Penulis: Gafur Abdullah*
Selamat ghi, Bun, pon ollè tambahan kuota masa jabatan. Anggap saja, pacapa tertulis ini sebagai buket atau kadu bentuk ungkapan pangèsto dâri abtina untuk Ajunan para Klèbun Se-Pamekasan.
Katipona kabhâr Ajunan, para Klèbun Se-Pamekasan? Utamanya yang kemarin menerima Surat Keputusan (SK) perpanjangan masa jabatan 8 tahun, Rabu (26/6/2024) di Pendopo Ronggosukowati.
Selamat ghi, Bun, pon ollè tambahan kuota masa jabatan.
Anggap saja, tulisan ini sebagai buket atau kadu bentuk ungkapan pangèsto untuk Ajunan semuanya. Ghi, buket kainto bukan bentuk karangan bunga. Sebab abtina tidak ada uang untuk bikin.
Lagian, ngapin Ajunan ngarep hadiah dari abtina, kan, pon ollè hadiah tambahan masa jabatan ini langsung dari presiden. Pun, abtina tidak punya kewenangan ajukan rencana anggaran belanja (RAB) untuk bikin proyekan karangan bunga.
Maklum, abtina hanya warga biasa yang tidak pernah duduk di kursi pejabat- jadi perangkat desa. Alih-alih bikin RAB untuk proyekan buket, justru saya sering alami tabu’ jânghunjâlân, ban kempes, baut kendaran alsaèl.
Ajunan tahu kenapa? Karena sering melintasi jalanan di pedesaan yang, tak diaspal atau diaspal tipis (proyek asal jadi) yang dalam hitungan bulan atau minggu sudah mengelupas.
Jalan mana? Ghi, pokok di sejumlah desa di Pamekasan. Bisa saja, Abtina pernah melintas di salah satu jalan yang itu masuk wilayah Ajunan memerintah.
Ghi manabi Ajunan merasa ada jalan desanya sè bâtona tol ngantol, abuna bhusngarbhus bilâ mosèm nèmor, bahkan mon nambhâra’ tâtti songai dadakan, ghi ngèrèng pas rancang RAB untuk segera lakukan perbaikan. Manabi tidak merasa, ghi, ampon ta’ usa tersinggung.
Miris, Bun, ketika melihat rakyat di beberapa tempat, lakukan perbaikan jalan desa dengan dana urunan sendiri. Padahal, itu tugas Pemerintah Desa. Ghi masa pantas, jalan yang urusan pemerintah masih saja dibebankan kepada rakyatnya.
Sudah siapkan program apa?
Katipona, Bun, pon legghâ ghi? Pon èsassa baju dinas yang dipakai pas pelantikan perpanjangan masa jabatan kemarin? Tantona, manabi lastarè, ampon kessap tor èlèmpet atau digantung di lemarinya.
Mèla dâri kainto, abtina niat untuk juga ngarep kalabân hormat tor dâri atè sè ongghu-ongghu èsto, Ajunan segera bisa kembali menyapa-layani rakyatnya kalabân èsto.
Bicara pelayanan, mungkin bisa abtina marèksanè, Ajunan sudah mengemasnya? Apa bentuk layanan programnya? Kapan akan dijalankan? Sudah berjalan? Sampai di mana prosesnya?
Pelayanan yang dimaksud, ya, sesuai janji-janji manis seddhâ’ seperti awal-awal mau Pilkades. Lebih dari itu, akan lebih baik. Ponapaa bisaos. Abtina yakin, diantara Ajunan, waktu mencalonkan diri, pasti menyampaikan janji-janji manis seddhâ’. Baik aspek infastruktur, program kesehatan, pemberdayaan sumber daya manusia dan alam, tor ènlaèn èpon.
Manabi dintara beberapa program kasebbhut pon berjalan, ampon èccek? Sesuai rencana baik dan benar, atau hanya sesuai rencana penting jadi-terlaksana dan asal ada bukti laporan ke atas?
Juga, soal amanah untuk menyampaikan bantuan pemerintah kepada rakyatnya, apakah sudah tepat sasaran, atau hanya merata di lingkaran satarètaènna tibi’ sè mèlo?
Bun, dhisana pon ngaghungi Balai-Kantor Desa? Manabi belum, ghi saè manabi segera bikin. Ada kan, anggaran untuk pembangunan balai desa? Manabi pon ada balainya, sudahkah jadi kantor tempat rakyatnya mengadu-minta layanan urusannya?
Atau, jangan-jangan balai desanya hanya ada-tidak terwawat? Atau, hanya jadi kandang ayam gratisan, tikus-tikus berkembang biak, cek-cek akalarkaran sehingga lantai balainya celleng dengan tamicèng, kotoran ayam atalabuyân?
