ada pada pengelola lembaga pendidikan.

Setiap lembaga pendidikan harus punya kebijakan yang dijalankan dengan bijaksana. Jangan sampai, lahir anggapan lembaga pendidikan yang butuh murid, tapi muridlah yang butuh terhadap lembaga pendidikan.

Foto utama: Ilustrasi: Imbas karnaval, jalan Raya/utama di Kecamatan Pragaan Sumenep – Pamekasan macet total, Kamis (29/12/2022). (TribunMadura.com, Ali Hafidz Syahbana)

*Merupakan tenaga Pendidik SMP ILH Sumenep, Penulis dan Pegiat Literasi KGB. Akrab disapa “Mas Ajaz” dan bisa disapa via akun medsosnya @ajaz_elmazry .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *