Berita,Daerah,NASIONAL

Bersama Komnas Perempuan, AJI Jember Bedah Dampak Efisiensi Anggaran Terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan

Sabtu (15/3/ 2025), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember bersama Komnas Perempuan bedah dampak efisiensi terhadap perempuan dan kelompok rentan melalui diskusi bertajuk “Perempuan dan Kelompok Rentan dalam bayang-bayang #IndonesiaGelap”.

Diskusi itu dilangsungkan di Ruang Ingatan, Sudur Kalisat, Jember dengan menghadirkan Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan secara daring dan dipandu oleh Satgas Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) AJI Indonesia, Iraa Rachmawati.

Mega Silvia, perwakilan Divisi Gender, Anak, Dan Kelompok  Marginal AJI Jember bilang, pemangkasan anggaran berdalih efisiensi oleh pemerintah bakal berdampak pada lembaga-lembaga negara independen yang bekerja di bidang penegakan hak asasi manusia (HAM), perlindungan perempuan, dan kelompok rentan.

“Pemangkasan anggaran tahun 2025 lebih dari 30 persen, dikhawatirkan berdampak pada operasional lembaga-lembaga tersebut,” kata Mega dalam keterangan tertulisnya.

Langkah efisiensi ini, jelasnya, menyusul Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Instruksi ini ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 22 Januari 2025.

Misalnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang sebelumnya dialokasikan anggaran sebesar Rp 47,7 miliar dipangkas menjadi Rp 28,9 miliar. Komisi Nasional Disabilitas (KND) juga mengalami pemangkasan yang signifikan.

Dia menyebut, anggaran KND yang semula Rp 5,6 miliar kini hanya tersisa Rp 500 juta. Ini mencerminkan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen menghapus kekerasan terhadap perempuan dan mewujudkan inklusivitas. Melemahkan kapasitas lembaga dalam melaksanakan fungsinya untuk pemantauan, penerimaan, dan penanganan pengaduan masyarakat, dan rekomendasi kebijakan.

“Pemangkasan anggaran dikhawatirkan membuat lembaga independen atau instansi pemerintah tidak dapat melakukan fungsi dengan semestinya terhadap pemenuhan hak asasi perempuan dan kelompok rentan korban kekerasan,” jelasnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini membeberkan sejumlah catatan tahunan Komnas Perempuan pada kasus-kasus kekerasan pada perempuan. Dalam kurun waktu 24 tahun belakang, tercatat 3,7 juta kasus kekerasan berbasis gender (KBG).

Angkanya fluktuatif namun cenderung naik dan tinggi hingga 2024. Kilas balik pada masa pandemi beberapa tahun lalu, dikatakan bahwa pemerintah pernah melakukan pemotongan anggaran Komnas Perempuan lantas berdampak pada kondisi penanganan kasus dan data KBG meningkat.

“Sementara layanan pemulihan bagi korban kekerasan tergantung pada ketersediaan anggaran. Baik itu berupa sarana prasarana, penguatan kapasitas, kerja sinergis, maupun koordinasi,” kata Rini, begitu disapa.

Catatan pentingnya, anggaran juga dipengaruhi dari cara pandang (memiliki perspektif HAM, keadilan gender, serta layanan publik berperspektif korban) dan keberpihakan pengambil kebijakan. “Politik anggaran ini ternyata sangat tergantung pada cara pandang juga,” katanya.

Dia bilang, peleburan organisasi perangkat daerah (OPD) merupakan bagian dari konsekuensi dari efisiensi. Anggaran juga terancam lebih kecil. Terlebih pemangku kebijakan tidak memiliki cara pandang dan keberpihakan kepada perempuan maupun kelompok rentan lain.

Rini menyinggung sejumlah daerah yang sudah mulai merencanakan peleburan dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ke dinas kesehatan maupun dinas sosial (dinsos), termasuk di Jember.

“Ini membayangkan kalau dijadikan dalam satu atap anggarannya akan semakin berkurang dan otomatis yang akan diberikan perhatian adalah dinsos biasanya. Karena dinsos terkait dengan bantuan-bantuan sosial,” papar Rini.

Prioritas urusan perempuan dan anak akan semakin terpinggirkan. Apalagi tujuan besarnya adalah efisiensi. Dia menjelaskan pola penganggaran pemerintah pada persoalan penanganan kasus.

Menurutnya, pagu anggaran yang telah disediakan tiap tahunnya akan dikurangi pada tahun berikutnya apabila masih ada sisa anggaran yang tidak teralokasikan. Apalagi jika jumlah korban kekerasan pada tahun tersebut menurun.

“Persoalannya, kejadian kasus kekerasan dan kondisi korban tak bisa diprediksi. Kebutuhan tiap wilayah pun berbeda. Maka Perlu pendekatan berbeda terutama mengingat kerja-kerja di daerah (UPTD) berbeda koordinasinya,” kata Rini.

Apabila pemerintah daerah juga DPRD tidak mengenali cara kerja UPTD dan perspektif keadilan gender-nya rendah, tegas Rini, maka berpotensi menjauhkan korban dari akses keadilan dan pemulihan yang merupakan mandat konstitusi.

Dia berharap organisasi masyarakat sipil hingga jurnalis bisa saling elaborasi merespons dan mengawal peleburan OPD.  Meleburkan OPD juga ada unsur politiknya, termasuk ada unsur cara pandang.

“Anggaran juga begitu area sifatnya politis. Anggaran tidak ada di ruang hampa, dia ada di dalam ruang-ruang kepentingan yang kalau tidak punya cara pandang ataupun perspektif keadilan gender mak semua politik anggaran ini akan berbasis pada kepentingan yang tanpa pisau keadilan gender,” terang Rini.

Rini mengatakan, bayang-bayang nasib perempuan di tengah efisiensi anggaran memang mulai tampak begitu nyata. Bila pun urusan perempuan dan anak harus dilebur pada dinsos ataupun tak lagi menjadi dinas khusus, tambahnya, jurnalis bisa melakukan advokasi pada tingkat eksekutif dan legislatif nantinya.

Dia bilang, Bappeda dan DPRD sebagai pemilik wewenang mengesahkan anggaran termasuk jumlah pengalokasiannya. Di dua lembaga tersebut, masyarakat sipil juga harus turut memantau prosesnya.

“Jika bisa dikawal kawan-kawan jurnalis itu paling tidak akan bisa membantu memastikan anggaran untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak tetap ada bahkan mungkin gak kerja bebas banget gitu,” pesannya.

Iraa Rachmawati, Satgas TPKS AJI Indonesia merekomendasikan kepada seluruh anggota untuk berkolaborasi mengawal peleburan DP3AKB hingga penyusunan anggarannya.

“Tak hanya sebatas memotret dampak-dampak yang ditimbulkan. Ada satu angle besar atau modul liputan khusus mengenai pemangkasan anggaran di setiap daerah sebagai cara mencegah timbulnya dampak yang lebih serius pada perempuan, anak, dan kelompok marginal. Yang selanjutnya juga akan direspons dengan agenda pelatihan politik anggaran pada bulan mendatang,” jelas Ira.

Foto: Anggota dan Pengurus AJI Jember tengah berdiskusi soal langkah-langkah yang akan diambil dalam beberapa waktu ke depan untuk mengawal isu efisiensi dan dampaknya terhadap perempuan dan kelompok rentan, khususnya di Kabupaten Jember dan sekitarnya. (Dok AJI Jember)

Penulis: Abd Gafur
Editor : Abd Gafur

Anda mungkin juga suka...