Miris ongghu, Bun. Bilâ bâsngabâsaghi beberapa balai desa di Pamekasan tidak terawat. Bisa dibayangkan, misal balai desa yang seharusnya jadi tempat masyarakat urus ini itu atau untuk kegiatan kemasyarakatan lainnya, justru terbengkalai; bilâ malem abâsanna angker, bilâ siang tâtti tempatta ajâm ngèndu. Bilebbi mon mosèm ojhân.
Tidak usah takut hadapi LSM Siluman!
Ketika ngopi di beberapa tempat, abtina sering dengar; sekarang banyak banyak LSM siluman berkeliaran. Mungkin saja è makkasân jhughân ebbhâ‘. Modusnya, mereka datang ke desa-desa sok-sokan mau konfirmasi kasus, padahal kèng lapar dan butuh uang untuk sesuap nasi atau sekadar beli kopi.
Yang abtina dengar, mereka bergaya sangar –asapatuân– bawa data temuannya yang kadang dibuat-buat (modal bawa map lengkap setumpuk kertas kosong).
LSM adalah singkatan dari Lembaga Swadaya Masyarakat. LSM merupakan lembaga atau organisasi non-pemerintah atau yang biasa disebut Non-Government Organization (NGO). LSM didirikan independen dari pemerintah atau oleh masyarakat sipil/umum, baik perorangan maupun sekelompok orang.
LSM ini punya banyak fungsi. Diantaranya sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2013. Bila ia keluar bahkan menabrak ketentuan Undang-undang tersebut, maka tidak layak disebut LSM.
Ironisnya, LSM di beberapa tempat, barangkali juga di Pamekasan hanya dijadikan wadah oleh komplotan para orang mau uang-hidup nyaman dengan cara instan. Kerjaannya hanya malak-malakin orang berpunya atau tokoh tertentu. Bahkan pejabat seperti Ajunan tak luput jadi sasaran. Sehingga, tak heran bila di Pamekasan atau di kabupaten lainnya di Madura, LSM dipelesetkan jadi Lako Siang Malem, Lembaga Siluman Mamong bahkan orang yang aktif di LSM, disebut jadi orèng lapar siang malem.
Jika Ajunan pernah hadapi itu, apa yang Ajunan lakukan? Ketar-ketir lalu berikan uang ke mereka? Atau Ajunan langsung gertak balik mereka?
Bun, Ajunan tidak perlu takut bila didatangi komplotan LSM Siluman, selagi Ajunan di jalur yang benar. Pun, semisal Ajunan dalam posisi salah. Mereka tidak berhak untuk meminta uang apalagi memeras Ajunan berkedok data abal-abal, bahkan modal gertakan sangar.
Jangan berikan uang atau apapun kepada mereka sebagai bentuk suap. Ya, semisal mereka datang bertamu, ya, hargai sebagai tamu ala kadarnya. Ajak duduk, ngopi-ngopi, bila mau suguhkan makanan atas nama haragai tamu, ya itu tidak jadi soal. Setelah itu, mereka pulang. Selesai.
Sebab, bila Ajunan menampakkan wajah takut, apalagi terketteran di hadapan mereka, maka komplotan itu akan semakin ngatebbhes bahkan aca’tanaca’. Bisa jadi mereka akan berpikir; mangsa sudah masuk dalam perangkap! Sambil ngalakkak.
Bila itu terjadi, maka Ajunan akan jadi bulan-bulanan mereka. Dan percaya atau tidak, mereka akan kembali lagi dengan niat dan gaya yang sama. Sehingga, secara tidak langsung, Ajunan akan dijadikan mesin ATM atau sumur uang oleh mereka.
Lalu, apa yang mesti dilakukan? Bila mereka datang bertamu, layani haknya sebagai tamu. Misal mau disuguhkan makanan, seadanya saja. Andi’ jhuko’ kerrèng nasè’ jhâghung ghângan marongghi, ya, itu yang dihaturkan. Manabi tidak ada, ampon ta’ usa posang ngalèngsang! Apalagi masih repot-repot nyambbhelliaghi ajâm, atana’ nasè’ ca’lèca’ ghenna’ so koa patèna. Ampon! Rogi, Bun.
Semisal mereka tidak lekas pulang, setelah ngatebbhes ini itu kabârâ’ katèmor, sementara Ajunan ampon bosan mendengar khotbah tu’lettu’ kapona berjam-jam. Sampaikan baik-baik Ajunan ada acara atau mau istirahat atau alasan lainnya. Gitu saja, selesai!
