“Jurnalis profesional tidak akan berangkat untuk mengurangi konflik. Mereka berusaha menyajikan berita yang akurat dan tidak memihak. Namun, seringkali melalui pemberitaan yang baik, konflik dapat dikurangi”
Sepenggal kutipan yang disampaikan jurnalis kawakan, Ross Howard di atas mungkin bisa jadi pendorong bagi kalangan jurnalis ketika hendak meliput dan memberitakan konflik pilkada, pemilu, pilkades dan pemilihan pemimpin lainnya.
Sebelum lanjut, disclaimer dulu : tulisan ini diolah dari materi yang disampaikan Rangga Prasetya Aji Widodo; Koordinator Divisi Gender, Minoritas, dan Kelompok Rentan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya periode 2024-2027, di Pamekasan dalam Workshop Conflict Sensitive Reporting: Pilkada 2024
Dalam bahasan ini, contoh data di tulisan fokus ke Pilkada di Madura. Namun poinnya juga berlaku dalam hal Pilkades dan Pemilu.
Lantas, apa itu konflik? Konflik diartikan sebagai segala macam ketidaksepakatan, ketidaksesuaian, bentrokan, perbedaan, atau pertentangan antara dua atau lebih pihak.
Sementara xenophobia adalah sikap, prasangka, dan perilaku yang menolak, mengecualikan, dan menjelekkan orang lain yang dianggap asing atau berbeda. Berupa permusuhan terhadap imigran, anggota suku, budaya, atau agama lain.
Unsur-unsur konflik: Adanya ketidaksepakatan, ketidaksesuaian, perbedaan; Adanya pihak yang berkonflik; Adanya situasi, konteks, atau tahap konflik; Adanya tujuan kepentingan, dan kebutuhan pihak terkait.
Penyebab konflik: Perbedaan pemahaman, pandangan, perspektif, tujuan, nilai-nilai, ideologi, dan lainnya; Perbedaan latar belakang, agama, aliran kepercayaan, suku/adat, ras (kulit hitam, kulit putih), gender (LGBTQ+), atau antar golongan (ormas, komunitas, organisasi); Perbedaan kepentingan, politik terkait kekuasaan atau jabatan, sumber daya (alam, ekonomi, akses), dan lainnya.
Tahapan konflik:
- Pra konflik: Tahap awal konflik yang ditandai dengan ketidaksesuaian tujuan antara dua pihak atau lebih (masalah);
- Konfrontasi: Tahap ketika konflik mulai terbuka (saling diketahui kedua belah pihak) dan berkembang/ menyebar;
- Krisi: Tahap puncak konflik yang ditandai dengan ketegangan dan kekerasan (fisik, psikis, digital, hukum) yang hebat;
- Akhir: Tahap ketika salah satu pihak mengalah, baik karena keadaan (kalah), negosiasi, atau desakan dari pihak lain;
- Pasca konflik: Tahap terakhir konflik dengan damai atau tetap berselisih (terikat dalam perjanjian tertentu).
Apa bedanya masalah dengan konflik?
Masalah: Kesenjangan kondisi antara fakta dan ideal, kenyataan dan harapan, atau penerapan dan aturan terkait suatu hal, harapan, impian, rencana, aturan, etika, norma, dan lain-lain
Konflik: melibatkan dua pihak: bisa lembaga, institusi, kelompok, atau perseorangan. Biasanya, konflik disebabkan :
- Perbedaan pemahaman, pandangan, perspektif, tujuan, nilai- nilai, ideologi, dan lainnya;
- Perbedaan latar belakang, agama, aliran kepercayaan, suku/adat, ras (kulit hitam, kulit putih, dll), gender (LGBTQ+), atau antar golongan (ormas, komunitas, organisasi, dll);
- Perbedaan kepentingan, politik terkait kekuasaan/jabatan,
- sumber daya (alam, uang/ekonomi, akses), dan lainnya.
Titik tegasnya, tidak semua masalah itu konflik,karena tidak selalu ada pihak yang terlibat atau dilibatkan. Tapi di mana ada konflik, di situ pasti ada masalah.
Bagaimana pemetaan konflik pilkada di Madura? Apa sumber konflik yang mungkin terjadi di daerah anda selama Pilkada? Apa yang menyebabkan konflik menjadi kekerasan antar warga sendiri? Apa upaya damai yang biasa dilakukan untuk menyelesaikan konflik itu?
