Bodoh Saja Tidak Punya, Kok Merasa Pintar? Anti Pakar Pula!

Ilustrasi: Sebagian orang kadang merasa sok pintar, padahal kadang bodoh saja tidak punya. (https://beritabangka.com/wp-content/uploads/2022/11/1618553960_1-org.jpg)

Penulis: Aliful Muhlis

Anehnya masyarakat modern; ada yang merasa pintar bahkan pakar hanya bermodal tontonan video pendek atau baca caption di medsos. Lebih bahaynya, ketika ada orang ngomong ini itu merasa nyambung bahkan kepedean sok menyampaikan panjang lebar, padahal tidak diminta pendapatnya.

Dari 24 jam – waktu yang Tuhan sediakan untuk kita, berapa jam yang yang kita gunakan untuk medsosan? Diakui atau tidak, media sosial, meskipun tidak ada rasa manis-manisnya, memang bikin ketagihan. Entah  sebagai konten kreator atau penikmat konten. Belum lagi, sebagian orang memang  suka fomo dan komentar sana sini tentang ini itu diragam platform.

Atau ada yang pernah gini? Niatnya medsosan sebentar untuk sekadar hiburan di tengah penatnya bekerja atau aktivitas lainya, eh, tidak terasa sampai  berjam-jam scrolling.  Akibatnya, pekerjaan jadi keteter dan bila ditanya  kenapa pekerjaanya tidak kunjung selesai? Lalu sibuk carai seribu beralasan; tidak sempat karena sibuk dan gak ada waktu. Sedikit mengerikan, tapi itulah faktanya.

Tapi oh tapi, medsosan memang bikin kita banyak dapat informasi dari apa yang kita tonton atau sekadar baca caption yang kebenarannya tidak terjamin 100 persen dan  kelengkapannya terbatas. Namun, karena merasa sudah banyak informasi, akhinya ketika ada orang ngomong ini itu merasa nyambung bahkan kepedean sok menyampaikan panjang lebar, padahal tidak diminta pendapatnya.

Bila pendegarnya orang awam, maka akan manggut-manggut. Nah, ini yang membahayakan. Biasanya, bila tipe orang yang kepedean tadi  melihat pendengarnya manggut-manggut dan tidak berkomentar samasekali, maka dia akan semakin lantang berbicara dan serasa ada di panggung kuliah umum atau seperi khatib jumat.

Nah, atas dasar secuil narasi fenomena diatas, saya hendak mengajak pembaca untuk menelisik fenomena yang dibicarakan oleh Tom Nichols; tentang “matinya kepakaran”.

Sadar atau tidak, di era digital ini akses terhadap informasi telah mengalami revolusi besar. Teknologi informasi memungkinkan hampir setiap individu dengan koneksi internet untuk mendapatkan data dan pengetahuan dengan cepat dan mudah. Namun, kemajuan ini membawa implikasi yang kompleks dan sering kali negatif terhadap otoritas kepakaran.

Dalam bukunya “The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters” Tom Nichols mengelaborasi bagaimana fenomena ini terjadi dan mengapa hal ini menjadi masalah serius bagi masyarakat modern.

 Kemunculan Fenomena Anti-Kepakaran

Tom Nichols mengidentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kemunculan sikap anti-kepakaran. Pertama adalah ledakan informasi yang dihasilkan oleh internet. Akses informasi yang tidak terbatas membuat banyak orang merasa setara dengan para ahli di bidang tertentu, meskipun tanpa latar belakang pendidikan atau pengalaman yang mendalam. Hal ini diperparah oleh keberadaan media sosial, yang sering kali menjadi platform bagi mis-informasi dan hoaks untuk menyebar dengan cepat.

Kedua, adanya penurunan kepercayaan terhadap institusi tradisional, termasuk institusi pendidikan dan pemerintahan. Skandal, korupsi, dan ketidakmampuan institusi-institusi ini dalam menangani berbagai krisis menambah sentimen negatif publik terhadap otoritas yang ada. Hasilnya, banyak orang yang lebih percaya pada narasi-narasi alternatif yang belum tentu memiliki basis fakta yang kuat.