Manabi sudah sampaikan itu tapi mereka ta’ lem ontur, lalu malakin Ajunan, ya, berarti mereka memang betul-betul mau minta uang alias lapar. Ajunan ta’ usa pusing soal mereka!
Ghi, manabi mereka ancam akan ini dan itu, kan, Ajunan bukan orang sembarangan. Langsung gertak balik sesuai cara dan daya yang Ajunan mampu.
Bun, orang LSM dan wartawan itu mahluk berbeda!
Nah, ini juga penting, Bun. Pers atau media, itu jelas wujud, aturan dan fungsinya. Wartawan, orang yang bekerja untuk kepentingan publik dan melalui media massa dengan dibekali ilmu dan diikat kode etik yang serret tor èbbhâ’.
Jika ada orang yang nèlpon atau datang mengatasnamakan wartawan, tanyakan kejelasan identitasnya. Dari media apa? Siapa namanya? Adakah kartu persnya? Hendak mau wawancara apa?
Semisal mereka menunjukkan beberapa hal tadi, Ajunan cek kebenaran medianya. Misal media online, ghi, Ajunan bisa cek langsung halu gugel. Misal Ajunan kurang paham soal itu, bisa minta bantuan kenalan, atau perangkat desa yang tahu soal itu.
Tapi, Bun. Harusnya, wartawan yang profesional itu, akan menyapa dengan baik-baik dan mengenalkan diri dengan jelas. Bila perlu, ya, menyapa dengan gaya bahasa yang alos. Bukan temngantem mamong dengan pertayaan yang mencecar.
Yang tak kalah penting, bila Ajunan dimintai komentar soal ini itu dari orang yang ngaku wartawan itu, jawab semampunya. Misal tidak bisa berkomentar, tidak perlu memaskan diri. Sementara, bila mereka memaksa bahkan mengindimidasi, berarti mereka sudah langgar kode etik jurnalistik.
Apalagi, semisal mereka sampai ancam mau ini dan itu, meminta uang atau bentuk ancaman lainnya, Ajunan tidak usah takut. Sebab mereka tidak berhak melakukan itu. Tugas wartawan hanya mengkonfirmasi kepada narasumber untuk dapat informasi agar beritanya itu terverikasi demi kepentingan publik dan menuliskan apa adanya.
Dan, semisal Ajunan bersedia dimintai komentar, tapi, setelah selesai wawancara Ajunan sadar, ada hal yang mungkin saja tidak Ajunan perkenankan untuk dipublis ke publik, ghi Ajunan tinggal sampaikan; lè’ yang bagian ini itu tidak usah dipublis, ya.
Ajunan berhak untuk itu. Sebab dalam berita ada yang disebut off the record (informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan).Bila mana nantinya tetap dimuat atau ada hal yang dimuat dalam berita itu tidak sesuai, maka Ajunan bisa ajukan hak jawab atau gugat ke pihak terkait. Bisa langsung ke medianya atau kalau berkepanjangan, ya bisa tempuh ke Dewan Pers.
Sebab media dan berbadan hukum di Indonesia, itu biasanya ada yang sudah terverikasi oleh Dewan Pers. Sekalipun belum terverfikasi Dewan Pers, itu tetap bisa Ajunan lakukan aduan ke Dewan Pers. Bukan lantas diambil pusing apalagi sampai ancam balik wartawan dengan kekerasan. Bukan begitu caranya. Sebab, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.
Abtina yakin, Ajunan orang yang baik-bijak. Semoga. Makanya, Ajunan ditakdirkan jadi orang tua bagi masyarakat di desa tempat anda menjabat. Pun, Ajunan tahu apa baik dan benar untuk dilakukan untuk masyarakat.
Artinya, bila perjalanan pemerintahan Ajunan ada di shirotol mustaqim; melayani sebagaimana mestinya. Maka Ajunan tidak perlu takut bila dihubungi wartawan yang minta keterangan atau sekadar konfirmasi sesuatu.
Nah, dalam hal ini, perusahan pers-wartawannya itu, Bun, bekerja untuk kepentingan publik. Jadi, meraka hanya bertugas cari informasi yang penting untuk publik.
Bagaimana misal ada yang ngaku wartawan, lalu minta uang apalagi lakukan pemerasan? Abtina tegaskan, itu bukan wartawan! Lalu siapa? Wartawan gadungan!
Abtina ulang, Ghi, Bun. Orang yang ngaku wartawan lalu mencecar dengan pertanyaan tanpa hargai Ajunan, intimidasi, lakukan pemerasan itu layak disebut WARTAWAN GADUNGAN!
