Penulis: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.*
Beranda pemberitaan ramai dengan kasus yang menunjukkan tidak sedikit penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran (orang berada) dan bahkan ada jalur tikus untuk mendapat beasiswa ini, yakni melalui jalur politik, jalur aspirasi anggota DPR. Terdapat ketimpangan alokasi anggaran beasiswa KIP Kuliah antara PT Umum (di bawah Kemdikbudristek) dan PT Keagamaan (di bawah Kementerian Agama).
Bersamaan dengan ramainya pemberitaan tentang naiknya UKT di hampir semua PTN, beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk Kuliah juga menjadi topik yang turut dibicarakan, lebih-lebih setelah diberitakan tidak sedikit penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran (orang berada) dan bahkan ada jalur tikus untuk mendapat beasiswa ini, yakni melalui jalur politik, jalur aspirasi anggota DPR.
KIP Kuliah merupakan program beasiswa yang diperuntukkan bagi lulusan SMA/sederajat yang hendak melanjutkan studi ke perguruan tinggi namun tidak mampu secara ekonomi sedangkan yang bersangkutan memiliki prestasi baik untuk belajar hingga lulus tepat waktu.
Program pemerintah ini telah berjalan sejak 2010. Awalnya bernama Beasiswa Bidikmisi atau Bantuan Biaya Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi dan Kurang Mampu. Sejak 2020, namanya diganti menjadi KIP Kuliah. Penerima KIP Kuliah mendapat beasiswa sebesar 6,6 juta tiap semester, yang dialokasikan untuk sumbangan biaya pendidikan sebesar 2,4 juta dan selebihnya (4,2 juta) untuk biaya hidup (living cost) selama 6 bulan (satu semester) @ 700 ribu,-.
Dalam perkembangannya, jumlah tersebut dinaikkan seiring meningkatnya biaya pendidikan dan biaya hidup. Untuk biaya pendidikan bertambah mulai dari 2,4 juta sampai 12 juta tergantung program studi yang dipilih. Sedangkan untuk biaya hidup, dibagi berdasarkan 5 klaster daerah yaitu daerah klaster 1 sebesar 800 ribu, klaster 2 sebesar 950 ribu, klaster 3 sebesar 1,1 juta, klaster 4 sebesar 1,25 juta, dan klaster 5 sebesar 1,45 juta.
Karena jumlah bantuan terbatas, sedangkan yang mendaftar terus bertambah, calon penerima KIP Kuliah diseleksi ketat dan bahkan dilakukan survey ke rumah-rumah calon penerima, untuk memastikan agar penerima beasiswa KIP tepat sasaran.
Terlepas dari masih terbatasnya alokasi beasiswa KIP Kuliah, yang jelas sejak program ini digulirkan tahun 2010, membuat orang tak punya merasa senang karena peluang untuk kuliah di PTN favorit terbuka. Berita “orang miskin dilarang kuliah” di tengah kian meningkatnya biaya pendidikan, dapat ditempuh oleh anak-anak dari keluarga tak punya namun berprestasi, melalui jalur beasiswa ini. Terbukti, melalui program beasiswa ini, telah banyak anak tukang becak, anak asisten rumah tangga, anak petani miskin, yang lulus PTN favorit bahkan di jurusan yang berbiaya mahal seperti jurusan kedokteran.
Lalu, di mana letak diskriminatifnya program pro rakyat ini?
Pertama, sebagaimana diberitakan akhir-akhir ini, tidak sedikit penerima KIP Kuliah berasal dari kalangan orang berada, dan ini jelas mengabaikan dan menyakiti anak-anak miskin yang sangat penuh harap dari program ini.
Kedua, jalur politik (melalui aspirasi anggota DPR) sebagai jalan pintas memperoleh KIP Kuliah. Jalur ini, berpotensi sangat subjektif dalam menentukan calon penerima, karena kriteria penerima tergantung anggota DPR yang bisa jadi mengabaikan kriteria utama calon penerima, yakni miskin dan berprestasi.