Ada baiknya, pembaca bisa melihat kembali peta konflik kaitannya dengan pemilihan kepala daerah juga pilkades.
Bangkalan
- Konflik Pilkades, Warga Alami Percobaan Pembunuhan – Link
- Ada 45 Desa Rawan Konflik selama Pilkades di Bangkalan – Link
- Dugaan Politik Uang selama Pilkada 2018 di Bangkalan – Link
- Dugaan Politik Uang selama Pemilu 2024 di Bangkalan – Link
Sampang :
- Konflik Sunni-Syiah di Sampang – Link
- Polisi Sita Ratusan Sajam di Pilkades Sampang (2019) – Link
Pamekasan:
- Tiga Makam Dibongkar Akibat Konflik Pilkades di Pamekasan (2015) – Link
- Diduga Konflik Pilkades, Warga Dianiaya Hingga Tewas (2020) – Link
- Tragedi Carok Selama Sengketa Pilkades di Pamekasan – Link
Sumenep:
- Tiga Kecamatan di Sumenep Rawan Konflik selama Pilkades – Link
- Politik Uang Pemicu Konflik Pilkades di Sumenep – Link

Apakah sederet konfilik dengan penyebab di bawah ini ada di daerah pembaca?
- Persaingan ketat antar peserta Pilkades, Pilkada, Pileg, atau Pemilu. Hingga, menghalalkan segala cara untuk menang;
- Simpatisan peserta Pilkades, Pilkada, Pileg, atau Pemilu yang loyal/fanatik, rela berbuat segalanya demi calon kepala daerah yang didukung menang;
- Kecenderungan pemilih untuk like dan dislike, memilih berdasarkan kesamaan SARA, mudah terhasut berita hoaks (misinformasi/disinformasi);
- Diseret dalam ruang kompetisi: Memberitakan/menindak salah satu peserta Pilkades, Pilkada, Pileg, atau Pemilu tertentu dinilai sebagai pendukung pihak lainnya
Konflik muncul atau terjadi karena kerusakan/kesalahan komuniaksi antar pihak. Selain itu, karena kurang asertif, yakni kurang bisa menyampaikan keberatan dengan baik kepada pihak lain.
Apakah Konflik Itu Buruk?
Tidak semua konflik itu buruk. Konflik dapat bersifat negatif maupun positif, tergantung bagaimana cara mengelola konflik tersebut..
Konflik negatif biasanya memiliki ciri; kurang komunikasi dan enggan berkompromi. Konflik akan berdampak stres dan menurunnya produktivitas
Sementara konflik positif punya ciri : Perbedaan dikomunikasikan dan dihormati, masalah dibahas secara terbuka. Konflik akan berdampak memperkuat hubungan, mendorong perubahan, menghasilkan ide-ide baru, memecahkan masalah, mengembangkan keterampilan, dan menumbuhkan kreativitas
Potensi Ruang Konflik Pilkada
Potensi konflik sejak pencalonan, kampanye, pemungutan suara hingga rekapitulasi/penghitungan biasanya antara lain”:
- Ujaran kebencian atau hate speech, adu domba, memfitnah
- Politisasi perbedaan suku, agama, ras, antar golongan (SARA)
- Politik identitas, populisme (rakyat vs elit politik)
- Berita bohong atau hoaks, misinformasi, disinformasi Pilkada
- Politik uang, gentong babi atau pork barrel, ASN tidak netral
- Diskriminasi atau pelakuan tak adil terhadap kelompok rentan
- Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), politik dinasti, xenophobia
Tujuah hal di atas akan menimbulkan:
- Kekerasan antar warga, pembunuhan, bentrok dengam senjata tajam
- Terganggunya ketertiban umum, dendam diturunkan antar generasi
Sementara potensi konflik pasca / hasil Pilkada akan muncul:
- Berita bohong, hoaks, disinformasi, misinformasi
- Tidak percaya pada proses dan hasil Pilkada
Dampaknya: Perpecahan antar warga/polarisasi, delegitimasi Pilkada, dendam diturunkan antar generasi
Upaya Memahami Koflik Sensitif Selama Meliput Pilkada
- Skala konflik: (Latar belakang konflik apa? Seberapa besar masalahnya? Motif
- dan kepentingan?)
- Perubahan konflik: (Apakah tensinya meningkat, menurun, atau stagnan?)
