Majelis Masyarakat Maiyah Jhembhâr Atè, Sampang mendiskusikan mistikisme Madura dalam acara “Ajhâr Ampaghân” (belajar bersama-sama), Sabtu (13/07/2024).
Acara tersebut digelar di area Perpustakaan Daerah Kabupaten Sampang dan mengundang tiga pembicara; Royyan Julian (Penulis cum Dosen), M. Sholah Ulayya (Koordinator Cosmic Intelegent Jawa Timur), Serta Khalil Tirta (Penyair, cum Koordinator Dhâmar Atè).
Jhembhâr Atè merupakan salah satu simpul maiyah yang lahir pada Oktober 2020 dan berkegiatan khusus di Kabupaten Sampang. Dua kata itu diambil dari Bahasa Madura yang memiliki arti hati gembira.
Umar Fauzi Ballah, pemandu acara menuturkan, Jhembhâr Atè didirikan 18 Oktober 2020. Acara pada malam tersebut merupakan acara yang ke-10. “Selain menggelar Ajhâr Ampaghân, kami juga mengadakan kegiatan Malem Sabtoan (jum’at malam) digelar dari rumah ke rumah anggota untuk berdiskusi dan berselawat,” terang Ballah.
Royyan mengungkapkan, kebatinan Madura jika dilihat dari lagu-lagu Madura adalah mistik keseharian. Di Jawa ada tembang Lir-ilir, Madura memiliki ghâi’ bintang alè’ ghâgghâr bulân (niat meraih bintang ternyata yang jatuh rembulan) yang secara bentuk juga surealisme.
“Lagu ghâi’ bintang alè’ ghâgghâr bulân menggambarkan jarak astronomis dan geografis. Ini merupakan ikhtiar orang Madura yang menggalah bintang tapi namun yang di dapat bulan karena galahnya janur kuning. Bisa dilihat juga dalam ungkapan mandhâr bâdâ’â li’-bâli’na dâdâr. Yang artinya usaha apapun tidak bisa jika tidak disertakan kehendak tuhan,” jelasnya.
Menurutnya, mistik Madura bagi adalah mistik yang bergulat dengan alam. Orang madura memiliki batas untuk membicarakan yang spiritual, tidak sama dengan Jawa. Hal itu dipengaruhi oleh pergulatan orang Madura dengan alamnya yang tandus. Spiritual orang Madura adalah spiritual dirinya dengan hidup dan takdir.
“Corak beragama orang Madura tidak mistik tapi lebih ke syariatnya”, kata Royyan, mengutip Mien Achmad Rifai (penulis buku Manusia Madura).
Royyan mengaku, sejauh membaca buku tentang Madura belum menemukan mistikisme Madura. Walaupun ada, itu pasti dipengaruhi Jawa atau Arab.

Berbeda dengan Royyan, Sholah beranggapan mis adalah perempuan dalam bahas dan tik adalah konsep kesadaran. Menurutnya tik di Jawa adalah cipto, roso, dan karso. Cipto adalah apa yang diciptakan dalam pikiran, roso adalah apa yang kita rasakan, dan karso yang mehubungkan antara keduanya.
“Karsa adalah dorongan alami yang menjalankan gerak manusia. Tik bagi saya bagaimana mengawinkan dua kesadaran tersebut. Misalnya ketika langit tidak menurunkan hujan bumi akan kering dan kacau,” jelasnya.
Khalil membedah mistikisme Madura melalui tembang Madura. Menurutnya, tembang blârâ’ klarè trèbung manyang memiliki makna yang dalam.
“Blârâ’ adalah daun siwalan yang pinggirnya tajam ditengah licin. Klarè adalah upaya menguuatkan diri, sedangkan tarèbung manyang bisa dimaknai sebagai tali atau pengikat. Maka ketika kamu berjalan pada sesuatu yang tajam maka klarè atau kuatkan, dan tarèbung manyang sebagai mengikat hal itu,” jelasnya.
Dia bilang, wacana-wacana seperti itu tidak akan bermakna jika tidak dimaknai sendiri oleh orang Madura. “Zaman dulu itu belum dilakukan, jadi pantaslah jika kita tidak seberkembang Jawa, mangkanya ayo bersama-sama pupuk pengetahuan kita,” katanya.
Acara ini dihadiri sejumlah masyarakat Sampang dan beberapa komunitas di Madura. Sebelum sesi diskusi acara Sholah membaca puisi “Dâdâ Sè Èporak” (dada yang dibelah) bersama anaknya.
Foto utama: Royyan sedang menjelaskan mistikisme Madura. (Samroni/Indoklik)