Penulis: Gafur Abdullah
Sebelum meninggal, Samaru tak pernah absen nyonson[1] celurit miliknya. Kata teman, yang juga tetangganya, celurit itu disebut celurit keramat. Konon, blater yang paling angkuh dan dikenal memiliki ilmu kekebalan, tersungkur satu kali tebas setelah kepergok melakukan pencurian sapi di desa itu. Sekarang, celurit itu tidak diketahui keberadaanya. Yang jelas, celurit itu tidak sempat ia sangkolaghi[2] kepada siapapun, termasuk anaknya sendiri, Muni.
Muni dibuat bingung kepalang setelah sadar dari kesedihannya pasca nyawa ayahnya habis diracun pemilik warung kopi dekat rumahnya. Kadang ia merenung dan ingin meluapkan amarahnya kepada pembunuh bayaran itu.“Suatu saat, aku akan mengambil nyawa pelaku dan yang menyuruhnya,” Muni membatin.
***
Semua warga desa Ragang masih dibelenggu rasa heran dengan celurit keramat yang lama tak ada kabar. Tokoh masyarakat pun resah dengan kehilangan celurit itu. Muni dan Sumani, istri Samaru terus diserbu dengan pertanyaan oleh warga dan tokoh masyarakat. Pernah suatu saat, persis hari ke 40 Samaru meninggal, ada tamu yang sengaja datang dari luar Madura ingin membeli celurit itu.
“Sekalipun ada, mau dibeli berapapun, kami tidak akan menjualnya, pak.” Muni sadar, kalau celurit itu sangat berharga bagi Samaru. Karena Muni tahu, celurit itu tidak sama dengan celurit Madura pada umumnya. Baginya, celurit itu tidak ada nilainya kalau mengingat perhatian Samaru dalam merawatnya. Muni tahu persis, bagaimana ayahhnya merawat celurit keramat itu setiap malam Jumat Legi. Mendiang ayahnya pernah bilang, “Cong[3], jika aku meninggal, jaga celurit ini baik-baik. Ini bukan celurit sembarang. Aku mendapatkan celurit ini karena didatangi lamat[4].”
***
Kepergian Samaru genap 10 tahun. Usia Muni sudah masuk dewasa. Namun tetap saja ia tidak bisa dan tidak ingin melupakan pemilik warung yang dianggap berani mengambil alih tugas malaikat pencabut nyawa. Saban Jumat Legi, ia pergi ke tempat dimana ayahnya dikuburkan.
“Ayah, aku ingin membalaskan dendam untuk ayah.” Setiap kali ke kuburan ayahnya, ia selalu pamit untuk membalaskan dendam. Tapi, pikiran balas dendam itu buyar seketika setiap kali ibunya meminta dirinya untuk ikhlas dengan kejadian beberapa tahun silam.
“Tapi kenapa harus diracun, Bu? Kenapa harus Ayah? Memangnya ayah salah apa waktu itu?” Suatu saat, Muni bertanya kepada ibunya.
“Sudah, sudah, sudahlah, cong. Ibu tidak bisa jawab sekarang. Cukup ayahnya yang menjadi korban. Kamu tidak memiliki tugas balas dendam. Ibu tidak mau kamu terlibat masa lalu yang buram.” Sumani memang tidak pernah bercerita tentang perbuatan suaminya semasih hidup.
“Maksud, Ibu?” Muni mulai menajamkan nalar berpikirnya karena perkataan Sumani yang menurutnya aneh. Melihat rasa penasaran yang nampak dari mata Muni, Sumani mengalihkan pembicaraan dengan mengajaknya makan. Muni mencoba menurut ajakan ibunya meskipun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan.
Muni ikuti saja ajakan ibunya. Dengan lahapnya, ia santap nasi dan lauk seadanya. Sementara ibunya, terus menatapnya penuh ketakutan. Proses makan muni sudah selesai dan meraih serebt di dekat piring. Tiba-tiba, Muni dikagetkan dengan suara ibunya yang parau diselingin isak tangis lirih.
“Kamu harus tahu satu hal, cong. Ayahmu meninggal memang karena diracun pemilik warung itu,” isak tangisnya menjadi-jadi setelah Sumani mencoba membuka lembaran peristitwa 10 tahun silam.
“Satu hal yang harus kamu tahu. Sumi, pemilik warung sebenanrnya baik. Tapi saat itu ia tidak punya pilihan lain,” Sumani perlahan ingin membuka semuanya.
“Aku semakin tidak mengerti maksud, Ibu.” serbet yang ada ditangan Muni diletakkan sembarang di atas lincak.