Dampaknya?

Penolakan terhadap keahlian memiliki dampak luas yang merugikan, tidak hanya pada individu tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Di era digital, disinformasi menyebar lebih cepat daripada fakta. Penolakan terhadap kepakaran memperburuk situasi ini karena orang lebih cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan pribadi mereka daripada fakta yang didukung oleh bukti ilmiah. Ini menciptakan “filter bubble” di mana individu hanya terekspos pada pandangan yang memperkuat bias mereka sendiri. Akibatnya, masyarakat menjadi semakin terpolarisasi dan fragmentasi sosial meningkat, menghambat dialog konstruktif dan kerja sama lintas kelompok yang berbeda.

Di ranah politik, penolakan terhadap kepakaran dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang buruk dan kebijakan yang tidak efektif bahkan merugikan. Ketika pemimpin politik lebih mengandalkan opini populis daripada saran dari ahli yang kompeten, kebijakan publik sering kali menjadi tidak berdasarkan fakta dan data yang valid. Ini bisa berujung pada konsekuensi yang merugikan bagi stabilitas sosial dan ekonomi.

Mengapa Keahlian Masih Penting?

Meskipun terdapat kekurangan dan kegagalan di kalangan para ahli, penting untuk diingat bahwa keahlian didasarkan pada proses pendidikan dan pengalaman yang mendalam. Para ahli memiliki pengetahuan yang telah teruji oleh waktu dan sering kali melalui metode ilmiah yang ketat. Mengabaikan keahlian berarti mengabaikan akumulasi pengetahuan yang telah dibangun selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.

Keahlian juga penting dalam menghadapi tantangan global yang kompleks. Masalah seperti pandemi, perubahan iklim, dan ketidaksetaraan ekonomi membutuhkan solusi yang didasarkan pada analisis mendalam dan pemahaman yang komprehensif. Para ahli, dengan latar belakang dan pengetahuan mereka, berada dalam posisi terbaik untuk mengembangkan dan menerapkan solusi-solusi tersebut.

Cara Mengembalikan Kepercayaan terhadap Keahlian

Mengembalikan kepercayaan terhadap keahlian bukanlah tugas yang mudah, tetapi ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, pendidikan kritis harus ditingkatkan. Masyarakat perlu diajari cara berpikir kritis, mengevaluasi sumber informasi, dan memahami dasar-dasar metode ilmiah.

Kedua, transparansi dan akuntabilitas di kalangan para ahli dan institusi harus diperkuat. Ketika para ahli dan institusi mereka lebih terbuka dan bertanggung jawab, kepercayaan publik cenderung meningkat.

Ketiga, pentingnya komunikasi yang efektif antara para ahli dan masyarakat umum tidak bisa diabaikan. Para ahli harus mampu menjelaskan temuan dan rekomendasi mereka dengan cara yang jelas dan mudah dimengerti oleh publik. Pendekatan yang lebih humanis dan empatik dalam komunikasi juga bisa membantu mengurangi kesenjangan antara para ahli dan masyarakat.

Fenomena penolakan terhadap keahlian adalah tantangan serius yang dihadapi oleh masyarakat modern. Sebagaimana dijelaskan oleh Tom Nichols, dampak negatif dari sikap ini bisa sangat merugikan.

Oleh karena itu, keahlian tetap menjadi pilar penting dalam pembangunan masyarakat yang maju dan berkelanjutan. Solusinya? meningkatkan pendidikan kritis, memperkuat transparansi, dan memperbaiki komunikasi, kita bisa mulai membangun kembali kepercayaan terhadap para ahli dan memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada pengetahuan dan fakta sahih.

*Pemuda asal Sampang. Kini berkhdimad melalui Madura Millenial Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *