Berita Daerah NASIONAL

Andreas Harsono Lapor ke Polres Jember Soal Kematian Adiknya, Diduga Jadi Korban Penyerangan Seksual Sebelum Meninggal

Andreas Harsono, jurnalis senior dan aktivis hak asasi manusia, melaporkan kematian adiknya, Susanna Harsono, ke Kepolisian Resort Jember, Sabtu (9/10/2024). Dia menduga, adiknya yang merupakan seorang perempuan dengan disabilitas psikososial, korban penyerangan seksual.

“Saya melaporkan kematian adik saya, Susanna Harsono, ke polisi Jember pada hari Sabtu. Susanna seorang perempuan dengan schizophrenia paranoid. Saya menduga Susan mengalami penyerangan seksual pada 6 Oktober di rumahnya saat minta bantuan seorang lelaki, umur 56 tahun, yang dikenal Susan sejak sekolah menengah pertama, antar sekantong beras ke dalam rumah,” tulis Andreas di akun instagramnya, @andreasharsono, Minggu (10/11/2024).

Orang dengan disabilitas mental, termasuk Susan, punya toleransi yang berbeda terhadap kekerasan seksual daripada kebanyakan orang.

Andreas datang dari Jakarta ke Jember, juga bertemu dengan perawat yang menjadi saksi, sekaligus korban, penyerangan seksual tersebut di Jember. Perawat itu, umur 21 tahun, menangis ketika bicara soal Susanna.

Perawat tak menyangka Susanna, yang mendampingi mamanya, Metri W. Harsono, yang kena stroke dan dementia, merasa tertekan secara kejiwaan sehingga kesehatan badan drop dan meninggal. Susan dan perawat ini akrab karena sering bertemu di rumah Susan dan Metri di Jember.

“Saya ingin mencari kebenaran dan keadilan. Publik juga perlu tahu bahwa perempuan dengan disabilitas, rentan terhadap pelecehan seksual. Para perawat homecare, yang melayani pasien di rumah-rumah, juga rentan terhadap pelecehan seksual,” kata Andreas.

Susanna (kiri) kenalan dengan penyanyi Atiek CB, seorang sahabat keluarga Harsono, yang peduli dengan kesehatan mental. Mereka bergurau soal bagaimana bikin rekaman musik. (Dok.Andreas Harsono)

Dia datang ke Kantor Kepolisian Resort (Polres) Jember berlokasi di Jalan Kartini 17, bersama Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember: Sri Sulistiyani, Fitriya Fajarwati dan Suminah. Sulistiyani dan Fitriya sempat bertemu Susan beberapa hari sesudah kejadian. Mereka juga terkejut mengetahui Kesehatan Susan menurun drastis, masuk rumah sakit pada 30 Oktober 2024 dan meninggal pada 5 November 2024. Mereka mendukung Andreas untuk lapor ke polisi.

Andreas menjelaskan, Rochmah Hidayati, koordinator @homecarejemberraya, yang menyediakan jasa homecare terhadap mamanya, serta Sapariah Saturi, istrinya, juga ikut ke kantor polisi. Mereka menduga penyerangan seksual tersebut jadi trigger kesehatan Susan turun dengan cepat.

“Saya tentu akan bolak-balik Jakarta-Jember buat mengikuti proses hukum maupun berbagai ikutannya. Saya mohon dukungan para sahabat dalam menjalani proses ini,” kata Andreas.

Menurut Andreas, penyerangan seksual berbeda dengan pelecehan seksual. Penyerangan seksual terjadi kontak fisik. Pelecehan seksual tak terjadi kontak fisik, misalnya, lebih pandangan mata, pesan dengan media elektronik.

Fitriya Fajarwati, juga pengacara dari LBH Jentera, membenarkan pelaporan tersebut. “Informasi itu sudah kami unggah di medsos GPP,” katanya kepada Indoklik, Minggu (10/11/2024).

