Penulis: A Dardiri Zubairi*
Akankah Pilkada Sumenep itu bernasib seperti pertandingan Timnas Indonesia dan Bahrain dalam kualifikasi Piala Dunia 2026 beberapa waktu lalu? Oh, no!
Sejak kecil saya suka bola. Hampir setiap hari sehabis sekolah saya bersama teman-teman main bola. Tempatnya kadang di sawah setelah tanaman padi dipanen. Atau di tanah tegalan setelah panen jagung selesai. Atau di tanah gersang yang gak bisa ditanami.
Sepak bola di Sumenep Madura disebut “tembhung“. Ada juga yang menyebut “bal“. Saya tidak tahu persis sejak kapan ada bola di Madura. Karena sejak kecil saya tidak pernah dengar ada klub sepak bola kayak Madura United sekarang. Kalau pun ada biasanya klub setingkat kecamatan. Di kecamatan saya ada klub Persega (Perserikatan Sepak Bola Gapura) dan Mitra Buana yang sering mengadakan laga persahabatan dengan klub sepak bola lain. Klub sepak bola yang cukup terkenal di Sumenep namanya “Sepakat” dari kecamatan Lenteng, 22 km jaraknya dari kecamatan saya.
Bola yang kami pakai cukup unik. Jika tak punya uang sekadar beli bola karet, kami mengumpulkan sampah plastik atau pecahan kain (sarung atau baju), dibentuk bulat layaknya bola dan dianyam dengan pelepah pisang kering yang lebih dulu dianyam seperti “tampar” atau tambang.
Ada teman yang memang ahli bikin bola dari sampah plastik atau kain perca. Bola itulah yang ditendang ke sana kemari oleh kami. Kadang karena kerasnya permainan dan silih berganti bola itu ditendang, tali yang melilit plastik putus. Kain dan sampah plastik terurai keluar seperti terurainya usus perut akibat perut robek disabet pedang.
Kami main bola dengan kaki telanjang. Mungkin kaki tak akan ada masalah jika main di lapangan bola. Ini beda. Lapangan tidak rata. Banyak batu dan krikil. Atau banyak sisa-sisa batang padi yang bisa nancap di kaki. Jika kaki terluka, tinggal ngambil getah batang pisang. Perih memang, tapi cepat kering.
Saya masih ingat nama-nama teman main bola saya. Zainal dan Zaini (kakak-adik), Amir, Rihwan, Kifli, dan beberapa orang yang lebih tua dari saya. Dari sekian teman akrab main bola (juga di luar bola) adalah Kifli. Bersamanya saya membentuk klub bola “TUNAS MUDA”. Nama ini saya peroleh dari buku bacaan yang judul bukunya saya lupa.
Jika ada “tompowan” (laga persahabatan) dengan klub sepak bola desa lain, nama ini yang kami pakai. Meski saya ingat tim kami sering kalah. Saya sendiri karena sejak kecil memang kurus ditempatkan di posisi depan. Di belakang biasanya yang punya badan tegap dan kekar. Tak ada formasi. Bermainnya random. Kemana bola bergerak, ke situ semua pemain numpuk.
Istilah pelanggaran yang kami kenal terbatas; hen (hand) untuk menyebut bola yang menyentuh tangan, opset (off side) untuk orang mendahului bola terutama di depan gawang lawan, cornel (corner) untuk menyebut tendangan pojok. Kami tidak tahu formasi atau sekedar secara lengkap sebutan posisi masing-masing pemain. Tahunya cuma ada penyerang, bagian tengah (termasuk gelandang) dan back yang biasanya diisi 3 orang.
Karena bermain tanpa ada wasit (atau ada tetapi tidak bisa bersikap tegas) maka setiap orang harus menjaga diri agar anggota badan (terutama kaki) selamat dari amukan lawan. Ini berlaku terutama bagi yang memiliki kemampuan bagus bermain bola. Bagus tidaknya biasanya diukur dengan kelincahan menggiring bola. Lepas dari kawalan lawan dan meliuk-liuk meski sebenarnya egois dan jarang masukin bola ke gawang. Jika Anda memiliki kemampuan seperti itu, maka pasti keplokan tangan selama membawa bola akan terdengar nyaring.
Lawan tanding macam-macam. Kadang antar kampung, antar desa, dan antar sekolah. Bahkan kadang lucu pertarungan bisa dengan tim satu kampung yang hanya dipisah oleh jalan raya, antara “Lao’ Lorong” (selatan jalan) dan “DâjâLorong” (utara jalan). Jika panas, pertandingan bisa disudahi dengan saling ejek. Apalagi tim yang kalah, makin panas ejekannya.
Tak ada waktu main, yang penting sebelum Maghrib pertandingan sudah harus disudahi. Bukan karena cukup bermain bola, tapi karena di masing-masing rumah sudah tersedia sapu lidi yang siap memerahi betis bagi anak yang lambat pulang untuk ngaji Al-Qur’an. Itu anak-anak dulu, bersenang-senang tetapi tetap memperhatikan aturan main orang tua.
Kecintaan sama bola ternyata menurun sama anak. Berbeda dengan era bapaknya, saat ini lumayan mewah. Kalau anak main bola udah pakai Jersey, sepatu, dan ikut klub Gapura United, di samping juga aktif di tim futsal madrasahnya.
Pengalaman main bola dan suka menonton bola ternyata bermanfaat untuk membaca peta pertarungan di pilkada. Kadang perlu counter attack. Kadang perlu ketelitian apa harus menerapkan zona marking atau man to man marking.
Gus Dur pernah menggunakan strategi pertahanan ala timnas Italia, “Catenaccio”, suatu sistem grendel untuk membendung lawan politiknya, meski akhirnya mengundurkan diri untuk kepentingan bangsa yang lebih besar.
Ibarat pertandingan bola, akankah Pilkada Sumenep itu bernasib seperti kejadian timnas Indonesia yang harus seri karena kemenangannya dirampok sama wasit Al Kaaf ketika bertandang ke Bahrain? Oh, no!
Soal kalah-menang sebenarnya biasa dalam permainan sepak bola. Tapi pecinta bola pasti marah jika wasit tidak fair, seperti marah kepada Al Kaaf karena sangat kentara memihak, justru di injury time.
Semoga di Sumenep, para penyelenggara pemilu (termasuk birokrasi yang seharusnya netral) bisa menjalankan tugasnya dengan fair, adil, dan tidak memihak. Tapi, apa iya? Wallahu a’lam.
Ilustrasi: Ibarat Pertandingan Bola, Pilkada Sumenep Juga Butuh Wasit yang Adil. (Foto Masjid Jamik Sumenep dan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sumenep 2024).(Desain-Canva-Indoklik)
*Warga biasa yang tinggal di Gapura, Sumenep.