Sebelumnya, banyak masyarakat tidak tahu, ternyata ada jalur politik untuk mendapatkan KIP Kuliah. Publik menjadi tahu setelah Stafsus Presiden mengusulkan agar penerimaan KIP Kuliah melalur jalur aspirasi DPR, dihentikan, karena potensial tidak objektif dan tidak tepat sasaran. Dan tentu saja, banyak masyarakat tidak tahu berapa persen dalam tiap tahunnya KIP Kuliah yang disalurkan melalui jalur politik ini.
Kenyataanya, ada mahasiswa atau calon mahasiswa yang memang kurang mampu dan beprestasi, tapi tidak menerima KIP Kuliah. Ibarat jalan raya, KIP Kuliah ini adalah trotoarnya. Seperti kita tahu, trotoar ini khusus untuk pejalan kaki. Pejalan kakinya adalah mahasiswa atau calon mahasiswa yang kurang mampu tapi beprestasi.
Ilustrasi sederhananya begini. Ada 100 orang hendak pergi ke sebuah acara di sebuah gedung. 70 orang punya kendaraan bermotor. Sementara, 30 orang sisanya, tidak memiliki kendaraan dan harus jalan kaki melalui trotoar untuk bisa sampai di gedung itu. Akan tetapi, 70 dari 100 orang ini, melaju dengan cepat dan ugal-ugalan di jalan raya untuk bisa sampai ke gedung itu. Bahkan, mereka sampai ada yang melintasi trotoar yang notabane untuk pejalan kaki.
Akibatnya, sebagian bahkan semua dari 30 orang sisanya terganggu perjalanannya karena trotoarnya dipenuhi kendaran bermotor. Selain iut, trotoar tersebut masih dipenuhi krikil tajam dan duri berserakan di sepanjang jalurnya. Bahkan, sebagian dari 30 ini diserempet oleh yang bermotor tadi, sampai ada yang terjatuh dan alami cedera parah. Sehingga harus dibawa rumah sakit untuk dirawat, bahkan ada yang meninggal dan tidak mendapat ganti rugi apapun. Akhirnya, sebagian dari 30 orang yang terkena serempet tadi, sudah tidak bisa sampai ke acara, terluka, cedera bahkan meninggal. Ini sungguh ketimpangan yang nyata. Ilustrasi ini, juga masuk dalam pribahasa “Sudah Jatuh Tertimpa Tangga“.
Ketiga, terdapat ketimpangan alokasi anggaran beasiswa KIP Kuliah antara PT Umum (di bawah Kemdikbudristek) dan PT Keagamaan (di bawah Kementerian Agama). Sebagai bahan perbandingan, rata-rata penerima KIP Kuliah untuk calon mahasiswa baru mencapai 200.000 mahasiswa per tahun. Di tahun 2021, PT Keagamaan hanya mendapat alokasi 17.615 mahasiswa, dan di tahun 2023 bertambah menjadi 33.800 mahasiswa. Selebihnya (166.200) disalurkan melalui PT Umum.
Dengan jomplangnya sebaran beasiswa tersebut, maka penerima KIP Kuliah di PT Umum cukup melimpah sebaliknya di PT Keagamaan kekurangan, padahal pendaftar PT Keagamaan rata-rata dari keluarga tak mampu.
Sebagai contoh, di tahun 2023 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mendapat jatah penerima KIP Kuliah sebanyak 4.239 mahasiswa. Universitas Trunojoyo Madura (UTM) 1.948 mahasiswa. Universitas Negeri Malang (UM) 1.461 mahasiswa. Sedangkan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di tahun yang sama, hanya mendapat porsi 753 mahasiswa dan UIN Sunan Ampel Surabaya hanya 600 mahasiswa. Fakta itu menunjukkan sebuah ketimpangan yang nyata dan sangat diskriminatif.
Hemat penulis, ketimpangan penerima beasiswa KIP Kuliah antara PTN dan PTKIN, hanya salah satu contoh betapa diskriminasi penyelenggaraan pendidikan tinggi (antara PTN dan PTKIN) masih berlangsung hingga kini, dalam banyak aspek.
Wallāhu a`lam.
*Penulis merupakan Guru Besar IAIN Madura.