“GPP Jember dan LBH Jentera Perempuan Indonesia mendampingi keluarga almarhum Susanna Harsono, untuk mencari kebenaran dan keadilan lewat proses hukum, atas dugaan kasus serangan seksual terhadap korban, hingga berdampak korban depresi dan meninggal,” tulis GPP Jember di akun Instagram @gppjember, Minggu (10/11/2024).

Menurut blog Andreas, Susanna kelahiran Jember pada November 1969 dari pasangan Ong Seng Kiat dan Metri W. Harsono. Dia lahir kembar bersama Rebeka Harsono, yang juga dapat diagnosa gangguan jiwa.

Mereka berdua sekolah dasar di SD dan SMP Aletheia Jember, lantas SMA Katolik Santo Paulus Jember. Sesudah lulus, Susanna meneruskan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, namun merasa tak cocok setelah satu semester.

Pada 1989, dia pindah ke Asian Institute for Liturgy and Music di Manila, belajar selama dua tahun. Namun dia drop out. Dia balik ke Indonesia, sempat kuliah setahun di Akademi Seni Karawitan Indonesia di Surakarta, namun juga gagal, sampai dia terdiagnosa skizofrenia.

Susanna menderita skizofrenia paranoia sejak tahun 1990, sesudah drop out dari Surakarta, saat berusia 23 tahun. Dia sering menjalani terapi kejiwaan di beberapa rumah sakit kesehatan mental termasuk Menur (Surabaya), Lawang (Malang), serta Grogol (Jakarta). Dia mendengar “suara-suara” mendengung di kepalanya, dan kadang-kadang, bila tak minum obat, mengomel jika lapar atau mengantuk.

Namun dia tidak menyembunyikan gangguan jiwanya. Dia selalu memperkenalkan diri sebagai orang dengan skizofrenia. Dia rajin berobat, setiap ada masalah, selalu menemui dokter, sehingga bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dia senang merajut, main piano, menari dan menyanyi.

Susanna Harsono ikut mengobrol dengan Filep Karma, seorang mantan tahanan politik Papua, di rumah Andreas di Jakarta, bersama beberapa aktivis lain pada September 2019. (Dok.Andreas Harsono)

Sejak terdiagnosa disabilitas psikososial, kegiatan Susanna adalah membantu pekerjaan di rumah serta bepergian ke Jember, maupun Jakarta, dimana ada saudara-saudaranya tinggal. Dia sering ikut Andreas, maupun isterinya, Sapariah Saturi, redaktur Mongabay Indonesia, berjalan ke berbagai tempat, dari seminar sampai liburan keluarga.

Ketika mamanya mulai terkena dementia, perlahan-lahan mulai kehilangan daya ingat dan daya pikir, Susanna merawat Metri di Jember, serta ketika Metri terkena stroke, hanya berbaring di ranjang sejak Januari 2024.

Di Jember, dia mendampingi mamanya, bersama beberapa perawat dari Jember Raya Homecare, yang setiap hari mendampingi Metri, di rumah mereka, Jalan Samanhudi, Jember. Kegiatan ini berakhir ketika dia minta tolong seorang lelaki membawa sekantong beras, masuk ke rumah mereka pada 6 Oktober 2024.

Foto: Andreas Harsono menujukkan surat laporannya didampingi aktivis Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember: Sri Sulistiyani, Fitriya Fajarwati dan Suminah di Kantor Polres Jember, Sabtu (9/11/2024). (Dok Andreas Harsono).

Catatan: Pengungkapan identitas korban berikut narasumber sudah melalui pertimbangan yang kuat dan atas persetujuan narasumber. *Kita tak pakai nama lengkap korban dalam laporan jurnalistik, terutama anak dan perempuan, karena kuatir timbul lanjutan trauma pada korban. Bila korban sudah meninggal, kekuatiran akan trauma pada keluarga korban, terutama anak-anak. Susanna sudah meninggal, serta tak menikah. Jadi faktor trauma tidak ada. Pemakaian nama lengkap akan mempermudah pembaca dalam menilai berita.* (Andreas Harsono)

Anda mungkin juga suka...