Apa boleh bayar ke media untuk beritakan tentang desa dan segala aspeknya? Boleh. Tapi bukan dengan cara bayar wartawannya. Akan tetapi melalui marketing dari media yang dimaksud. Cara itu disebut berita iklan atau berita berbayar. Tapi, itu tidak masuk karya jurnalisitik.
Dalam hal mau acara dipublikasikan, atau sekadar mau berikan ucapan selamat hari ini itu, atau mau tampil ke media, Ajunan tidak perlu melalui atau bayar wartawannya. Sebab, media itu punya tim khusus itu yang disebut marketing. Dan, media bermutu itu, Bun, tidak akan suruh wartawannya buru berita sekaligus iklan.
Oleh karena itu, Bun, misal ada wartawan yang minta uang, jangan dikasih! Dan Ajunan juga jangan sampai ngasih uang ketika ada orang ngaku wartawan yang mau menulis tentang sebuah kasus atau acara yang berkenaan dengan -desa –Ajunan.
Misal mereka memaksa–lakukan pemerasan, Ajunan langsung buat laporan-bisa juga telpon ke nomor tertera di medianya. Bahwa si A atau si B ngaku dari media C, tadi minta uang bahkan memeras, misalnya. Ajunan berhak lakukan itu.
Semisal medianya justru lakukan hal yang sama-memang bagian dari rencana itu (lakukan pemerasan), maka Ajunan langsung laporakan media itu ke pihak yang berwenang.
Nah, semisal ada satu orang yang datang; Minggu lalu ngaku wartawan, lalu, Minggu ini ngaku sebagai orang LSM dan lakukan pemerasan. Itu jelas perampok! Intinya, hati-hati, Bun. Itu siluman. Tidak perlu Ajunan layani. Bila perlu, usir mereka dan laporkan ke pihak yang berwajib.
Semoga, pacapa abtina pada poin ini, dapat membantu Ajunan tahu dan sadar bahwa Pers dan LSM itu beda alam. Pun, wartawan dan orang LSM-apalagi LSM Siluman beda mahluk! Sehingga, stigma bahwa wartawan itu sama dengan orang LSM dapat segera dihapuskan.
Wartawan ya wartawan. Orang LSM ya orang LSM. Keduanya tidak bisa disamakan. LSM itu aslinya punya tugas da fungsi yang jelas dan benar, Bun. Salah satunya; menyampaikan aspirasi masyarakat. Penafsirannya, bisa mengkawal-memperjuangkan hak-hak mereka yang tertindas dan untuk diselesaikan sesuai aturan yang ada. Bukan lakukan intimiadasi-pemerasan lalu bisik-bisik dan minta sit pisit (pèssè) di bawah meja rahasia.
Sementara wartawan dan fungsinya jelas. Sebagai orang yang bekerja dengan ilmu yang jelas, prinsip-prinsip dan sesuai kode etik yang ada, dari banyak aspek. Mulai cara komunikasi ke narasumber, menulis sesuia fakta yang ada, bahkan bila narasumber minta namanya dirahasiakan (di kasus tertentu), tidak menulis serampangan, dan aturan lainnya.
Ampon cokop sakainto ghi, Bun. Ngèrèng Ajunan pas pasaèghi melayani masyarakatnya dengan memanfaatkan kuota masa jabatan sebagai klèbun yang unlimited ini dengan baik, benar, dan sebijak mungkin.
Èman, èman onghu, Bun. Abtina yakin, Ajunan selaku orang tua masyarakat, tidak akan memanfaatkan sisa kuota masa ini dengan memperkaya diri, korupsi, atau hanya mensejahterakan familinya.
Artinya, misal itu diantara Ajunan justru lakukan itu, maka sama saja Ajunan mewariskan hal-hal buruk untuk na’potona pun keluarga besarnya; bunuh diri secara integritas.
Jika Ajunan pon layani rakyatnya dengan baik, maka masyarakat di desa Ajunan akan merasa rugi bila ganti klèbun. Pun, misal Ajunan ngala’ kareppa tibi’, Ajunan akan dicarikan cara agar segera ganti dan tidak akan ada yang percaya pada keluarga Ajunan.
Abtina yakin tor mendoakan kalabân èsto, Ajunan terro dikenang bhâghus bukan ta’ èjâb karena bhusngatebbhus, serta blusbus karena terlibat kasus.
Ilustrasi: Kursi Klèbun (Kepala Desa).(by Canva-Gafur/Indoklik)
*Na’kana’ ngodâ biasa sè rèmbi’ tor rajâ è Mekkasân. Sekarang sedang olah masakan jurnalistik untuk disajikan ke publik di dapur Redaksi Indokli.id.