- Ranking atau Outlier (Siapa yang terbaik/untung, siapa terburuk/merugi? Polanya berbeda?)
- Hubungan konflik: (Apakah konflik ini berhubungan dengan lainnya atau tidak?)
- Penjelasan konflik: (Pendekatan ini menggunakan tools, interaktif, atau ilustrasi)
- Variasi konflik: (Di kota/provinsi yang satu berbeda dengan yang lainnya?)
- Masalah dan solusi: (Ada atau tidak upaya penyelesaian konflik? Kalau belum ada, bisa dicari tawaran solusi)
- Keamanan pemberitaan: (Bagaimana keamanan narasumber, whistleblower, atau pihak-pihak yang terlibat nanti? Dampak apa saja yang ditimbulkan dan mitigasinya? Memperkeruh konflik atau tidak?)
Bagaiman Sikap Jurnalis/Media Meliput Konflik? Berpihak ke Siapa? Mengapa Netral?
Wisnu Prasetya Utomo bilang: “Saya tidak memercayai ada media yang netral, media bisa saja independen tetapi tidak mungkin netral dan selalu mempunyai sikap keberpihakan”
Dalam tulisan ini, Wisnu juga bilang, rezim pengetahuan dalam kajian jurnalisme menjelaskan bahwa media dan jurnalis harus bersikap netral. Sikap netral diperlukan agar jurnalis bisa memberikan ruang yang sama bagi pihak-pihak yang diberitakan dengan berimbang (cover all sides). Tentang isi berita, biarkan para pembaca dengan perangkat pengetahuannya sendiri yang menyimpulkan.
Jika dilanjutkan, alurnya kemudian adalah media tidak boleh menunjukkan keberpihakan sementara jurnalis juga tidak boleh menunjukkan sikap (politik) terhadap isu tertentu. Ringkasnya, netralitas mengandaikan bahwa media harus berjarak dan bersikap dingin terhadap objek yang diliputnya. Hanya dengan begitu, kebenaran jurnalistik bisa didapatkan. Di Indonesia, proses industrialisasi sekaligus depolitisasi media di masa Orde Baru menjadi lahan subur yang menumbuhkan pandangan tersebut.
Namun, pandangan tersebut bermasalah dari banyak sisi. Istilah netral dalam jurnalisme sendiri problematis baik secara struktural maupun kultural. Secara struktural, ia jelas mengabaikan kondisi ekonomi politik yang membentuk lanskap media sebagaimana yang kita pahami hari ini.
Bagaiman Sikap Jurnalis/Media Meliput Konflik? Berpihak Ke Siapa? Mengapa Netral?
Karena, sikap media/jurnalis untuk berpihak atau netral terhadap suatu isu-isu tertentu itu memang bisa berbeda-beda. Dan itu wajar. Misal, isu A netral, isu B berpihak. Isu C netral. Isu D berpihak. Dan seterusnya.
Tergantung dari visi-misi media, kepentingan media, isu-isu yang diprioritaskan media, iklan/sponsor, dan independensi media dalam menyikapi suatu isu-isu tertentu.
Dalam hal konflik seperti Pilkada ini, jurnalis harus:
- Diutamakan netral, tidak berpihak ke salah satu yang berkonflik.
- Tujuan resolusi, dua pihak damai, atau tensi konflik mereda/berkurang
- Harapan mengurangi kekerasan fisik, psikis, digital, dan hukum
- Menganggap dua pihak setara, memberi ruang bersuara yang sama antar pihak
Sementara dalam konteks Jurnalisme Advokasi, jurnalis harus:
- Berpihak kepada yang terpinggirkan, menjadi korban/penyintas, tak punya ruang bersuara, dan marginal
- Tujuan membantu pihak yang lemah agar dapat keadilan
- Melihat dua pihak tidak setara atau jomplang kuasa, warga dan elite, buruh dan pengusaha, dan lain-lain, tetap konfirmasi dan cover all side, memberi ruang lebih pada pihak yang lemah
- Harapan suara dan jeritan orang-orang kecil didengarkan, tetap memperhatikan keamanan narasumber
Bersambung ke : Sederet “Ayat Khusus” yang Perlu Dipahami Jurnalis Kala Ingin Memberitakan Konflik Sensitif Selama Pilkada.
Ilustrasi: Ilustrasi Wartawan. (©2015 Merdeka.com)