“Dulu, waktu ayahmu masih muda dan sebelum kamu lahir, suaminya dibunuh oleh ayahamu karena persoalan air. Waktu itu musim kemarau krisis air. Sungai mulai mengering perlahan. Hanya tersisa sedikit di sungai pegghâ’[5]. Aku dan ayahmu tidak menyirami tembakau selama dua hari karena nenekmu yang di Masaran meninggal. Karena sudah dua hari tidak disiram, aku dan ayahmu berniat untuk menyiram tembakau yang tanahnya dekat dengan tanah mereka di pinggir sungan itu. Tiba di sungai, air sudah tidak ada. Setelah ditelusuri, habisnya air itu karena ulah Sadu, suami dari Sumi. Biasanya, setiap tahun ayahmu dan Sadu sepakat air itu hanya untuk menyiram tembakau secara bergantian. Satu hari dipakai menyirami tembakau ayahmu, sehari setelahnya dipakai boleh dipakai Sadu. Saat itu memang salah Sadu. Tapi ayahmu juga salah menurut ibu. Ayahmu tidak bisa mengontrol emosinya. Saat itu juga, ayahmu menemui Sadu di rumahnya dan membunuhnya dengan celurit yang ayahmu sonson tiap malam Jumat legi itu. Sebenarnya, celurit yang kata orang keramat, itu bukan milik ayahmu. Tapi ia mengambil milik kakekmu di Masaran. Celurit itu memang keramat. Karena celurit itu datang sendiri ke tempat tidur kakekmu dulu. Mungkin, sejak kejadian itu, Sumi merasa sangat benci kepada ayahmu. Bahkan kepada kita sekeluarga. Merasa ada kesempatan, makanya ia memanfaatkan kesempatan saat ayahmu nongkrong di warung itu lalu ia racun. Dan tentang celurit itu, sengaja ibu menyimpannya dan tidak ingin ada orang yang menyentuhnya. Termasuk kamu. Ibu takut, bekas tangan ayahmu di celurit itu akan menurlarkan keangkuhan yang datang dari setan.”
Penjelasan Sumani sungguh membuat Muni menelan ludahnya perlahan. Dadanya semakin sesak penuh dendam yang tak pernah padam. Di depan ibunya ia hanya bisa diam. Namun dibalik diamnya masih ingin balas dendam. Rupanya, ia sudah dikuasai setan dan amarahnya. “Tapi nyawa tetap dibayar dengan nyawa.” Batin Muni melawan nasihat ibunya.
“Baik, Bu. Aku akan mencoba untuk tenang. Sekarang, di mana celurit keramat itu? Aku hanya ingin melihatnya sekali.” Muni mencoba menutupi keangkuhan dan amarahanya.
Diraihlah tangan Muni ke kamar kosong nan gelap. Di mana tempat celurit keramat itu disimpan. Muni sudah tidak sabar melihat dan memegang celurit itu. Harum dupa mulai menyeruak setelah dibuka pintu kamar kosong itu. Sumani masuk sendirian ke kamar itu. Sedang Muni tidak ia izinkan masuk.
Diambilnya celurit itu lalu ia bawa ke luar kamar. Muni merasa lega, karena benda yang dianggap keramat sudah ada di depan matanya. Ibunya hanya membolehkannya melihat tanpa harus memegangnya. Beberapa menit kemudian, celurit itu dimasukkan kembali kamar itu oleh Sumani. “Oh, jadi di sini ibu menyimpannya selama ini. Pantas saja, kamar ini tidak pernah ia buka setelah ayah tiada,” keresahan Muni akan celurit itu sudah terbayar.
***
Satu bulan kemudian, Muni merasa bebas masuk ke kamar kosong itu. Ia diam-diam mengintip dimana ibunya meletakkan kunci kamar itu. Celurit sudah di tangannnya. Pegangan tangannya menutupi bekas tangan mendiang Samaru. Muni merasa sudah dewasa dan merasa perkasa karena tangannya dianggap sama dengan tangan ayahnya waktu itu.
Dengan lirih tapi hati mendidih, ia tertawa dengan mata sinis menatap tajam. Ia bicara pada dirinya sendiri. Mulai hari ini, dendam ini akan kau bayar perlahan. “Aku akan robek tubuh Sumi dan keluarganya dengan celurit keramat ini.” Matanya memerah. Kakinya melangkah pelan dengan pikiran mengancam. Ia bungkus celurit itu dengan sarung yang ia pakai. Ia sudah bertekad untuk pergi ke warung Sumi untuk mengambil alih tugas malaikat maut.
Saat itu juga, ia pergi ke warung Sumi tanpa sepengetahuan Sumani. Di perjalanan, ia tidak menampakkan sesuatu yang menimbulkan kecurigaan di depan umum. Ia berjalan seperti orang yang hanya ingin sekadar ngopi dan nongkrong di warung tiap harinya.
***
Sebelum tiba di warung, Muni tak lupa membakar dupa kemudian menyonsonnya lagi. Gemetarlah tubuh Muni melakukan ritual semacam itu. Dulu, ia sebenarnya tidak tahu bacaan apa yang dibaca mendiang ayahnya. Yang ia tahu hanya membakar dupa dan sekadar komat-kamit dengan mata terpejam.
Tidak sampai di warung tempat ayahnya tergelatak karena racun Sumi itu, Muni jatuh tak sadarkan diri. Setengah dari celurit keramat itu menancap di dada Muni menembus punggung. Darah Muni yang merah mengalir perlahan. Nyawa Muni pun tak terselamatkan. Melihat kejadian aneh itu, Sumi berteriak ketakutan.
Pamekasan, 24 Juli 2018
Catatan:
[1] Membakar dupa dari dekat dengan tujuan menghormati arwah pada sesuatu
[2] Mewariskan
[3] Panggilan untuk anak laki-laki
[4] Petunjuk dalam mimpi
[5] Putus